Musim
Semi Pemulihan Ekonomi Agus Sugiarto ; Kepala OJK Institute |
KOMPAS, 7 Mei 2021
Beberapa hari lalu Badan Pusat Statistik
mengeluarkan data terbaru pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2021 yang
masih mengalami kontraksi sebesar minus 0,74 persen (year on year/yoy).
Namun, apabila dilihat secara triwulanan, ekonomi kita sudah mengalami
perbaikan dengan pertumbuhan dari minus 2,19 persen pada triwulan IV-2020
menjadi minus 0,96 persen pada triwulan I-2021. Perbaikan itu memperlihatkan adanya
perubahan yang signifikan walaupun ekonomi kita masih berada dalam zona
resesi. Tren positif tersebut sekaligus membuktikan bahwa tanda-tanda
pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah pemulihan terlihat semakin jelas dari
waktu ke waktu. Kondisi ini menggambarkan datangnya musim
semi pemulihan ekonomi nasional setelah mengalami kontraksi sebesar minus
2,07 persen (yoy) pada 2020. Membaiknya angka pertumbuhan ekonomi itu
menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi nasional sudah berada dalam jalur yang
benar, di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang masih belum memperlihatkan
tanda-tanda akan segera berakhir. Pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut
menjadikan Indonesia menyusul Singapura dan Vietnam yang masing-masing
mengalami pertumbuhan ekonomi positif sebesar 0,2 persen dan 4,48 persen
(yoy) pada triwulan I-2021. Membaiknya arah pemulihan ekonomi di
Indonesia itu didukung oleh berbagai kebijakan dan beberapa faktor
fundamental ataupun pengaruh eksternal yang selama ini menjadi penopang
pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan
kontrasiklikal Semenjak pandemi muncul di awal Maret 2020,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi yang bersifat
countercyclical, yaitu kebijakan untuk mengatasi kondisi ekonomi yang sedang
mengalami kemerosotan akibat pandemi. Dengan kebijakan itu diharapkan dampak
yang diakibatkan oleh pandemi di sektor ekonomi bisa ditekan sekecil mungkin. Belajar dari berbagai krisis yang terjadi
sebelumnya, kebijakan ekonomi makro yang diambil pemerintah pada awal pandemi
sudah sangat tepat dan telah memenuhi unsur 3T, yaitu timely, targeted, dan
temporary. Artinya, kebijakan itu dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang
tepat, dengan target yang jelas, dan bersifat sementara. Kebijakan tersebut memiliki tujuan ganda,
yaitu mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang terjadi dan sekaligus menjaga
kondisi ekonomi agar tidak terpuruk semakin dalam. Berbagai stimulus fiskal telah diberikan
oleh pemerintah untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat dan juga
kegiatan usaha UMKM. Kebijakan moneter yang ekspansif telah dilakukan melalui
quantitative easing dan penurunan suku bunga beberapa kali hingga menjadi 3,5
persen, menjadikan suku bunga terendah dalam sejarah moneter Indonesia. Kebijakan restrukturisasi kredit telah
berhasil menyelamatkan jutaan debitor yang mengalami gangguan likuiditas
sehingga kegiatan usaha mereka masih bisa terus berjalan. Jumlah kredit yang
direstrukturisasi bahkan sudah melandai dari posisi Rp 830 triliun menjadi Rp
808 triliun. Terakhir, adanya bauran kebijakan ekonomi
makro di sektor properti dan otomotif, dalam bentuk pemotongan pajak,
kelonggaran uang muka, dan relaksasi bobot risiko kredit, mampu mendongkrak
permintaan rumah dan kendaraan bermotor. Kebangkitan
ekonomi global China yang menjadi sumber pertama
asal-muasal penularan virus Covid-19 ternyata justru mampu memulihkan
perekonomiannya dengan cepat. Pada 2020 ekonomi China mampu tumbuh 2,3
persen, dan pada triwulan I-2021 bahkan telah menembus angka 18,3 persen,
sehingga memberikan pengaruh yang besar dalam membangkitkan pertumbuhan
ekonomi regional. Ekonomi AS juga tumbuh lebih cepat dari
perkiraan para ekonom sehingga pada triwulan IV-2020 mampu tumbuh sebesar 4
persen, dan pada triwulan I-2021 bahkan melesat menjadi 6,4 persen. Pulihnya kedua raksasa ekonomi dunia itu
tentunya membawa dampak positif terhadap permintaan impor bahan baku ataupun
barang-barang komoditas lainnya yang berasal dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi
negara macan Asia lainnya, seperti Hong Kong dan Taiwan, juga mengalami
kenaikan yang luar biasa, masing-masing 7,8 persen dan 8,16 persen. Kebangkitan ekonomi global juga terlihat
dengan adanya kenaikan harga beberapa komoditas. Harga minyak mentah mencapai
level tertinggi selama 22 bulan pada pertengahan April 2021, berkisar 63-67
dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak tersebut menjadi indikator bahwa
permintaan mulai meningkat guna menggerakkan mesin-mesin pabrik di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri. Bijih besi sebagai bahan baku pembuatan
baja juga memperlihatkan kenaikan harga yang tertinggi pada bulan April 2021,
mencapai 193 dollar AS per metrik ton, dibandingkan dengan 83 dollar AS per
metrik ton pada April 2020. Komoditas lain, seperti CPO, juga mengalami
kenaikan dari 870 dollar AS per ton pada Desember 2020 menjadi 1.031 dollar
AS per ton April 2021. Kinerja
manufaktur Faktor lain yang mendukung adalah semakin
membaiknya kegiatan usaha manufaktur di Indonesia, yang terlihat dari naiknya
Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur pada bulan Maret 2021 yang mencapai
53,2. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Desember 2020 (51,3) dan Februari
2021 (50,9). Salah satu pemicu naiknya indeks tersebut
adalah adanya insentif fiskal dalam bentuk penurunan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) untuk penjualan kendaraan bermotor. Salah satu bukti di lapangan memperlihatkan
bahwa produksi mobil pada triwulan I-2021 mencapai 187.021 unit atau naik
16,63 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan indeks PMI pada
Maret 2021 itu merupakan pencapaian tertinggi dalam periode 10 tahun
terakhir. Naiknya indeks tersebut memberikan indikasi
bahwa industri manufaktur di Indonesia sudah memasuki fase ekspansi usaha sebagai
akibat adanya kenaikan permintaan. Kinerja
ekspor impor Tanda-tanda pulihnya ekonomi juga terlihat
dari meningkatnya kinerja ekspor dan impor beberapa bulan terakhir. Data
terkini dari BPS memperlihatkan bahwa kinerja ekspor pada Maret 2021 mencapai
angka 18,35 miliar dollar AS, meningkat 20,31 persen dibandingkan Februari
2021 (month-to-month/mtm) dan 30,47 persen dibandingkan Maret 2020
(year-on-year/yoy). Bahkan, nilai ekspor Maret 2021 itu yang
tertinggi sejak Agustus 2011 yang mencapai 18,54 miliar dollar AS. Kenaikan
ekspor itu imbas dari membaiknya ekonomi global, khususnya negara-negara
raksasa ekonomi dunia, sehingga mendorong kenaikan berbagai barang konsumsi
dan barang modal. Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa
nilai impor pada Maret 2021 mencapai 16,79 miliar dollar AS, meningkat 26,55
persen (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, nilai impor
tersebut mengalami kenaikan 25,73 persen (yoy). Kenaikan nilai impor sebesar dua digit itu
memperlihatkan bahwa geliat industri manufaktur dan kegiatan investasi sudah
mulai pulih kembali. Membaiknya industri manufaktur dan investasi itu
sekaligus memberikan sinyal bahwa permintaan terhadap berbagai produk
barang-barang mengalami kenaikan. Transaksi
pembayaran meningkat Tanda-tanda pulihnya ekonomi nasional juga
terpantau dari meningkatnya transaksi pembayaran nasional. Hal ini terlihat
dari jumlah peredaran uang tunai pada Maret 2021 yang mencapai Rp 782,7
triliun atau meningkat 7,61 persen (yoy). Transaksi pembayaran untuk perdagangan
ritel yang berbasis kartu debit mencapai Rp 647 triliun atau meningkat 10,44
persen (yoy). Adapun transaksi pembayaran yang dilakukan secara daring
melalui layanan digital di perbankan telah mencapai Rp 3.025 triliun atau
naik 26,44 persen (yoy). Meningkatnya transaksi pembayaran yang
berbasis tunai maupun nontunai itu memberikan bukti adanya peningkatan
aktivitas ekonomi di sektor riil. Pulihnya
keyakinan konsumen Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami
kenaikan dari 85,8 pada bulan Februari 2021 menjadi 93,4 pada Maret 2021.
Program vaksinasi nasional dianggap telah memperkuat keyakinan masyarakat
terhadap membaiknya prospek ekonomi ke depan sehingga pemulihan ekonomi
nasional diharapkan dapat segera terwujud. Walaupun IKK ini masih berada dalam zona
pesimistis, angkanya terus meningkat dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu,
tidaklah berlebihan apabila kita berharap pada bulan-bulan berikutnya IKK
mampu menebus zona optimistis di atas 100. Terkait harapan dan tantangan ke depan,
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 sebesar minus 0,74 persen (yoy) dan
minus 0,96 persen (quarter-to-quarter/qtq) tersebut memang patut kita syukuri
walaupun belum mencapai angka pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi terjadi,
yaitu rata-rata 5 persen per tahun. Kita berharap untuk jangka pendek nantinya
pada triwulan I-2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah memasuki pertumbuhan
positif sehingga secara perlahan-lahan akan kembali ke level 5 persen pada
akhir 2021. Meski demikian, ada beberapa tantangan yang
akan dihadapi untuk mewujudkan target tersebut. Pertama, kemungkinan besar
stimulus fiskal masih diperlukan dalam beberapa tahun ke depan untuk
mendorong konsumsi dan investasi. Namun, tantangannya adalah kemampuan ruang
fiskal semakin terbatas sehingga potensi utang pemerintah menjadi semakin
besar. Kedua, mendorong perbankan untuk lebih
berani mengalirkan likuiditas ke sektor riil dan pembiayaan guna mendorong
peningkatan konsumsi dan investasi yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi nasional. Dengan suku bunga acuan yang sudah rendah sepanjang sejarah
dan risiko kredit yang semakin berkurang, tidak ada alasan bagi bank untuk
menahan laju penyaluran kredit. Ketiga, perlu strategi baru mendorong
kelompok menengah ke atas agar lebih banyak membelanjakan uangnya yang saat
ini masih tersimpan di bank. Keempat, program vaksinasi nasional perlu
dipercepat apabila memungkinkan, tetapi harus disertai dengan kampanye
kedisiplinan protokol kesehatan yang saat ini cenderung mulai diabaikan oleh
masyarakat. Kegagalan mengendalikan pandemi akan memengaruhi segala upaya
yang dilakukan guna mendorong pemulihan ekonomi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar