Putusan
Kematian KPK Zainal Arifin Mochtar ; Ketua Departemen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM; Penasihat Pukat Korupsi FH UGM |
KOMPAS, 8 Mei 2021
Membaca saksama putusan MK tentang
pengujian formil dan materiil terhadap UU KPK hasil revisi terasa seperti
menyaksikan ”sentuhan akhir” suatu kejahatan sempurna (perfect crime). Dilakukan dengan semacam hypercriminality
dalam bahasa sosiolog Jean Baudrillard, tatkala kejahatan itu disusun
sedemikian rupa, dikontrol oleh kekuasaan besar dengan manajemen kejahatan
yang canggih dan permainan politik tingkat tinggi. Mahkamah Konstitusi (MK)
menyempurnakannya melampaui hukum, moralitas, kemampuan akal sehat, dan
nilai-nilai budaya yang diyakini. Putusan MK tentu tak bisa dibaca terpisah
dari posisi DPR dan Presiden dalam legislasi revisi tersebut. Semua terasa
seperti orkestrasi. Melodi yang dimainkannya adalah ritme ”KPK boleh hidup,
tapi pemberantasan korupsi harus mati”. Mengapa mudah membaca bahwa putusan
MK hanyalah sebagai stempel pengesahan hukum atas kejahatan yang ada?
Pembacaan atas putusan MK akan sangat memperlihatkan itu. Ada tujuh putusan MK yang kemarin dibacakan
secara maraton. Intinya ada dua, permohonan formil dan permohonan materiil.
Pengujian formil adalah pengujian atas tata cara pembentukannya, sedangkan
ujian materiil adalah bunyi isi dan bagian dari pasal d UU tersebut. Ketujuh
putusan itu jika dibaca bersamaan menunjukkan betapa MK ”tidak serius” dengan
problem konstitusionalitas yang ada. Membaca
putusan formil MK Dalam pengujian formil, MK mendasarkan pada
kaki yang sangat rapuh. Membaca putusan MK terasa seperti sekelompok ”pokrol
bambu” amatiran yang sedang mencari alasan pembenar untuk menghindarkan diri dari
kebenaran. Ini dibaca dari putusan MK No 79/PUU-VII/2019 yang merupakan
jantung putusan MK untuk permohonan formil, sebab permohonan formil lainnya
ditolak karena ditundukkan pada alasan yang tercantum di putusan ini. Pertama, setelah menolak permohonan
provisi, MK langsung masuk pokok permohonan formil dengan alasan revisi UU
itu sudah nyata ada di prolegnas dan tak masalah soal cepat atau lambatnya
penyusunan UU serta juga sudah ada yang namanya partisipasi dan aspirasi
dengan mengutip bahwa ada pandangan dari diskusi di beberapa universitas dan
pandangan beberapa pakar. MK seakan hanya mengatakan ”adanya” tanpa
mempersoalkan ”keberadaannya”. Seakan-akan konstitusionalitas itu hanya
urusan formalitas ada atau tidaknya suatu hal. Apa MK tahu apa yang terjadi
dalam diskusi di berbagai universitas itu? Apakah penerimaan atau penolakan?
Apa MK tak mencium gejala bad participation yang sering dilakukan dalam
konsep legislasi dengan hanya meminta pandangan orang-orang yang sudah setuju
dengan pendirian DPR? Pada titik itu menarik mengutip pandangan
Wahiduddin Adams, satu-satunya hakim yang dissenting, yang menyatakan bahwa
beberapa poin itu sudah cukup untuk menyebabkan UU a quo memiliki persoalan
konstitusionalitas dan moralitas yang sangat serius. Moralitas yang hampir
tak diperhatikan sama sekali oleh delapan hakim lainnya. Bertalian dengan partisipasi juga adalah
betapa MK memperlihatkan ketiadaan penghargaan atas aspirasi. MK dalam
putusan itu dengan jelas mengatakan bahwa adanya demonstrasi tak menentukan
keabsahan formalitas pembentukan UU. Bagaimana mungkin MK tidak melihat
gelombang demonstrasi yang sangat besar, bahkan mengakibatkan beberapa
mahasiswa kehilangan nyawa, sebagai sebuah parameter? MK sebenarnya dapat melihat dengan mudah,
atas dasar aspirasi itu Presiden akhirnya menunda pembahasan RUU KUHP, tetapi
mengapa tidak untuk RUU KPK kala itu? Padahal, aspirasinya relatif sama,
bahkan mengakibatkan korban nyawa. Mengapa RUU KUHP berhenti, sedangkan RUU
KPK tidak? Intinya, mengapa MK begitu bebal dengan konsep sederhana aspirasi,
padahal aspirasi dan partisipasi adalah kesatuan utuh dalam sebuah proses
legislasi. Aspirasi dan partisipasi hanya dilihat
dalam bingkai pendekatan semata dan bukan tujuan, hanya dijadikan pendekatan
untuk membenarkan apa yang diinginkan, dan bukan lagi tujuan untuk dapat
masukan sebesar-besarnya. Kedua, MK terlihat menggunakan pendekatan
”asal-asalan” ketika melihat tuduhan pemohon soal naskah akademik (NA)
fiktif. MK kemudian terikat pada maksud fiktif hingga menggunakan penjelasan
kamus. MK abai untuk melihat lebih dalam bahwa NA yang ada adalah NA yang
lama, yang tidak berkesesuaian dengan materi perundang-undangan yang mau
dibuat, bahkan sekadar asal mendapatkan penegasan bahwa memiliki NA. Itu yang bagi MK tidak fiktif. Padahal, NA
ini NA ”jadi-jadian” karena ada perbedaan besar antara substansi UU yang
dibuat dan ”rancangannya” di NA. NA bukanlah hal yang main-main. Dalam
konteks politik hukum, NA menjadi salah satu alat ukur paling sahih untuk
melihat mau dibawa ke mana arah perbaikan UU. Apakah benar jargon penguatan
KPK atau sebenarnya yang ada upaya domestikasi KPK? Tanpa perlu masuk ke substansi NA terlalu
dalam, bisa dilihat apakah NA memang dibuat serius atau hanya asal ada. Jika
MK mau memainkan pandangan moralitas konstitusi sedikit lebih baik,
sebenarnya mudah melihat keseriusan NA dalam artian keseriusan politik hukum
negara pada legislasi yang sedang dibuat. Ketiga, kesepakatan Presiden dan DPR dalam
salah satu tahapan legislasi. Jika dilihat keseluruhan tahapan, ada proses
yang terlalu cepat dan tak wajar. Bahkan UU yang dibahas dan disetujui
bersama itu ditolak Presiden untuk penandatanganan pengesahannya. Anehnya, MK
tak tergelitik untuk tahu lebih dalam soal itu. Padahal, itulah salah satu jantung
pengujian formil, berkaitan dengan ketaatan tahapan pembuatan peraturan
perundang-undangan. Membaca
putusan materiil MK Keanehan lebih lanjut juga berada di
pengujian materiil. Seperti yang diduga sebelumnya, MK seakan-akan hanya mau
”menghibur” publik dengan menerima beberapa permohonan, padahal sebenarnya
yang diterima tidaklah signifikan, bahkan tak menjawab problem mendasar dan
menyelesaikan implikasi penting dari pengaturan tersebut. Pertama, soal pengertian KPK sebagai sebuah
lembaga. Memang kelihatannya MK menerima, tetapi pada dasarnya tidak ada efek
yang berarti untuk KPK. Tidak lebih dari ketidaksinkronan antara UU lama dan
UU baru. Namun, itu tak menggeser apa-apa terkait independensi MK. Bahkan,
terkesan ada dua hakim yang ”berubah mendadak” dari pandangannya tentang KPK
sebagai lembaga negara independen. Dalam putusan MK No 36/PUU-XIV/ 2017
tentang Hak Angket DPR atas KPK, kedua hakim itu menolak KPK diangket dengan
alasan KPK lembaga negara independen. Karena independen, baik secara fungsi
maupun kelembagaan itulah, mereka menolak KPK diangket oleh DPR mengingat
angket hanyalah untuk eksekutif. Hal itu tertera dalam dissenting opinion
yang ditandatangani kedua hakim tersebut. Dalam putusan ini, keduanya
tiba-tiba menjadi pendukung KPK di bawah eksekutif. Terlihat di sini
inkonsistensi pendapat dalam dissenting opinion yang mereka sampaikan dalam
kasus sebelumnya tersebut. Kedua, berkaitan dengan SP3. Putusan itu
tak memberikan implikasi berarti untuk penegakan hukum antikorupsi karena
justru membawa implikasi, yakni membuat SP3 kelihatan semakin mudah dibuat
dengan hanya diukur dari dua tahun semenjak dikeluarkannya surat perintah
dimulainya penyidikan (SPDP). Bahkan, jika dibandingkan dengan SP3 di
KUHAP, justru menjadi lebih sederhana. Apakah ini berkaitan dengan meluruhnya
semangat antikorupsi dan melihat korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa. Ketiga, pengalihan pegawai KPK ke ASN. Ini
pun sebenarnya tidak memberikan implikasi apa-apa karena tidak mampu
menyelesaikan problem yang ada sekarang. Meskipun mengakui bahwa ini adalah
alih fungsi—dan memunculkan kesan ada perlindungan yang dilakukan MK atas
pegawai KPK dalam proses pemindahan mereka ke ASN— tetap saja ini memberikan
diskresi penyusunan ke peraturan yang ada sehingga kembali tidak mampu
menjawab penuh problem hadirnya tes wawasan kebangsaan yang malah menjadi
alat delegitimasi terhadap pegawai-pegawai KPK yang memiliki semangat luar
biasa dalam pemberantasan korupsi. Satu
kejahatan dua kematian Pembacaan putusan di atas sesungguhnya
menunjukkan betapa serius problem konstitusionalitas yang oleh MK dijawab
secara tidak serius. Sistematisnya kejahatan membunuh KPK tidak dipandang
sebagai suatu yang berbahaya bagi masa depan Indonesia, padahal putusan MK
sebelumnya menegaskan KPK memiliki constitutional importance. Di sini MK
terkesan sengaja tidak membawa perspektif konstitusionalitas yang seharusnya
sangat penting. Bisa dikatakan, kali ini dalam kejahatan
pembunuhan KPK, bukan sekadar perfect crime, melainkan juga mengakibatkan
adanya korban ganda. Bukan hanya mengancam kehidupan KPK sehingga berada di
ujung tanduk dan sekarat, melainkan juga menunjukkan kematian moralitas
konstitusional di MK. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar