Elegi
dan Eulogi Kasijanto Sastrodinomo ; Alumnus
FIB Universitas Indonesia |
KOMPAS,
13 April
2021
Usai membaca tajuk rencana berjudul “Elegi
Panggung Pengadilan” (Kompas, 16/3/2021), saya jadi teringat Pak Hadisuwito,
munsyi semasa saya bersekolah lanjutan atas di Kota Madiun setengah abad
silam. Beliaulah yang pertama kali mengenalkan saya kata elegi dalam siaran
apresiasi sastra di Radio Bhima milik sekolah. “Puisi elegi itu kidung kesedihan
dalam peristiwa kematian,” begitu kira-kira kata Pak Guru kala itu.
Penjelasan itu searti dengan kata elegia (Latin abad ke-16), yakni puisi
ratapan, a poem of lamentation; ataupun elegeia oidḗ (Yunani), nyanyian
perkabungan, a song of mourning. Salah satu puisi elegi yang diulas dalam
siaran waktu itu ialah “Ode Pemakaman” karya Mansur Samin, penyair asal
Batangtoru, Tapanuli. Puisi itu untuk mengenang martir-demonstran gerakan
mahasiswa pada awal Orde Baru di Tanah Air. Suasana “elegis” terbaca pada
bait terakhirnya, Lewat bendera kabung setengah tiang/ kami sampaikan salam
duka yang dalam/ ini pengorbanan, ini ketulusan/selalu kami kenang, kami tak
lupakan. Tak jarang elegi tersua sebagai judul suatu puisi, seperti “Elegi buat Perang
Saudara” (1960) oleh Taufiq Ismail—tampaknya tentang gejolak politik dan
bersenjata di Indonesia kurun 1950-an. Penyair Toeti Heraty bersajak
“Elegi” yang bersuasana romantis.
Terbaru, penyair Joko Pinurbo juga menulis “Elegi” untuk menghormati tenaga
kesehatan yang gugur saat bertugas merawat pasien Covid-19: Ia tak sempat
bersedih ketika sepi yang setia menjemputnya di rumah sakit dan mengajaknya
ke cakrawala/ Ia tak sempat membayangkan mawar kesukaannya akan tumbuh subur
di atas makamnya. Mengharukan. Judul tajuk rencana Kompas tersebut
mengisyaratkan, elegi bisa jadi semacam “pembebasan emosional” yang subtil
atas tekanan masalah berat dan mungkin “kasar”—semisal ketakadilan di
panggung pengadilan itu. Di sini elegi lebih terasakan sebagai “a poem of
serious reflection” atau “a poetic meditation on death”—meminjam Tom McArthur
(editor, The Oxford Companion to the English Language, 1992). Pada sisi makna
itu puisi-puisi klasik Inggris menyuarakan sesalan, ketakpastian hidup, dan
kehilangan perasaan mulia. Barangkali “bisikan meditatif” seperti itulah yang
merayapi tajuk elegis tersebut: mengapa hukum tak berjalan adil semestinya
dan, karena itu, raib watak sanctuary-nya. Ada baiknya kita ingat pula kata eulogi
yang sedikit beririsan fungsi dengan elegi dalam mengenang seseorang yang
bermakna positif bagi banyak orang. Dalam khazanah Inggris, eulogy diserap
dari bahasa Yunani eu ‘bagus’ dan logos ‘pidato’; jadi pidato yang
bagus/baik. Arti harfiah itu lalu ditajamkan menjadi praise ‘doa pujian’;
atau encomium (Latin). Jadi, eulogi itu pidato yang memuliakan keunggulan
seseorang dalam satu dan banyak hal, baik yang masih hidup (berbeda dari
elegi) maupun sudah meninggal. Pidato penghargaan kepada seorang tokoh
lantaran reputasi dan pencapaian luar biasa dalam hidup dan kariernya,
umpamanya, merupakan contoh konkret eulogi. Ketika situasi sosial gaduh tak berujung,
elegi, dalam segala bentuk dan modifikasinya, mungkin bisa jadi jalan healing
yang menenangkan batin. Eulogi, sementara itu, adalah reminiscence yang merawat
akal sehat dengan mengingat dan meneladani kebajikan orang-orang hebat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar