Belajar
dari Pengalaman ”The Straits Times” Suryopratomo ; Duta Besar RI untuk
Singapura |
KOMPAS, 21 Mei 2021
Sejak John Thaddeus Delane
(1817-1879) memperkenalkan jurnalistik, dia katakan, tugas pers yang pertama
adalah mendapatkan pengetahuan yang lebih cepat dan lebih benar tentang
kejadian-kejadian yang ada dan langsung mengungkapkannya agar menjadi hak
milik bersama. Jurnalisme hadir untuk
menjadi pembawa pesan, menjadi messenger, agar masyarakat bisa mengetahui
dengan benar duduk perkara dari sebuah persoalan dan kemudian mengambil sikap
terbaik untuk diri mereka. Pendiri Kompas, Jakob
Oetama, dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, tujuan utama membangun
media bukanlah untuk mencari keuntungan. Keuntungan itu hanyalah akibat dari
kemampuan pelaku media menyampaikan informasi yang mempunyai nilai
pengetahuan dan kredibel. Bahkan, keuntungan dari
pengelolaan media tersebut bukan ditujukan untuk memperkaya para pemilik media,
melainkan untuk semakin meningkatkan kualitas profesionalisme para wartawan. Berbeda dengan industri
manufaktur, industri media harus dibangun atas dasar visi yang jelas. Peran
media yang paling utama haruslah bisa mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.
Agar visi yang digariskan bisa dijalankan, maka haruslah ditopang oleh
profesionalisme para pengelola. Hanya dengan itu akan
didapatkan informasi yang bisa dipercaya, kredibel, dan pada akhirnya bisa
memberikan pengaruh yang positif pada kehidupan masyarakat. Hanya media yang
mampu melakukan semua itu yang kemudian bisa mengembangkan bisnisnya. Di Indonesia, idealisme
itu bisa berkembang karena pendiri media di Indonesia berlatar belakang
intelektual, guru, atau wartawan. Tirto Adhi Soerjo yang pertama kali
menerbitkan surat kabar Medan Prijayi merupakan mahasiswa sekolah kedokteran.
Setelah kemerdekaan, tokoh-tokoh pers, seperti BM Diah, Mochtar Lubis,
Rosihan Anwar, PK Ojong, Jakob Oetama, dan Dahlan Iskan, merupakan orang yang
berlatar guru dan kemudian menjadi wartawan. Bahwa kemudian surat
kabar, seperti Kompas, menjadi konglomerasi, hal itu bukan tujuan yang
dicita-citakan. Jakob Oetama sering mengatakan, diversifikasi usaha terpaksa
dilakukan karena ketidakpastian dari eksistensi surat kabar. Tindakan pemerintah yang
bisa tiap saat menutup penerbitan surat kabar membuat pemilik media terpaksa
menyiapkan ”sekoci” untuk menampung para wartawan apabila terjadi penghentian
izin terbit surat kabar. Karena itu, Jakob Oetama
tidak pernah mau menyebut dirinya pengusaha. Ia selalu mengatakan, dirinya
adalah seorang wartawan. Kalaupun menjadi pengusaha, ia lebih merasa sebagai
quasi entrepreneur, entrepreneur semu. Berubah Media berubah menjadi
industri yang berorientasi pada profit setelah pengusaha masuk ke industri
media. Orang-orang seperti Nirwan Dermawan Bakrie, Bambang Trihatmodjo,
Chairul Tanjung, dan Hary Tanoesoedibjo bukan orang yang berlatar belakang
wartawan. Mereka adalah murni pengusaha, yang melihat media sebagai peluang
bisnis. Apalagi, eranya sedang berubah, yakni era teknologi informasi. Fenomena ini tidak hanya
terjadi di Indonesia. Dunia dihadapkan pada perubahan besar ketika pengusaha
asal Australia, Rupert Murdoch, masuk ke media. Ia mengambil alih kepemilikan
semua media di banyak belahan dunia. Murdoch mengambil alih kepemilikan The
Wall Street Journal dan The New York Post di Amerika Serikat. Di Inggris, ia
membeli The Sun dan The Times. Masuknya pengusaha seperti
Murdoch ke dalam media yang seharusnya mengutamakan idealisme bukan tanpa
penentangan. Redaksi The Wall Street Journal sempat meminta agar independensi
di ruang redaksi tidak diintervensi. Tajuk Rencana ketika Murdoch masuk
menuliskan tentang kebesaran The Wall Street Journal dan janji mereka untuk
tetap bersikap obyektif. Namun, setelah berjalannya
waktu, pemilik berbicara lain. Sebagai chief executive officer, ia bisa
memutuskan apa pun yang ia maui. Pilihan kepada wartawan yang mengutamakan
idealisme dipersilakan untuk mencari tempat yang baru. Industri media pun mengalami
perubahan. Mereka lupa akan cita-cita mulia dari munculnya jurnalisme. Profit
jadi tujuan utama. Peran mencerdaskan dan mencerahkan jauh ditinggalkan.
Sekarang yang dikejar rating and share. Tidak peduli kontennya memberikan
manfaat apa tidak kepada masyarakat, yang penting heboh. Apalagi sekarang ketika
eranya klikbait. Judul dibuat bombastis agar menarik perhatian dan menjadi
trending topic di tengah masyarakat. Kekhawatiran bahwa media akan menerapkan
prinsip publish and be damned, ”publikasikan dan masa bodoh”, menjadi
kenyataan. Padahal, wartawan selalu
diajarkan untuk berpikir sebelum menulis. Wartawan selalu dihadapkan pada
kondisi ”in fear and trembling in anguish” karena takut tulisannya membuat
masyarakat salah arah. Sekarang semua benar-benar
masa bodoh, bahkan kalau menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat, itu
justru dianggap berhasil. Amerika yang dianggap
kiblat decent journalism ikut terbawa arus. Murdoch berhasil membuat Fox
sebagai stasiun televisi sayap kanan yang mengagungkan nasionalisme. Mereka
tak peduli ketika masyarakat Amerika harus terbelah dan tak ada
keterpanggilan untuk ikut merajut kembali. Covid-19 Euforia untuk
berlomba-lomba membuat sensasi secara perlahan menggerus kepercayaan publik.
Wartawan senior, seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pada awal 2000
pernah mengajak wartawan Amerika untuk melakukan refleksi dan berkaca tentang
apa yang salah dari jurnalisme. Hasilnya dituangkan dalam buku yang berjudul
The Elements of Journalism. Semua itu tidak membuat
para pemilik media sadar dan mau berubah. Mereka asyik dengan prinsip
jurnalisme yang memberikan banyak keuntungan. Idealisme pers dianggap usang
dan tidak perlu dipedulikan lagi. Bahkan, orientasi media untuk menerapkan
prinsip publish and be damned semakin menjadi-jadi. Ketika kepercayaan publik
semakin menurun, mereka melihatnya hanya sebagai sebuah disrupsi. Seakan-akan
kehadiran media daring menjadi penyebab utama menurunnya pendapatan dan
kemudian keuntungan. Lupa bahwa industri media adalah bisnis kepercayaan dan,
seperti dikatakan Bill Kovach, kepercayaan publik itulah yang sedang
tergerus. Publik tidak lagi
mempunyai pegangan tentang informasi yang berkualitas ketika media arus utama
pun tidak bisa memberikan itu. Fake news semakin menjadi-jadi dan masyarakat
sulit untuk mendapatkan rujukan yang benar. Pandemi Covid-19 semakin
memberikan pukulan kepada media arus utama. Kesulitan yang dihadapi banyak
perusahaan membuat mereka mengurangi budget iklan. Akibatnya, penerimaan
iklan menurun secara drastis, terutama pada 2020 ketika pandemi Covid-19
membuat semua kegiatan ekonomi nyaris terhenti. Semua media di seluruh
dunia dihadapkan pada kondisi yang sulit sekarang ini. Pengurangan karyawan
menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Banyak wartawan hebat terpaksa
mengambil pensiun dini. Padahal, wartawan tidak pernah mengenal pensiun.
Seperti halnya tentara, journalist
never die, they just fade away. The Straits Times
Singapura merupakan salah satu media yang menjunjung tinggi idealisme. Mereka
pun tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa bisnis mereka terpukul karena
pandemi Covid-19. Tahun lalu, tiras mereka
masih tumbuh sekitar 5 persen. Namun, keuangan mereka mengalami kerugian
sekitar 83 juta dollar Singapura. Padahal, setahun sebelumnya masih
membukukan keuntungan lebih dari 200 juta dollar Singapura. Sebagai surat kabar yang
telah hadir sekitar 176 tahun lalu dan menjadi simbol eksistensi Singapura,
tidaklah mungkin The Straits Times dibiarkan mati. Seperti dikatakan Presiden
AS Thomas Jefferson, lebih baik ada pers tanpa pemerintahan daripada ada
pemerintahan tanpa pers. Singapura tidak mungkin bisa meyakinkan masyarakat
dunia apabila tidak memiliki media yang kredibel. Karena itu, Singapore
Press Holdings (SPH) sebagai pemilik The Straits Times memilih untuk
melakukan transformasi. Mereka tidak lagi menjadi perusahaan yang
berorientasi pada bisnis, tetapi berubah menjadi lembaga nonprofit. Model bisnis mereka
berubah menjadi company limited by guarantee (CLG), di mana mereka membuka dukungan
dari pemerintah dan masyarakat untuk bisa menjalankan prinsip jurnalisme yang
profesional, menyajikan informasi yang berkualitas, dan bisa dipercaya oleh
masyarakat. SPH mengikuti jejak
media-media di Eropa, seperti The Guardians di Inggris yang kembali ke
khitahnya. Mereka menjalankan prinsip jurnalisme seperti yang awalnya
digaungkan Thaddeus Delane, di mana peran pers adalah menangkap fenomena yang
terjadi di tengah masyarakat secara cepat dan benar untuk kemudian
dipublikasikan agar menjadi informasi bersama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar