Mengejar
”Kekebalan Bersama” Sulfikar Amir ; Associate Professor
dan Pakar Sosiologi Bencana, Nanyang Technological University |
KOMPAS, 6 Mei 2021
“Herd
immunity is developed… by retaining the immune cows, raising the calves, and
avoiding the introduction of foreign cattle.” George
Potter Konsep herd immunity sebenarnya bukan lahir
dari ilmu medis dan kesehatan publik, melainkan dari bidang kedokteran hewan.
Dalam artikel yang dimuat di Journal of the American Veterinary Medical
Association tahun 1916, George Potter memperkenalkan konsep herd immunity. Kata herd di sini merujuk pada kawanan
hewan. Seperti kutipan di atas, herd immunity terbentuk ketika dalam satu
peternakan terdapat sejumlah hewan ternak yang memiliki kekebalan terhadap
penyakit tertentu yang akan melindungi hewan ternak yang rentan. Istilah herd immunity mulai dipakai di
dunia kedokteran ketika Sheldon Duddley, profesor ilmu penyakit di Royal
Naval Medical School di Greenwich, menerapkan prinsip herd immunity kepada
manusia. Dalam artikel di jurnal The Lancet tahun 1924, ia menggunakan model
herd immunity untuk mengamati pola penyebaran penyakit di kalangan mahasiswa
tempat dia mengajar. Seratus tahun kemudian, herd immunity
menjadi diksi sehari-hari. Mungkin tidak ada yang lebih populer dari istilah
herd immunity saat ini. Ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, semua negara
berlomba-lomba mencapai herd immunity atau kekebalan bersama/kekebalan
kawanan seakan-akan ini adalah garis akhir untuk keluar dari pandemi.
Termasuk di Indonesia, yang pemerintahnya sedang mengerahkan segala tenaga
dan upaya mencapai titik kekebalan bersama lewat program vaksinasi. Kunci
kekebalan bersama Dua hal penting mengenai kekebalan bersama
perlu kita garis bawahi, yakni faktor sosial dan faktor patogen. Dalam faktor
sosial, konsep kekebalan bersama sering disalahartikan semata-mata sebagai
angka batas ambang jumlah orang yang memiliki kekebalan. Angka yang sering dipakai adalah 70 persen
dan pemerintah berusaha untuk mencapai angka ini secepat-cepatnya dalam
melakukan vaksinasi. Masalahnya, perhitungan kekebalan bersama tidak
sesederhana itu karena batas ambang kekebalan bersama sangat tergantung dari
kondisi sosial, yakni tingkat kepadatan dan mobilitas penduduk. Semakin tinggi tingkat kepadatan dan
mobilitas, semakin tinggi titik kekebalan bersama yang perlu dicapai.
Mengingat Indonesia adalah masyarakat dengan tingkat kepadatan dan mobilitas
yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, angka kekebalan bersama pun
berbeda-beda, misalnya antara Jakarta dan Jepara. Implikasinya, distribusi vaksin tidak bisa
dilakukan secara linier, yakni vaksin diberikan secara acak demi mengejar
target vaksinasi 70 persen populasi nasional secepat-cepatnya. Sebab, tingkat
risiko setiap ”kawanan” berbeda-beda, dengan hitungan kekebalan bersama
bersifat berjenjang dan mengacu pada skala komunitas terkecil hingga
terbesar. Akan jauh lebih efektif mengejar kekebalan
bersama jika program vaksinasi dilakukan sesuai dengan perhitungan tingkat
risiko kawanan dengan batas ambang yang berbeda-beda tersebut. Artinya,
prioritas seharusnya diberikan kepada wilayah komunitas dengan tingkat
kepadatan dan mobilitas yang tinggi untuk menekan laju penularan secara
masif. Faktor patogen jauh lebih kompleks. Virus
korona penyebab Covid-19 adalah benda alam berbasis RNA yang dapat melakukan
mutasi dengan sangat mudah. Kurang jelas bagaimana dan dari mana virus
memiliki kemampuan bermutasi begitu cepat, tetapi yang jelas kemampuan ini
memiliki konsekuensi serius pada program vaksinasi secara global. Munculnya beberapa varian baru virus korona
yang menghindari antibodi dapat menggagalkan vaksinasi. Jika ini terus
berlangsung dalam skala luas, jalan menuju kekebalan bersama akan semakin
lama dan panjang. Dua tantangan di atas menunjukkan bahwa
proses menuju kekebalan bersama bukanlah sesuatu yang bersifat garis lurus
dan mudah dicapai. Butuh kecermatan tingkat tinggi untuk melakukan vaksinasi
dengan dampak yang maksimal terhadap penekanan laju penularan. Selain kedua
faktor yang sangat dinamis ini, pada akhirnya keberhasilan menuju kekebalan
bersama sangat tergantung dari pasokan vaksin. Dalam situasi produksi vaksin global masih
terbatas jumlahnya, kekebalan bersama bukan lagi isu epidemiologis semata,
melainkan telah menjadi isu politik ekonomi. Vaksin telah menjadi komoditas
politik ekonomi paling strategis saat ini. Siapa yang dapat mengamankan
jumlah yang besar, dialah yang menjadi pemenang kekebalan bersama. Dampaknya, ketimpangan vaksinasi global
antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin tidak bisa dihindari. Ini
disebabkan perilaku negara-negara ekonomi maju yang menimbun suplai vaksin
untuk kepentingan domestik mereka. Jauh sebelum vaksinasi Covid-19 dilakukan,
negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Uni Eropa, dan Australia
telah menguasai 60 persen pasokan dunia dan hanya meninggalkan sisanya untuk
negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Kompetisi politik vaksin global membuat
target Pemerintah Indonesia untuk mencapai kekebalan bersama tahun ini,
kalaupun tidak mustahil, bisa dikatakan sangat sulit. Memang, ada beberapa
negara yang kemungkinan besar akan mencapai kekebalan bersama dalam waktu
dekat, misalnya Amerika Serikat, Israel, dan Singapura. Negara-negara ini berhasil mendapat pasokan
vaksin yang dibutuhkan lewat perjanjian khusus yang mereka torehkan dengan
raksasa produsen vaksin, seperti Pfizer, Moderna, dan Johnson&Johnson.
Namun, negara seperti Indonesia dengan jumlah penduduk besar yang bergantung
pada vaksin impor akan terseok-seok dalam mencapai target vaksinasi 70
persen. Langkah
luar biasa Lalu, apa yang bisa dilakukan Pemerintah
Indonesia? Pandemi ini akan berlangsung lama karena tingkat ketidakpastian yang
tinggi, baik karena faktor alam maupun faktor sosial. Pada saat bersamaan,
vaksin akan menjadi komoditas yang terus bertambah nilainya, baik secara
ekonomi maupun politik. Walaupun Indonesia bisa dikatakan cukup
berhasil melakukan diplomasi untuk mendapatkan pasokan vaksin,
langkah-langkah luar biasa perlu diambil untuk mengamankan pasokan vaksin
dalam negeri. Ada dua langkah strategis yang bisa diambil pemerintah saat
ini. Pertama, mendorong sekuat mungkin
percepatan pengembangan dan produksi vaksin Merah Putih yang merupakan karya
peneliti-peneliti Indonesia. Memang, pengembangan vaksin tak bisa dilakukan
secara terburu-buru, khususnya proses uji klinis, tetapi paling tidak
pemerintah dapat menghilangkan hambatan finansial dan birokratis yang dapat
memperlama proses produksi vaksin Merah Putih. Kedua, data menunjukkan vaksin berbasis
mRNA, seperti Pfizer dan Moderna, memiliki tingkat efikasi tinggi
dibandingkan dengan vaksin dengan platform lainnya. Karena itu, selain
mengandalkan vaksin Merah Putih, Indonesia juga harus menguasai teknologi
vaksin berbasis mRNA. Ini bisa dilakukan dengan membeli lisensi agar dapat
diproduksi di dalam negeri. Langkah ini adalah investasi jangka panjang
yang manfaatnya tidak hanya untuk pengendalian pandemi saat ini, tetapi juga
demi penguasaan teknologi oleh bangsa Indonesia, khususnya bidang biologi
sintetis, untuk mengantisipasi berbagai masalah masa depan terkait dengan
krisis kesehatan, pangan, energi, dan sebagainya. Dibutuhkan konsentrasi politik dan ekonomi
dari pemerintah agar Indonesia bisa segera mencapai kekebalan bersama.
Pemerintah harus menyalurkan sumber daya yang ada untuk mewujudkan agenda
ini. Karena itu, sebaiknya pemerintah menunda proyek pembangunan ibu kota
negara baru yang berbiaya tinggi dan tidak urgen itu. Akan sangat bijak jika Presiden Jokowi
mengalihkan perhatian dari proyek ibu kota negara ke agenda mencapai
kekebalan bersama sebagai syarat fundamental pemulihan ekonomi nasional.
Warisan paling penting yang akan terus diingat rakyat bukanlah istana negara
yang akan dibangun di Kalimantan Timur, melainkan keluarnya Indonesia dari
pandemi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar