Sabtu, 03 April 2021

 

Tikungan Tajam Moderasi Beragama

 Agus Muhammad ; Peneliti Senior Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta

                                                         KOMPAS, 03 April 2021

 

 

                                                           

Jalan menuju moderasi beragama kini menghadapi tikungan tajam yang sangat berbahaya dengan meledaknya bom Makassar hari Minggu (28/3/2021).

 

Sejauh ini, jalan moderasi beragama relatif agak mulus, meski tentu saja masih banyak hambatan di sana-sini. Temuan riset mengenai Indeks Kota Toleran (IKT) yang diluncurkan Setara Institute (25/2/2021), misalnya, menegaskan adanya peningkatan kualitas toleransi secara nasional.

 

Hal ini bisa dilihat dari indikasi antara lain perolehan skor kota yang menempati posisi pertama yang naik.

 

Jika pada IKT 2018, Kota Singkawang mendapat skor 6.513, pada IKT 2020 Kota Salatiga memperoleh skor 6.717. Demikian pula skor kota terendah atau posisi ke-94. Jika pada IKT 2018 Tanjung Balai mendapat skor 2.817, pada IKT 2020 Kota Banda Aceh memperoleh skor 2,843.

 

Peristiwa bom Makassar seolah membalik temuan Setara Institute. Pengeboman yang terjadi di depan Gereja Katedral itu justru mengonfirmasi temuan sejumlah riset yang selama ini sudah banyak dilakukan.

 

Temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang dirilis awal Maret, menunjukkan, 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau intoleran. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan.

 

Riset yang lebih baru dilakukan oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang dirilis 23 Maret 2021. Secara umum persepsi dan sikap generasi muda terhadap intoleransi dan ekstremisme menunjukkan tren penolakan yang cukup tinggi, tetapi mereka masih sangat rentan untuk menjadi intoleran.

 

Temuan riset Setara Institute dan INFID memberikan harapan bahwa jalan moderasi agama masih ada titik terang. Namun, titik terang ini menjadi redup setelah bom Makassar meledak. Jalan yang awalnya relatif mulus kini menghadapi tikungan tajam dengan kondisi jalan yang tak mudah ditebak.

 

Paradigma moderasi

 

Secara sederhana, moderasi bisa dimaknai sebagai sikap yang menolak segala bentuk tindakan atau pemikiran yang ekstrem. Dalam forum Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Islam Wasathiyah (Islam moderat) yang dihadiri sekitar 100 ulama dari sejumlah negara di Bogor, 1-3 Mei 2018, ditegaskan bahwa moderasi beragama sudah dipraktikkan sejak masa Nabi dan sahabat.

 

Para ulama dalam KTT ini mendeklarasikan tujuh butir nilai moderasi beragama, yakni tawassut (posisi di tengah-tengah dan lurus); i’tidal (berperilaku proporsional, adil dan bertanggung jawab); tasamuh (menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan); syura (mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah); islah (keterlibatan dalam tindakan konstruktif untuk kebaikan bersama); qudwah (merintis inisiatif mulia untuk kesejahteraan umat manusia); dan muwatonah (mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan).

 

Dalam tradisi keagamaan di Indonesia, ketujuh nilai moderasi di atas sebetulnya sudah dipraktikkan sejak lama. Pemikiran keagamaan yang dikembangkan adalah keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan terjadi akomodasi terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang qath’iy (pasti). Sikap toleran, moderat dan santun merupakan representasi tradisi keagamaan di Indonesia.

 

Seperti direkam Zamakhsyari Dhofier (1982), dalam tradisi keagamaan di Indonesia, suatu tradisi tak langsung dihapus seluruhnya, juga tak diterima seluruhnya, tetapi secara bertahap diislamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).

 

Kini situasinya agak berbeda. Jalan moderasi beragama seperti yang kita harapkan masih akan panjang. Bukan semata-mata karena ancaman intoleransi dan kekerasan berbasis agama masih mengkhawatirkan, tetapi juga karena paradigma moderasi beragama itu sendiri belum sepenuhnya bulat.

 

Seorang ulama besar Yusuf Al-Qaradhawi (2011) menyebut beberapa kosa kata yang serupa maknanya dengan moderasi, yakni kata tawazun, i'tidal, ta'adul dan istiqamah. Moderasi beragama, menurut dia, adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap ekstrem yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang.

 

Dengan kata lain, seorang Muslim moderat adalah Muslim yang memberikan setiap nilai atau aspek yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya.

 

Menurut Khaled Abou El Fadl (2005), terminologi wasathiyyah ini merupakan identitas dan watak dasar Islam. Lawan kata dari moderat, menurut El-Fadl, adalah puritan. Bagi El-Fadl, gerakan Wahabi yang dimotori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1787) adalah kelompok yang paling getol mengusung gagasan-gagasan puritan dalam Islam.

 

Ciri khas pendekatan fikih yang dilakukan Wahabi adalah hasilnya bersifat pasti, kesimpulannya tak bisa digugat, dan penetapannya bersifat tegas. Karakter seperti ini menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Al Quran sebagai instrumen ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.

 

Dalam realitasnya, kelompok puritan tidaklah tunggal, sebagaimana kelompok Muslim moderat juga sangat beragam. Namun, ada benang merah yang dapat ditarik dari Muslim moderat. Muslim moderat adalah mereka yang hidup dan bekerja di masyarakat, mengusahakan perubahan dari bawah, menolak ekstremisme agama, dan menganggap kekerasan dan terorisme sesuatu yang haram (John L Esposito, 2008).

 

Paradigma ini ternyata belum sepenuhnya diterima secara bulat bahkan oleh ormas Islam yang diklaim sebagai representasi kelompok moderat. Riset P3M dan Maarif Institute (2018) mengenai peran ormas Islam moderat dalam pencegahan ekstremisme kekerasan menunjukkan bahwa NU dan Muhammadiyah tidaklah tunggal dalam masalah moderasi beragama. Sekalipun secara umum karakter moderat Muhammadiyah dan NU sangat kuat, dalam kasus-kasus tertentu ditemukan perbedaan pandangan di antara sesama pengurus ataupun antara pimpinan dengan jemaah.

 

Keputusan resmi organisasi tidak selalu bisa menjadi keputusan akhir yang sepenuhnya mengikat, terutama jika menyangkut isu-isu keagamaan kontroversial. Jika dua ormas Islam terbesar ini masih belum sepenuhnya bulat mengenai moderasi beragama, jalan moderasi beragama masih akan menghadapi tikungan-tikungan tajam yang harus diwaspadai oleh bangsa ini.

 

Agenda masyarakat sipil

 

Mencegah ekstremisme dan membangun moderasi beragama adalah tugas semua pihak. Pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk guna mencegah intoleransi dan ekstremisme kekerasan. Salah satu kebijakan yang paling strategis adalah Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (RAN-PE) melalui Perpres No 7 Tahun 2021.

 

Ada lima tujuan besar yang hendak dicapai dari RAN-PE ini agar pencegahan ekstremisme berhasil, yakni (1) Koordinasi antar-kementerian/lembaga (K/L) lebih meningkat; (2) koordinasi dan sinergi antar K/L, pemda, masyarakat sipil, dan mitra lain meningkat; (3) memiliki sistem pendataan dan pemantauan yang lebih baik; (4) kapasitas para pelaksana meningkat, khususnya terkait isu pencegahan ekstremisme; dan (5) kerja sama internasional meningkat.

 

Meski cukup menjanjikan, lahirnya kebijakan RAN-PE bukan jaminan bahwa ekstremisme dengan sendirinya bisa dihentikan. Sebuah kebijakan baru akan berjalan efektif jika perangkat kekuasaan memiliki paradigma yang sama sehingga dapat memberikan dukungan penuh bagi implementasi kebijakan ini.

 

Disadari atau tidak, pencegahan ekstremisme kekerasan dan penguatan moderasi beragama belum jadi isu prioritas di kalangan pemegang dan pelaksana kebijakan.

 

Riset ”Implementasi Kebijakan Pencegahan Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan di Perguruan Tinggi, Tempat Ibadah, dan Media Sosial di Indonesia” oleh INFID (2020) menyimpulkan, dari empat kebijakan pencegahan intoleransi dan ekstremisme, sebagian besar belum diimplementasikan dengan baik dan menghadapi beberapa tantangan, terutama dari segi konsep dan implementasi.

 

Riset ini seolah ingin menegaskan bahwa dukungan perangkat kekuasaan terhadap implementasi pencegahan intoleransi dan ekstremisme kekerasan masih sangat rendah. Itulah sebabnya, sebagaimana isu sosial pada umumnya, pencegahan ekstremisme dan penguatan moderasi beragama tidak bisa mengandalkan pemerintah semata.

 

Masyarakat sipil, mau tidak mau, harus mengambil inisiatif yang lebih aktif, partisipatif dan masif. Dalam konteks inilah konsolidasi berbagai kekuatan masyarakat sipil menemukan momentumnya. Tentu banyak pihak lain yang juga harus dilibatkan, misalnya lembaga pendidikan dan dunia usaha. Penyusupan paham intoleran dan ideologi ekstremisme tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan, baik pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, tetapi juga di dunia usaha.

 

Riset P3M terhadap 100 masjid kementerian, lembaga, dan BUMN (2017) menunjukkan bahwa masjid-masjid di kawasan BUMN merupakan area paling rawan terhadap ideologi ekstremisme. Karena itu, dunia usaha harus ”diketuk hatinya” agar lebih peduli dan ikut terlibat dalam inisiatif-inisiatif pencegahan ekstremisme dan penguatan moderasi beragama bersama elemen-elemen lain. Hanya dengan mengonsolidasikan berbagai kekuatan yang dimiliki bangsa ini, jalan moderasi akan mendapatkan jalan yang lebih mulus. Wallahu a’lam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar