Sabtu, 15 Mei 2021

 

Anatomi Lebaran Berkeadaban

Abdul Wahid ;  Pengajar Program Pascasarjana Unisma, PP AP-HTN/HAN

KOMPAS, 13 Mei 2021

 

 

                                                           

”Suatu kriteria yang baik untuk mengukur keberhasilan dalam kehidupan Anda ialah jumlah orang yang telah Anda buat bahagia.” (Robert J Lumsden)

 

Pernyataan Lumsden itu mengingatkan kita bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup ini salah satunya diukur dari apa yang diperbuatnya dalam membahagiakan orang lain. Sepanjang belum banyak orang lain yang dibuat bahagia, maka kehidupannya belum bisa dikatakan berhasil.

 

Dalam Islam, banyak tersedia jalan untuk membuat hidup seseorang berbahagia. Lebaran umumnya membuat orang berbahagia, yakni sebagai momen berharga untuk menggelar pesta atau mengadakan banyak kegiatan silaturahmi ke mana dan di mana-mana untuk sesama elemen keluarga dan sesama manusia.

 

Kepentingan itu di antaranya ditandai dengan ramainya elemen masyarakat dalam mempersiapkan diri untuk menyambut dan menikmati Lebaran. Lebaran diperlakukannya sebagai wujud penahbisan kemenangan diri setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

 

Elemen masyarakat itu memosisikan diri seolah benar-benar telah berhasil menuai kemenangan dari suatu peperangan besar sehingga layak dan berhak ditutup dengan mengadakan beberapa pesta spiritualitas yang istimewa.

 

Idealnya (sebagaimana digariskan dalam Islam), puasa yang dijalankan setiap Muslim barulah menjadi tahapan untuk mencapai kebahagiaan awal atau baru meraih sebahagia kemenangan. Sementara kemenangan fitri baru bisa diraihnya pada saat Lebaran.

 

Konstruksi anatomi Lebaran itu terbaca, bahwa dalam Lebaran harus diwarnai oleh semangat dan aktivitas membangun spiritualitas sosial. Dengan demikian, kehidupannya dapat menghadirkan banyak kemanfaatan atau atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berkeadaban.

 

Kalau itu yang dilakukan,  tepat diskresi pemerintah dengan larangan mudik Lebaran atau adanya penyekatan di sejumlah wilayah. Pasalnya, pemerintah bermaksud memproteksi kepentingan yang lebih besar bernilai harmonisasi, humanisasi, dan sakralitas sosial sehingga atmosfer kehidupan, khususnya selama Lebaran, tetaplah berkeadaban. Maknanya setiap subyek sosial keagamaan bisa membentuk atau mendesain dirinya sebagai sesama abdi yang menghadirkan damai, dan bukan nestapa dalam kehidupan sesamanya.

 

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Seutama-utamanya amal saleh ialah memasukkan rasa bahagia di hati orang yang beriman, melepaskan rasa lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang.”

 

Sabda Nabi tersebut esensinya adalah sebagai ajakan atau ”instruksi moral spiritual” yang menuntut supaya manusia beragama ini berlomba dalam memproduksi tekad dan amal kebajikan di tengah dinamika kehidupan sehari-harinya, baik dalam skala mikro maupun makro. Watak individualistik atau pementingan kelompok tidak boleh dimenangkan jika berpotensi terdapat dampak yang menyulitkan sesamanya, seperti menyebarkan penyakit atau bahaya yang membuat kesehatan dan keselamatan orang lain dirugikannya.

 

Kesalehan masyarakat

 

Bangunan masyarakat berkeadaban hanya layak disandang atau dijabat oleh sekumpulan individu yang gaya hidupnya tidak serba eksklusif dan materialistik. Yaitu, oleh sosok yang hidupnya diabdikan untuk jadi penabur kebajikan, atau mengorbankan diri dan apa yang dicintainya demi kepentingan persaudaraan kemanusiaan, persaudaraan kebangsaan, dan persaudaraan kemasyarakatan.

 

Regulasi yang digariskan agama tersebut bermaknakan kesalehan kemasyarakatan atau pengabdian berbasis humanitas yang ditujukan untuk menyenangkan (membahagiakan) sesama atau anggota masyarakat lain yang sedang dilanda kesulitan. Dengan demikian, mereka (saudara-saudara) yang sedang terbelit akumulai penderitaan ini terbebas dari kesulitannya dan memperoleh atmosfer kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan, atau kebahagiaan yang sudah sekian lama dinantikan.

 

Pekan berlebaran dengan substasi menyenangkan dan membahagiakan dalam kebinekaaan sesama dengan cara membebaskan kesulitan yang dihadapinya dan menghadirkan kesejahteraan dalam kehidupannya itu merupakan aktivitas pengabdian adiluhung. Pasalnya, setiap orang yang bergerak di jalur pengorbanan berbasis kemasyarakatan ini mengandung konsekuensi untuk mendistribusikan atau menyerahkan sebagian yang dimilikinya, termasuk yang dicintainya demi pengabdian untuk orang lain secara empirik.

 

Ranah empirisme sosial ini baru akan terbangun dengan kuat jika setiap subyek beragama menunjukkan aktivitas saling berlomba dalam karitas sosial. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 yang memang nyata-nyata telah menghadirkan ragam keprihatinan sosial.

 

Itu makna esoteris religiositasnya, bahwa setiap ”peserta Lebaran” hadir dituntut untuk menunjukkan peran sebagai pejuang kemasyarakatan.  Pasalnya, masyarakat di negeri ini sering kali dihadapkan dengan komplikasi penyakit yang menyulitkan dan mereduksi keberdayaannya. Mereka memang hidup di negeri yang kaya sumberdaya alam, tetapi masih demikian plural penyakit yang membuat hidupnya kesulitan meraih kesejahteraan.

 

Ketika mereka itu masih dihadapkan pada komplikasi problem ekonomi, tentulah kita yang sudah merasa mendapatkan gelar ”muttaqun” setelah puasa tidak boleh membiarkannya hidup dalam ketidakberdayaannya.

 

Komunitas itu tidak boleh kita biarkan menjadi elemen bermasyarakat yang berkawan dengan kesulitan. Mereka harus benar-benar dimartabatkan oleh sesamanya yang sedang berpuasa, yang notabene sebagai sekumpulan individu yang mendapatkan jabatan ”khalifah” (pemimpin) atau penentu bangunan hidup berkeadaban.

 

Agar mereka itu bisa menikmati atmosfer keadaban, mereka yang sedang tidak berdaya ini harus diberi dukungan kekuatan moral, psikologis, dan humanitas. Tujuannya, supaya mereka tetap mempunyai optimisme dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya sebagai warga negara dan elemen beragama yang memang membutuhkan dukungan sesamanya.

 

Kewajiban sosial berdimensi kemasyarakatan atau kemanusiaan tersebut juga sebagai bukti kesejatian cinta berjiwakan kebertuhanan ”insan yang berlebaran”. Seperti digariskan Islam, bahwa ”tidak disebut beriman di antara kalian sehingga mencintai saudara (sesamanya) seperti kalian mencintai diri sendiri”.

 

Hadis tersebut secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa saat Lebaran ini kecenderungan setiap orang yang lebih mencintai diri, harta, dan kerabat  dibandingkan dengan sesama haruslah dikalahkan dengan cara menguatkan peran terus-menerus dalam ”proyek” menyayangi dan melindungi sesama dari segala hal yang membuka ”peluang” orang lain terdehumanisasikannya.

 

Kalau biasanya kita rentan terjerumus mengabsolutkan diri sendiri atau memuja-muja hak kepentingan pribadi, serta menggusur tanggung jawab publik, sekarang saatnya kita ”menghidupkan” atau menyuburkan habluminannas dalam diri kita. Jika hal ini bisa kita wujudkan, atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berkeadaban tidaklah sulit terwujud. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar