Merasa
Lebih Berhak (A Sense of Entitlement Complex) Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang
Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS, 2 Mei 2021
Beberapa hari lalu, Zaskia Adya Mecca
mengunggah sebuah video suara penyeru sahur pada pagi buta di akun media
sosialnya. Dalam video itu tergambar penyeruan dilakukan dengan suara kencang
diimbuhi senda gurau. Zaskia memprotes hal ini, dengan menyebutnya sebagai
hal yang kurang etis dan ia pun bertanya apakah hal ini tidak mengganggu
orang-orang yang tidak perlu bersahur. Oleh karena postingannya tersebut,
Zaskia menuai dua reaksi: dukungan dan hujatan. Dukungan disampaikan dengan alasan yang
berbeda-beda, di antaranya oleh mereka yang merasa Zaskia menjadi saluran
kegelisahan mereka selama ini terhadap praktik-praktik sejenis. Mereka
meyakini bahwa penyeruan sahur bergaya seperti ini sebagai tidak peka keadaan
dan tidak menghormati kebutuhan yang berbeda-beda. Di sisi lain, hujatan disampaikan dengan argumentasi
bahwa penyeruan sahur seperti ini adalah tradisi dan kearifan lokal yang
sudah lama berlangsung dan tidak pernah dipersoalkan. Argumentasi lainnya
adalah karena Islam adalah kelompok mayoritas, sudah sepantasnya yang tidak
bersahur menghormati kebutuhan umat Islam yang hanya satu tahun satu kali. Argumentasi terakhir soal
hormat-menghormati kerap memicu perdebatan. Siapa yang seharusnya dihormati,
siapa yang seharusnya menghormati? Bagaimana cara menentukan siapa yang
berhak untuk menghormati atau dihormati? Akhirnya tak terhindarkan, muncul
dorongan untuk saling menuntut pihak lain atas apa yang dianggap sebagai
haknya. Dalam dunia psikologi, ini dikenal dengan
konsep rasa berhak (sense of entitlement). Biasanya sense of entitlement ini
berangkat dari kesadaran atas posisi dan peran dalam konteks organisasi,
sosial, ataupun politik. Psikolog Jasbindar Singh mengatakan, dalam hal ini,
Siapa Saya (Who I Am) lebih kuat daripada Tindakan Saya (What I Do). Alih-alih mengukur diri dari performa, kapasitas,
atau kredibilitasnya, individu menuntut perlakuan tertentu karena label yang
melekat pada dirinya tersebut. Bisa karena jabatan yang dihuninya, karena
popularitasnya, atau karena kelompok afiliasinya. Soal rasa berhak atau sense of entitlement
ini memang tak hanya terjadi dalam drama TOA. Kisah-kisah para pejabat negara
atau wakil rakyat yang menuntut pelayanan istimewa adalah hal yang sangat
sering kita dengar. Dalam masyarakat dengan sistem patriarkal, seorang suami
merasa mempunyai hak berkuasa atas istrinya karena kelaki-lakiannya, dan ini
beresonansi sampai ruang publik di mana perempuan dan laki-laki pada posisi
jabatan yang sama bisa menerima remunerasi yang berbeda karena jenis
kelaminnya belaka. Rasa berhak muncul dalam sikap egosentris
dan hanya mampu melihat dari sudut pandangnya saja. Individu menuntut
diperlakukan berbeda dengan orang lain. Akibatnya, sikap semena-mena dan mau
menang sendiri pun mewujud dalam perilaku tidak peduli pada kepentingan orang
lain, bahkan tidak peduli pada aturan yang berlaku. Contohnya, berita-berita
viral di media tentang anggota TNI atau anggota Polri yang bersikap seenaknya
di jalan raya karena rasa berhak ini. Menguatnya rasa berhak adalah sebuah
fenomena global. Di Amerika Serikat, kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa
meningkat drastis sejak pandemi berawal, dengan narasi warga Tionghoa tidak
berhak menjadi warga AS. Kekerasan rasial terhadap masyarakat Amerika-Afrikan
juga belum dapat sepenuhnya dihilangkan. Faktor utamanya adalah rasa berhak
yang menghinggapi kaum kulit putih melalui sikap supremasi kulit putih (white
supremacy). Bahkan, beberapa riset mutakhir menunjukkan
perubahan per generasi, dengan generasi milenial memiliki tingkat rasa berhak
yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi-generasi seniornya. Diyakini,
ini muncul dari konsep diri yang berlebihan (inflated sense of self) ditambah
kurangnya ruang interaksi nyata karena kuatnya interaksi di dunia maya
sehingga konsep diri yang tak laras tersebut tak memiliki ruang tumbuh yang
memadai. Di akarnya, ditengarai rasa berhak ini
dipengaruhi proses pengasuhan yang kurang seimbang. Pola pengasuhan baru yang
berfokus pada anak sering disalahpahami menjadi meninggikan anak. Pujian
berlebihan tanpa sikap kritis dan membangun kesadaran diri yang sehat membuat
anak terbiasa meletakkan dirinya sebagai pusat kehidupannya
(self-centeredness) tanpa menyeimbangkannya dengan kehadiran orang-orang lain
di sekitarnya. Proses ini membuat banyak individu tidak
terbiasa menimbang kebutuhan orang lain atau kepentingan bersama. Ia lebih
sibuk berpikir tentang haknya daripada berpikir tentang hak orang lain. Maka,
cerita tentang orang yang berutang marah saat ditagih utangnya menjadi bukti
anekdotal tentang bagaimana kita berada dalam zaman wolak-walik ini. Dalam ruang hidup bersama, kita bisa
membayangkan bila semakin banyak orang yang hidup dalam mode rasa berhak
berlebihan ini. Dalam konteks masyarakat sosio-sentris, seperti Indonesia,
atribut kelompok berpotensi menjadi sumber rasa berhak. Semakin berbahaya
ketika ini terjadi dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Diskriminasi,
sentimen kebencian dalam kontestasi kekuasaan, favoritisme dalam pengambilan
kebijakan menjadi mudah terjadi, dan berujung pada pelanggaran hak masyarakat
yang lebih lemah. Bisa kita bayangkan seperti apa Indonesia
apabila ratusan kelompok suku dan kelompok masyarakatnya merasa lebih berhak
atas Tanah Air ini dibandingkan dengan lainnya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar