”Quo
Vadis” Pajak atas Konsumsi Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen Ilmu Hukum
Pajak Fakultas Hukum UGM |
KOMPAS, 7 Mei 2021
Belum lama, publik disuguhi dengan berita
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Jika pada Januari 2021 pemerintah menerbitkan beleid tentang tata cara
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan pulsa seluler dan
token listrik, pada Februari 2021 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
ditanggung pemerintah atas penyerahan kendaraan bermotor tertentu. Mempertajam
kesenjangan Kebijakan yang bertolak belakang ini
menimbulkan pertanyaan: ke arah mana kebijakan pemerintah di bidang pajak
konsumsi, khususnya pada masa pandemi? Secara konseptual, PPN memiliki sifat
regresif, yang pengenaannya tidak memperhatikan kemampuan membayar dari
konsumen (sebagai penanggung beban ekonomi dari PPN). Artinya, beban PPN
relatif ringan bagi mereka yang berpenghasilan relatif tinggi dan relatif
berat bagi yang berpenghasilan relatif rendah. Pajak sebesar 100 merepresentasikan 10
persen kemampuan ekonomi dari orang yang memiliki penghasilan 1.000, tetapi
hanya 1 persen kemampuan ekonomi dari orang yang memiliki penghasilan 10.000.
Efek regresif semakin tajam dengan pengenaan tarif PPN tunggal (Sukardji,
1999: 118). Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya mengatur barang dan jasa
yang tidak kena pajak (negative list). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin
kemampuan ekonomi masyarakat akan semakin tergerus dengan adanya pemungutan
PPN atas barang dan jasa baru yang muncul di masyarakat, atau barang dan jasa
yang sebelumnya tidak potensial, tetapi berubah menjadi potensial untuk
dipungut pajak konsumsinya. Sejatinya, efek regresif PPN dapat
dikurangi dengan pengenaan PPnBM. Secara normatif, PPnBM merupakan pajak
tambahan yang dikenakan setelah barang kena pajak terlebih dulu dikenai PPN. Kriteria barang mewah yang menjadi syarat
obyektif dari pengenaan PPnBM diatur menurut kaidah-kaidah yang mampu
menciptakan progresivitas beban pajak antara mereka yang mengonsumsi barang
mewah dan yang tidak melakukannya. Rasionya, orang yang berpenghasilan tinggi
cenderung mengonsumsi barang mewah yang kontraproduktif sehingga pengenaan
PPnBM diharapkan mampu mengurangi pola konsumsi demikian (Sukardji, 1999:
120). Oleh karena itu, pembebasan PPnBM justru memperuncing
efek regresif yang sudah tercipta dari pengenaan PPN atas barang yang sama.
Riset Walpole (2020: 644) menunjukkan bahwa pengurangan tarif atau pembebasan
pajak konsumsi justru secara efektif akan menyubsidi orang-orang
berpenghasilan tinggi dan pengusaha-pengusaha besar. Bukan tidak mungkin, pembebasan PPnBM atas
kendaraan bermotor tertentu justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang
kebutuhan kendaraan bermotornya telah terpenuhi, tetapi memiliki kemampuan
ekonomi untuk mengonsumsi kendaraan bermotor, atau sekadar ingin menikmati
subsidi pemerintah tersebut. Dari sisi anggaran negara, subsidi itu
mengurangi penghasilan negara Rp 2,3 triliun. Namun, belanja pajak itu
disinyalir akan menghasilkan surplus penerimaan negara Rp 1,62 triliun, yang
didapat dari meningkatnya produksi kendaraan bermotor sebesar lebih dari
81.000 unit (Kontan, 13/2/2021). Kontraproduktif Semakin jelas bahwa kebijakan PPnBM
ditanggung pemerintah merupakan kebijakan subsidi, bukan insentif pajak. Masalahnya, pembebasan PPnBM hanya berlaku
bagi pengusaha kendaraan bermotor tertentu sehingga menyimpang dari arah
kebijakan pajak konsumsi yang selama ini selalu didengungkan oleh pemerintah:
penciptaan kesetaraan (level playing field) antarpengusaha di berbagai sektor
industri jasa dan barang. Padahal, jargon tersebut dicanangkan pada
pemungutan PPN atas pulsa seluler dan token listrik, dan pada kebijakan high
profile pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atas
barang dan jasa digital, yang mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Bahkan, penciptaan level playing field
diserukan pada rencana pemungutan PPN atas jasa pinjaman elektronik
(KompasTV, 25/2/2021). Penulis tidak sedang menilai bahwa level
playing field akan dapat tercipta dari kebijakan pajak konsumsi, tetapi ingin
menunjukkan bahwa argumentasi itu tidak diimplementasikan secara konsisten
oleh pemerintah. Konsiderans Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 20 Tahun 2021 menyatakan bahwa salah satu alasan penerbitan aturan itu
adalah untuk mewujudkan dukungan pemerintah dan menjamin keberlangsungan
sektor industri kendaraan bermotor, yang terdampak pandemi Covid-19.
Pertanyaannya, apakah hanya sektor industri ini yang terdampak pandemi
Covid-19 dan akan didukung serta dijamin keberlangsungannya oleh pemerintah? Akhirnya, perlakuan pajak preferensial
untuk pajak konsumsi umumnya didasarkan pada lobi-lobi yang dilakukan sebuah
kelompok kepentingan kepada pemerintah. Zu (2020: 660) mengatakan bahwa
asimetri informasi dan sifat pajak konsumsi yang tak intuitif telah menyebabkan
kelompok-kelompok kepentingan membangun narasi yang bertumpu pada keadilan
(fairness-centric). Narasi ini akan digunakan sebuah kelompok
kepentingan untuk menciptakan rezim pajak preferensial bagi kelompoknya dan
menolak keberadaan rezim pajak preferensial bagi kelompok lainnya (Zu, 2020:
660). Hasilnya adalah kebijakan pajak konsumsi
yang tanpa arah dan justru bertolak belakang dengan upaya menciptakan level
playing field. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar