Koalisi
Guru Besar Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior
Kompas |
KOMPAS, 8 Mei 2021
Jumat, 30 April 2021. Surat Koalisi Guru
Besar Anti Korupsi beredar. Surat yang ditandatangani 55 guru besar, kemudian
bertambah menjadi 72 guru besar lintas perguruan tinggi, lintas disiplin
ilmu. Mereka bersurat kepada Yang
Mulia Hakim Konstitusi. Para guru besar itu meminta Mahkamah Konstitusi
mengembalikan KPK ke khitahnya. Sejumlah argumen disampaikan. Surat guru besar tersebut bisa saja
ditafsirkan sebagai kegalauan cendekiawan terhadap keadaan. Namun, bisa juga
ditafsirkan secara lain. Penafsiran tergantung di mana posisi moral
seseorang. Surat dikirim ke MK karena MK akan memutus uji formil dan uji
materiil UU KPK pada Selasa, 4 Mei 2021. Kemunculan Koalisi Guru Besar Anti Korupsi
ini merupakan perkembangan menarik. Belakangan, cendekiawan disebut-sebut
terlena oleh keadaan. Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia
Sulistyowati Irianto, seperti dikutip sejumlah portal berita, mengemukakan,
beberapa tahun belakangan ini marak fenomena kaum intelektual menghamba
kepada kekuasaan dan birokrasi. Sulistyowati ikut menandatangani surat
bersama dengan Prof Dr Emil Salim, Prof Azyumardi Azra, Prof Sigit Riyanto,
Prof Franz Magnis-Suseno, dan guru besar lain. Fenomena turun gunungnya guru
besar untuk merespons perkembangan situasi politik kontemporer memberikan
harapan di tengah redup dan melemahnya oposisi. Sebenarnya tak semua cendekiawan larut
dengan keadaan. Masih ada cendekiawan yang bersuara kritis. Di antaranya Prof
Dr Azyumardi Azra yang menyuarakan penggabungan Kemenristek ke Kemendikbud
sebagai sebuah kekeliruan. Lantang
juga bersuara soal KPK. Ada pula Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP), yang menulis di harian Kompas, 6 Mei 2021,
berjudul ”Penghancuran Pencapaian”. Gaya tulisan Yudi yang selama ini dikenal
teduh dengan bahasa tinggi kini terasa lugas. Dia menulis, ”Para pemimpin
datang dengan niat mulia, tetapi berakhir dengan membuat kecewa; mulai
mengemudi dengan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi di persiapan belok ke
kanan. Penguasa silih berganti, tetapi politik di negeri ini hanya satu
rencana: rencana berkhianat.” Boleh jadi kekecewaan Yudi adalah soal KPK.
Dia menulis, ”Kita perjuangkan reformasi dengan misi besar membasmi korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Sekarang begitu tega kita lumpuhkan kembali Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Suara kritis cendekiawan dibutuhkan negeri
ini di tengah banyak ilmuwan yang diserap atau terserap oleh kekuasaan. Sama
halnya juga dengan aktivis—apakah aktivis demokrasi, aktivis hak asasi
manusia, aktivis lingkungan—yang juga terserap dan diserap kekuasaan. Seorang aktivis mengatakan, ”Buat apa
banyak bicara, toh tidak akan bisa mengubah keadaan. Sementara risiko pada
saya dan keluarga jauh lebih besar.” Kwik Kian Gie secara terbuka lewat akun
Twitter-nya mengatakan takut menyampaikan pendapat yang berbeda. ”Saya belum
pernah setakut ini.” Surat guru besar bisa dipandang sebagai
seruan moral kampus. Namun, suara guru besar itu tak didengar. MK menolak uji
formil UU KPK meskipun ada hakim konstitusi Wahiduddin Adams yang berani
melakukan dissenting opinion. Wahiddudin mengatakan, ada pelanggaran
konstitusi dalam pembahasan revisi UU KPK. Wahiddudin kalah suara. Meski menolak uji formil, pembelaan minimal
MK kepada KPK masih tampak, khususnya terkait nasib 75 pegawai KPK yang tidak
lolos tes wawasan kebangsaan. Bahkan disebut salah seorang yang tidak lolos
tes wawasan kebangsaan adalah pegawai yang pernah menjadi lulusan terbaik
dalam Diklat Kepemimpinan. Nama mereka beredar luas meskipun pimpinan
KPK mengatakan tidak pernah merilis nama itu. Peredaran nama itu merupakan
pembunuhan karakter terhadap pegawai KPK yang sedang menangani kasus korupsi
besar. Kabar adanya pemecatan terhadap 75 pegawai
KPK itu sampai ke hakim konstitusi dua hari sebelum putusan dibacakan. MK
lalu menegaskan, pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara
tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat sebagai ASN dengan
alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan. ”Sebab, para pegawai
selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan korupsi
tak diragukan lagi.” Itu adalah pertimbangan MK. Kini, berpulang kepada KPK dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Apakah akan memecat 75
pegawainya yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan—yang ukuran dan
parameternya bisa diperdebatkan—atau mau menguatkan wawasan kebangsaannya dan
mengizinkan untuk ikut ”remedial” agar bisa memenuhi syarat. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, juga
mengingatkan ada ”gentlemen’s agreement” antara DPR dan pemerintah bahwa alih
status pegawai KPK ke ASN bukanlah untuk menyingkirkan mereka. Kebijakan
menyingkirkan 75 pegawai memang akan membuat KPK lumpuh. Bersoraklah para
koruptor. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar