Keluar
dari Jalur Lambat Ari Kuncoro ; Rektor Universitas
Indonesia |
KOMPAS, 4 Mei 2021
Berbagai lembaga keuangan dunia kembali
merevisi prediksi pemulihan ekonomi dunia. Penyebabnya adalah kejadian luar
biasa di India yang menempatkan negara itu dalam titik panas pandemi. Minggu
lalu, India memecahkan rekor dengan 400.000 lebih kasus baru dalam satu hari. Cepat atau lambat dunia akan terkena imbas
ekonominya karena India menjadi salah satu harapan pemulihan ekonomi dunia
dari sisi permintaan. Untuk Indonesia, Dana Moneter Internasional (IMF)
merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2021 ke 4,3 persen.
Demikian juga dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menetapkan batas bawah
4,5 persen. Kedua proyeksi tersebut tidak berbeda jauh
dari batas bawah prediksi pertumbuhan ekonomi versi pemerintah sebesar 4,5
persen. Ini membuat prediksi dari Blomberg—bahwa dunia akan melihat dua jalur
pemulihan, jalur cepat versus jalur lambat—semakin mendekati kenyataan. Hal
ini diilustrasikan dengan data untuk negara-negara maju. Zona Euro mengalami
kontraksi 0.6 persen di triwulan I 2021. Pada saat yang sama, China dan AS
masing-masing tumbuh 18,3 dan 6,4 persen. Jalur
pertumbuhan Walaupun Brooking Insitute di AS telah
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai pertumbuhan
positif tahun 2021, tetap diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk
merealisasikannya. Pasalnya, pertumbuhan investasi di Indonesia sejak pulih
dari Krisis Moneter 1998 lebih ditentukan oleh pertumbuhan konsumsi. Hal ini menyebabkan kombinasi antara daya
ungkit dan akselerator dari investasi menjadi lemah. Tidak seperti periode
sebelumnya investasi menjadi lebih bersifat menunggu ketimbang jemput bola.
Penyebabnya, regulasi dan perizinan tumpang-tindih yang menimbulkan ekonomi
biaya tinggi. Hal ini didokumentasikan oleh Indeks Daya
Saing Global yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF). Untuk tahun 2019
sebelum pandemi, misalnya, prosedur perizinan yang berbelit-belit tecermin
dari waktu untuk memulai bisnis yang masih menduduki peringkat ke-103.
Sementara biaya untuk memulai usaha mendapat peringkat ke-67. Pada saat sebelum pandemi pun, rerata
pertumbuhan investasi triwulanan (year-on-year) antara 2015-2019 yang
mencapai 5,31 persen, tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan di atas 5,2
persen. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3
sampai 5.5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi 8-9 persen. Untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari
itu, agar lebih cepat keluar dari resesi Covid-19, diperlukan pertumbuhan
investasi double digit di atas 10 persen per tahun. Data terbaru BPS
menunjukkan, Indonesia masih di luar jalur pertumbuhan jangka panjangnya.
Sampai triwulan IV 2020 pertumbuhan tahunan investasi masih mencatat minus
6,15 persen. Hanya sedikit membaik dari triwulan sebelumnya yang minus 6,48
persen. Pada tujuh tahun terakhir setelah commodity
boom, Indonesia mempunyai kondisi steady state ala Solow (1956) dengan persentase
konsumsi dan investasi masing-masing sebesar 59 dan 32 persen dari PDB, serta
pertumbuhan rata-rata 5 persen per tahun. Untuk mendongkrak trayektori
pertumbuhan tersebut, dengan asumsi jeda dua tahun antara investasi dan
keluaran produk, diperlukan pertumbuhan investasi paling tidak 10 persen
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun. Suatu angka yang cukup berat untuk dicapai
jika semuanya dilakukan secara business as usual. Hal ini merupakan tugas
berat mengingat pertumbuhan tertinggi investasi riel sejak 2013 adalah 7,94
(y-on-y) yang terjadi pada triwulan III 2018. Jika diambil target pertumbuhan
ekonomi yang lebih realistis misalnya 5,5 persen per tahun maka diperlukan
pertumbuhan investasi 8-9 persen per tahun. Berarti untuk mencapai pertumbuhan
investasi 8 persen saja dengan cara konvensional sudah cukup berat. Untuk itu
diperlukan reorganisasi mesin pertumbuhan secara out of the box seperti
halnya pembentukan Kementerian Investasi. Harapan
ke depan Tumpang-tindih regulasi dan perizinan
selain membuat pertumbuhan investasi menjadi sub-optimal, juga membuat
investor mencari proyek yang memberikan balas jasa cepat. UU Cipta Kerja
berupaya menyelesaikan masalah ini. Tanpa hal itu, investasi yang menarik
adalah sektor perdagangan, hotel, properti, dan bukan manufaktur. Periode
kelimpahan komoditas di periode 2004-2012 turut memperkuat kecenderungan ini. Menggarap industri tetap mahal sehingga
pelaku usaha di sektor manufaktur tidak tertarik untuk membuat kaitan rantai
pasokan dalam negeri dengan segmen industri lain. Kaitan antara segmen
industri kecil, menengah, dan besar (korporasi) sangat lemah sehingga hampir
setiap kegiatan berujung pada impor bahan baku/bahan penolong. Data pada tingkat perusahaan untuk sektor
manufaktur menunjukkan, rasio ekspor terhadap output total menurun dari 56,2
di tahun 2014 ke 39,9 persen di 2019. Sementara impor bahan baku/penolong
naik dari 9,9 ke 15,4 persen. Secara keseluruhan pada tahu 2019 impor bahan
baku/penolong adalah sekitar 72 persen dari impor total. Tidak ada yang salah dengan impor produktif
seperti ini apalagi jika output-nya diekspor. Namun, ini terjadi karena
ekonomi biaya tinggi artifisial yang mematikan industri substitusi input
dalam negeri. Tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi cenderung boros
devisa. Seperti halnya kendaraan yang karena bentuk
badannya tambun, koefisien hambatan aerodinamis sangat besar sehingga sulit
melaju cepat. Jika pun dipaksa berpacu dengan kecepatan tinggi akan sangat
boros bahan bakar. Hanya dapat dipacu cepat jika kondisi siklus komoditas
dunia sedang baik. Contohnya, neraca berjalan mulai berbalik
jadi defisit sejak 2012 sekitar 2,13 persen dari PDB ketika berakhirnya
rezeki komoditas. Secara besaran memang masih terkendali, tetapi hal ini juga
menunjukkan bahwa bonanza komoditas menutupi kelemahan industri dalam negeri. Berbeda dengan BKPM yang hanya punya fungsi
koordinasi dan fokus pada proyek-proyek besar PMDN dan PMA, Kementerian
Investasi mempunyai jurisdiksi eksekutif untuk membuat kebijakan lintas
sektor dan segmen industri, serta dapat berkoordinasi dengan kementerian
lain. Potensi ini mampu menjahit kelemahan struktur industri Indonesia dengan
menurunkan ekonomi biaya tinggi dan membuat linkage antara industri kecil,
menengah dan besar sehingga perekonomian dapat dipacu lebih cepat dari
kecepatan steady-state 5 persen per tahun. Hal ini sangat diperlukan untuk
pemulihan pasca-pandemi. Kementerian investasi juga dapat
menggunakan potensi diaspora melalui koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.
Vietnam, misalnya, mendapat limpahan terbesar dalam relokasi industri dari
China, diaspora merupakan jembatan budaya dalam menghubungkan pemodal antar
bangsa. Selain insentif keuntungan, investasi juga merupakan komitmen jangka
panjang yang memerlukan zona nyaman dan saling percaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar