Menggaungkan
Kurikulum Borobudur A. Windarto ; Peneliti di Litbang Realino, Sanata
Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS, 26 Mei 2021
Bukan sebuah kebetulan
bahwa menjelang peringatan hari raya Waisak pada 26 Mei mendatang, harian
Kompas (Minggu, 23/6/2021) menerbitkan infografik berjudul ”Gunung Kebajikan
di Jantung Jawa”. Melalui infografik yang cukup eksentrik itu, ditampilkan
bagaimana Candi Borobudur dibangun dengan amat teliti dan hati-hati. Dengan penampilan itu,
para pembaca Kompas dapat belajar bahwa Candi Borobudur tidak sekadar tempat
wisata, tetapi juga sebuah kurikulum yang mampu memperlihatkan jejak langkah
pembelajaran para peziarah untuk mencapai apa yang telah dijalani oleh Buddha. Pertanyaannya, apakah pada
zaman yang semakin global dan serba modern ini pembelajaran itu masih mungkin
untuk dilakukan? Bagaimana pembelajaran itu dapat menjadi sebuah pembelajaran
yang komprehensif dan terpadu? Adakah catatan atau rekaman sejarah yang dapat
dijadikan referensi untuk hal itu? Dalam film dokumenter
berjudul ”Belajar dari Borobudur/Learning from Borobudur” (1989) yang
diproduksi oleh Studio Audio Visual PUSKAT, Yogyakarta, dipertontonkan
bagaimana sesungguhnya Candi Borobudur dijadikan napak tilas bagi para
peziarah dari sejumlah negeri di dunia. Napak tilas yang sebenarnya diawali
dari Candi Mendut dan Candi Pawon itu bermuara di Candi Borobudur sebagai
puncak dari peziarahan. Di puncak itulah, para
peziarah diundang untuk merenungi kehidupan yang ditampilkan lewat beragam
relief yang terpahat pada setiap tembok candi. Sebagaimana dikaji oleh Claire
Holt dalam bukunya yang berjudul Art in Indonesia: Continuities and Change
(Cornell University Press, 1967), di candi Borobudur terdapat 1.460 gambar,
1.212 hiasan panel, dan 27.000 kaki persegi permukaan batu yang dipahat dalam
relief yang teliti. Salah satunya adalah relief tentang napak tilas calon
Buddha yang bernama Sidharta Gautama dengan jumlah 120 relief. Dari sebagian relief itu,
para peziarah diperlihatkan bagaimana calon Buddha menjalani napak tilas yang
tidak cukup hanya didongengkan, tetapi juga perlu dilakukan dengan sepenuh
hati. Sebagian relief lain juga menampilkan tentang berbagai cerita binatang.
Contohnya, seperti cerita mengenai angsa dan kura-kura, kambing dan singa,
kera dan burung manyar, kucing dan tikus, serta burung berkepala dua. Pada setiap cerita yang
dipahat menjadi relief itu terkandung beragam pelajaran tentang kebajikan.
Relief-relief itu menyampaikan pesan reflektif tentang kebaikan dan keburukan
diri manusia yang dituturkan dengan amat imajinatif dan kreatif. Maka, tak
heran jika film dokumenter itu mendapat perhargaan berupa Prize Feldafest
Golden Award dari Festival Film Prix Futura di Berlin tahun 1992. Berdasar hal itu, menjadi
menarik sebenarnya untuk menggaungkan spirit pembelajaran kembali mengenai
Candi Borobudur. Itu karena di sana dapat dijumpai beragam bahan pembelajaran
yang tidak mudah lagi untuk dicari dan ditemukan di mana pun. Dengan kata lain,
di Candi Borobudur itulah catatan atau rekaman sejarah mengenai laku hidup
spiritual sebagai napak tilas untuk menjadi manusia yang seutuhnya masih
tersimpan dengan cukup baik. Meski ada kerusakan,
bahkan kehancuran, khususnya di beberapa relief dan patung, masih belum
terlambatlah agaknya jika Candi Borobudur dijadikan sebagai salah satu tempat
pembelajaran alam. Itu artinya, sisi kunjungan wisata yang bersifat rekreatif
ke Candi Borobudur perlu diimbangi dengan sisi pembelajaran yang menuntun dan
menuntut siapa pun untuk belajar menjadi peziarah yang sedang dan selalu
bernapak tilas dalam kehidupan sehari-hari. Sementara dalam
disertasinya yang berjudul ”A Study on the Origin and Significance of
Borobudur” (2004), Hudaya Kandahjaya menunjukkan bahwa Candi Borobudur adalah
sebuah biara yang mengandung berlipat-lipat kebajikan Sugata atau Buddha.
Struktur bangunannya seperti sebuah altar yang ditinggikan (altar panggung).
Di atasnya terletak kediaman para Buddha yang menyerupai jari-jari sebuah
altar yang dibentuk seperti sebuah roda (Kompas, 10 Juni 2004). Maka, Candi Borobudur
memang tak ubahnya seperti visualisasi dari ajaran-ajaran Buddha, khususnya
adalah berbagai ajaran Buddha Sakyamuni saat tinggal selama berada di dalam
rahim ibunya. Hal itulah yang membuat setiap relief, patung, bahkan batu-batu
yang terdapat di Candi Borobudur mencerminkan beragam kebajikan Sakyamuni,
seperti keharmonisan, keseimbangan, dan keselarasan dengan alam dan
penampakan ekologis lainnya. Dalam konteks ini, film
dokumenter di atas dapat dijadikan semacam ”buku pegangan” bagi para peziarah
pemula. Itu karena dalam film dokumenter tersebut secara praktis
dipertontonkan jalan apa yang mesti ditempuh untuk menjadi seorang peziarah.
Meski masih amat terbatas, melalui film dokumenter itu para peziarah dapat
mempelajari secara intensif, efektif, dan operatif apa saja yang diperlukan
untuk menjalani suatu napak tilas. Di sini pembelajaran
mengenai napak tilas itu dipertontonkan melalui beragam cerita binatang yang
sesungguhnya sudah diawali di Candi Pawon dan Candi Mendut. Pada tahap awal
ini dikenal sebagai kawasan kamadatu pada candi Borobudur. Selanjutnya, pembelajaran
mengenai berbagai patung, khususnya patung Buddha dalam stupa dengan lubang
berbentuk kotak atau persegi empat, yang mencerminkan bagaimana wujud dari
berbagai makhluk hidup dengan segala sifat dan wataknya. Dengan pembelajaran ini,
para peziarah dituntun dan dituntut untuk dapat mengetahui siapa dan apa
sesungguhnya yang menjadi keutamaan-keutamaan dalam hidup bersama dengan yang
lain. Karena itulah, pada tataran ini pembelajaran lebih dikenal sebagai
bagian dari lingkup yang di Candi Borobudur disebut sebagai kawasan Rupadatu. Sementara kawasan di
atasnya disebut sebagai Arupadatu, yang berarti kosong atau tanpa wujud. Di
sinilah kekosongan yang telah dialami oleh Buddha ditampilkan melalui
stupa-stupa yang tanpa siapa atau apa pun di dalamnya dan lubangnya berbentuk
persegi delapan. Dengan kekosongan yang direpresentasikan melalui stupa yang
paling besar di puncak Candi Borobudur, memang tiada apa pun atau siapa pun
yang dibawa dalam menjalani suatu napak tilas. Jadi, napak tilas itu
sebenarnya adalah jalan kesendirian atau kesunyian yang juga dikenal sebagai
jalan pedang bagi seorang samurai dalam kebudayaan masyarakat di Jepang. Dari segenap pembelajaran
itu, tampak bahwa kurikulum Borobudur memang masih layak untuk digaungkan
kembali. Dengan kata lain, pembelajaran terhadap apa yang telah disusun
melalui candi yang dibangun pada abad ke-8 itu tetap dapat menjadi
pembelajaran hidup bersama pada masa kini yang telah sedemikian rupa
mengabaikan, bahkan menghilangkan, warisan nilai-nilai hidup dari masa lalu.
Dengan demikian, inilah saat dan tempat yang tepat untuk mempelajari kembali
apa yang sudah dianggap langka dan selalu dibuang dari pikiran. Menarik untuk dicatat
bahwa pada infografik di harian Kompas di atas, antara lain tertulis nama
Ratu Tara dan Putri Pramodhawardhani. Mengapa? Karena kedua nama itulah yang
akan menjadi sosok penting dalam pembangunan Candi Prambanan pada abad ke-9.
Candi yang menjadi representasi dari perpaduan dua keluarga besar dari Wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan Wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu,
melalui perkawinan antara Pramodhawardani dan Rakai Pikatan. Sementara saudara
lelaki dari Pramodhawardhani, Balaputradewa, justru menjadi penguasa di
Kerajaan Sriwijaya, Sumatera. Selain itu, pada
infografik juga divisualkan bagaimana Candi Borobudur dibangun dengan
dukungan dari arsitek, biksu Buddha, seniman pemahat, ratusan pekerja, rakyat
petani, bahkan pedati kerbau. Namun, bagaimana sesungguhnya proses
pembangunan itu dikerjakan? Teknologi apa yang
dipakai, misalnya untuk mengangkat dan mengangkut batu-batu, kemudian memahat
dan menyusunnya, hingga terbentuk secara simetris menjadi Candi Borobudur
dengan konsep Mandala atau Kosmologis (maharaja menjadi pusat kekuasaan dan
berkedudukan di pusat wilayah)? Sekali lagi, Kandahjaya
menjelaskan bahwa batu-batu itu diangkat dan diangkut dengan teknologi
tertentu dan ditempatkan sesuai dengan perhitungan yang sedemkian cermat dan
teliti, kemudian dipahat oleh para ahli tanpa ada kegagalan sedikit pun dan
disusun sesuai dengan rancangan. Meski baru dugaan belaka,
paling tidak penjelasan itu memberi semacam gaung dari kurikulum Borobudur
yang selama berabad-abad hanya menjadi ”puing-puing reruntuhan” (the ruins)
sebelum ditemukan dan dipugar oleh sarjana Belanda, Dr Th van Erp, tahun
1911. Selamat hari raya Waisak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar