Wabah dan Bulan Penyehatan Robikin Emhas ; Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama |
KOMPAS,
13 April
2021
Sudah setahun Covid-19 menghantam dunia.
Perlahan kita saksikan peradaban manusia berubah. Ketidaknormalan menjadi
norma, gaya hidup, bahkan prestise baru. Riset ADA Indonesia (2021) menemukan adanya
peningkatan pengguna aplikasi belanja daring (online) hingga 300 persen.
Perilaku baru yang kerap disebut the adaptive shopper menggeser fungsi ruko
dan pasar luring (offline) menjadi lapak daring. Di kota-kota besar dunia, masker bukan lagi
sekadar standar protokol kesehatan. Ia sudah menyatu menjadi bagian atau
menyatu (inside) dengan fashion item seseorang. Atas nama prestise, satu
masker buatan Yvel, sebuah perusahaan perhiasan Israel, dibandrol hingga 1,5
juta dollar AS atau setara Rp 21,2 miliar. Masker termahal ini dipesan oleh
seorang miliarder China, akhir 2020. Luar biasa, bukan? Namun, bukan itu yang ingin saya tekankan.
Meniscayakan perubahan- perubahan di era normal baru ini, saya ingin
menggarisbawahi ulasan Asmuni M Thohir. Melalui ulasan singkatnya, pakar
ekonomi Islam UII Yogyakarta ini menyebut, di luar kaitannya dengan adaptasi
sosial-ekonomi, pandemi sesungguhnya juga telah mengubah sikap keberagamaan
manusia. Sedemikian insecure-nya Covid-19
menginfeksi dan membunuh manusia, memaksa orang cemas dan gelisah. Menekan
psikologis mereka tentang angkernya kematian yang sebelumnya jarang
dipersiapkan atau bahkan diabaikan. Bagi sebagian umat yang beragama,
kecemasan dan kegelisahan itu kemudian menjadi pendulang berbagai amaliah
agama. Tidak hanya ibadah kepada Allah, tetapi juga kebaikan terhadap sesama
manusia. Sejalan dengan fenomena global ini, Islam
memang mengajarkan umatnya untuk mengingat kematian. Ijmak ulama bahkan
menghukuminya sebagai sunnah muakkadah. Sunah yang sangat dianjurkan.
Mengingat mati tentu bukan untuk melemahkan gairah hidup. Tapi sebaliknya,
untuk memompa semangat yang lebih besar agar mengisi kehidupan yang pasti
berakhir ini dengan menjadikannya sebagai ladang bercocok kebajikan yang siap
dipanen di kehidupan abadi kelak. Harus dikatakan, Covid-19 dengan segala
dampak ikutannya adalah situasi yang mencerminkan universalitas semesta
dengan segala kekuatan dan keadilan-Nya. Pada saat yang sama memperlihatkan
universalitas manusia dengan segala kelemahan dan kezalimannya. Sepanjang
”tamasya”-nya dari Wuhan, China, hingga ke berbagai penjuru dunia, Covid-19
tak pernah pilah-pilih sasaran. Tak peduli apa pangkat dan status sosial. Ia
dapat mengancam kehidupan siapa saja. Rakyat biasa ataupun penguasa, orang
bodoh ataupun alim-ilmuwan, miskin ataupun kaya. Tengoklah! Atas nama Sang
Penguasa alam raya, wabah ini berperilaku begitu adil pada manusia. Ramadhan
bulan penyehatan Pada 2016, seorang peneliti asal Jepang,
Yoshinori Ohsumi, membuktikan bahwa puasa membawa dampak baik bagi kesehatan.
Penelitian ini tentu saja makin melengkapi beberapa hasil riset ilmiah
lainnya. Sebagaimana dilansir laman resmi Buchinger
Wilhelmi, menurut Ohsumi, puasa selama minimal 12 jam dalam sehari layaknya
umat Islam puasa dapat ”memancing” terjadinya autophagy dalam sel. Perlu
diingat, sedikit saja makanan yang masuk ke tubuh selama puasa dapat membuat
proses autophagy terhenti. Autophagy secara ilmiah merupakan kemampuan sel
dalam tubuh untuk memakan atau menghancurkan komponen tertentu secara inheren
di dalam sel itu sendiri. Melalui penelitiannya, Ohsumi menemukan
bahwa autophagy memegang peran besar dalam tubuh dalam mengontrol
fungsi-fungsi fisiologis penting di mana komponen sel perlu didegradasi dan
didaur ulang. Melalui mekanisme ini, komponen-komponen
sel yang rusak akan dibangun dan diperbarui kembali. Pada kasus sel yang
terkena infeksi, autophagy juga dapat mengeliminasi bakteri atau virus
penginfeksi. Tak hanya itu, ia juga berkontribusi dalam perkembangan embrio
hingga pencegahan dampak negatif dari proses penuaan. Pada 3 November 2016, temuan ini berhasil
meraih Hadiah Nobel di bidang ilmu fisiologi atau kedokteran. Sebelumnya, beberapa penelitian medis lain
juga menunjukkan betapa dengan puasa orang dapat mencapai hidup sehat. Dalam
dunia kedokteran, telah cukup teruji puasa mampu meningkatkan kesehatan
jantung, mengontrol gula darah, menurunkan berat badan, bahkan meningkatkan
kesehatan otak kita. Sebut saja penelitian Corby Martin dari
Pennington Biomedical Research Centre. Dalam kurun waktu tertentu, pada 2016,
ia melakukan studi terhadap 218 responden. Para responden ini diminta melakukan
pola makan berjarak yang mirip puasa. Hasilnya, sebagaimana dipublikasikan
dalam jurnal JAMA Internal Medicine, mereka yang menerapkan pola makan ini
rata-rata mengalami penurunan berat badan sebanyak 10 persen. Selain penurunan berat badan, terdapat pula
laporan dari responden berupa perbaikan kualitas hidup, termasuk di antaranya
kualitas tidur, kebugaran tubuh, serta dalam aktivitas seksual. Ragam laporan penelitian lainnya, konon
puasa juga bisa menjadi sarana detoksifikasi bagi tubuh. Detoksifikasi adalah
proses normal tubuh untuk mengeliminasi atau menetralkan racun yang
dihasilkan dari fungsi biokimia melalui usus, hati, ginjal, paru-paru,
kelenjar getah bening, dan kulit. Berbekal temuan riset seperti ini, saya
ingin katakan bahwa puasa merupakan cara dan sarana yang tepat untuk
meningkatkan kesehatan tubuh. Terlebih jika dilakukan sebulan penuh
sebagaimana disyariatkan bagi umat Islam selama Ramadhan. Bi idznillah,
proses-proses autophagy sebagaimana dijelaskan Ohsumi, puasa bukan saja berkontribusi
pada kesehatan tubuh, lebih dari itu juga menjadi benteng yang menghalangi
berbagai jenis penyakit yang dapat membahayakan tubuh kita. Benarlah hadis asshaumu junnab. Puasa itu
benteng. Benteng imunitas yang bekerja menghalangi berbagai jenis bakteri dan
virus yang setiap saat menyerang tubuh kita. Bagi yang sudah terjadwal
vaksin, tak perlu ragu. Tes PCR atau swab dan vaksin tidak membatalkan puasa. Kesalehan
sosial Hadis qudsi menyatakan asshaumu Li wa Ana
Ajzi bihi. Puasa itu personal project antara hamba dan Allah Taala. Namun, ia
bukan semata tentang bagaimana membangun kesalehan individu. Benar puasa
memang ibadah yang sangat pribadi, tetapi manfaat lahir-batinnya haruslah
la’allakum tattaqun. Puasa harus menjadi sebab terbesar untuk memperoleh
ketakwaan. Sementara, ketakwaan merupakan tameng bagi
seseorang dari peluang dan potensi untuk berbuat segala sesuatu yang
berdampak buruk bagi diri ataupun orang lain. Takwa, dalam pengertian
operasionalnya, adalah seperangkat kemampuan agamis untuk memelihara diri,
keluarga, dan lingkungannya. Kata lainnya, kesalehan individu hanya dapat
berlangsung melalui pengalaman praktikal dalam masyarakat. Kesalehan individu
hanya bekal. Ia bisa menjadi praksis hanya melalui aksi-aksi dan interaksi di
dalam masyarakat yang diukur dari seberapa signifikan berkontribusi
mewujudkan kemaslahatan umum. Puasa merupakan bentuk ibadah yang
memancarkan hikmah bukan saja bagi pembinaan kesalehan individual, melainkan
juga bagi peningkatan kesalehan sosial. Jika pada diri kita tampak saleh
secara individual, tetapi antisosial, layak sekiranya kita bertanya. Adakah
puasa berhasil mengantar diri menjadi orang bertakwa atau sekadar memperoleh
lapar dan dahaga seperti disebut Nabi? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar