Peta
Perempuan dalam Terorisme Lies Marcoes ; Peneliti Rumah Kitab |
KOMPAS,
03 April
2021
Sejak awal 2011, pakar terorisme, Sidney
Jones, telah mengingatkan pentingnya mewaspadai potensi keterlibatan
perempuan dalam aksi teror. Sampai saat ini kita masih menanti analisis para
ahli terorisme untuk mengoperasionalkan analisis jender dalam membaca
fenomena itu. Dengan cara itu, diharapkan analisisnya tak
akan terjerembab ke dikotomi klasik: lelaki tertarik jihad karena bisa
meningkatkan adrenalin maskulinitasnya, perempuan ikut-ikutan jihad karena
naif dan kebawa-bawa tanpa agenda. Dua kasus terakhir, Makassar (28/3/2021)
dan Mabes Polri (31/3/2021), tampaknya bukan kisah tentang perempuan yang
diajak-ajak, kebawa-bawa, atau dibodohi. Mereka boleh jadi sebagai agen yang
punya misi, agenda, dan tujuannya sendiri. Meski tujuannya boleh jadi demi
suami, demi anak, demi kelompok atau keluarga, mereka melakukannya dalam
misi. Kasus bom panci, Dian Yuli Novita (2017),
menggambarkan itu. Ia melakukannya setelah menikah dan berbaiat ke Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) melalui suaminya dan ia meyakini aksinya akan
membahagiakan ibunya kelak di akhirat setelah merasa gagal memberikan kebahagiaan
di dunia dengan pekerjaannya yang tak membanggakan. Sebetulnya, kalau diamati, bahkan sejak
2003, keterlibatan perempuan dengan misinya sendiri terlibat teror dan
kekerasan sudah cukup jelas. Kasus keberhasilan Nurdin M Top, arsitek bom
Hotel JW Marriot, main petak umpet dengan petugas, tak lain karena
keterlibatan perempuan di sekelilingnya. Minimal tiga kali dia menikah sejak 2002
sampai ia mati disergap petugas tahun 2009. Semua aksi persembunyiannya
dilakukan dalam perkawinan yang dikondisikan oleh anggota jaringannya. Fungsi rumah tangga dalam bacaan peta
terorisme adalah untuk menormalisasikan kehidupan sang buron agar hidup dalam
rumah tangga normal. Istri terakhir, AR alias Rimah, adalah guru TK milik
sebuah yayasan keagamaan di Jateng. Istri sebelumnya, Muflihatun, sebagaimana
juga Rimah, mengaku tak tahu yang dikerjakan suaminya. Namun, mereka tahu
suaminya sering bepergian lama untuk ”berjihad”. Secara kesejarahan, dapat diamati
berubahnya tren kesertaan perempuan dalam gerakan radikal yang berujung
dengan terorisme. Sampai berakhirnya perang Afghanistan, kalau mau dirunut
sebagai gerakan semesta kelompok jihadis, secara umum perempuan masih
dianggap ”suporter”. Mereka adalah pendukung gerakan yang hanya
dapat menghadiahkan anak lelaki untuk menambah pasukan jihadisnya. Itu karena
dari sisi ajaran yang sangat konservatif, jihad qital yang mematikan atau
medan perang memang terlarang bagi perempuan. Akan tetapi, berakhirnya Al Qaeda pada 2011
dan ketika para kombatan pulang kampung, kisah-kisah heroik perempuan yang
ikut jihad di Afghanistan mulai dikenali di kampung halaman. Dalam waktu yang
bersamaan, para jihadis (lelaki) terus diburu dan ditangkapi. Ideologisasi
radikalisme Strategi melibatkan perempuan tampaknya
mulai muncul dalam agenda mereka dengan melihat beberapa kasus perempuan
pelaku bom bunuh diri di Eropa dan Asia Selatan. Bersamaan dengan itu, glorifikasi perempuan
yang ikut jihad menjadi kisah-kisah kepahlawanan dari lapangan. Cerita-
cerita itu dibaca dan didengar kalangan perempuan muda yang tak lagi minat
berjihad dengan rahimnya semata. Tatkala pelaku jihad lelaki makin seret,
perempuan hadir sebagai pahlawan baru yang dielukan keberaniannya. Bagi
perempuan sendiri, kehadirannya menjadi berarti bagi hidupnya. Lahirnya NIIS
pada 2013 mengubah pelaku atau pendukung jihadis dari individu lelaki ke
perempuan dan keluarga. Proses ideologisasi radikalisme jelas
terjadi bukan lagi di majelis-majelis (antarlelaki) atau di tempat tidur
(suami-istri), melainkan di meja makan suami-istri dan anak-anak. Kasus bom panci menjelaskan itu. Demikian
juga kasus bom Surabaya pada Mei 2018. Mereka digambarkan jarang bergaul atau
menghadiri kajian. Proses ideologisasi terjadi di ruang privat di lingkup
keluarga. Demikian juga halnya kasus bom di Jolo,
Filipina, yang melibatkan pasangan Rullie dan Ulfah (Januari 2019) dan kasus
Sibolga, Sumatera Utara, Som yang membawa anaknya meledakkan diri (Maret
2019). Namun, rupanya tak gampang membaca isu
terorisme dengan analisis jender untuk memahami keterlibatan perempuan. Ini
terlihat dari cara femininisasi dalam penyelesaikan masalah, baik untuk bekas
kombatan maupun returnee (mereka yang kembali). Programnya sangat khas,
pemberian modal usaha dan sejenis proyek yang menghasilkan pendapatan (income
generating) serta penanaman kembali cinta Tanah Air. Sementara proses ideologisasi yang
ditanamkan kepada perempuan tentang apa artinya ”hidup yang berarti” sebagai
jihadis tak selalu diagendakan. Bagaimana menghapus cita-cita Dian untuk
membahagiakan agar ibunya masuk surga kelak melalui jihadnya? Kesulitan untuk memahami keterlibatan
perempuan dalam terorisme adalah, pertama, dunia terorisme selama ini
dipandang sebagai dunia maskulin, dunia yang ”laki banget”. Analisis jender yang dipakai pakar
terorisme, seperti Noor Huda Ismail, ketika melakukan penelitian Jihad
Selfie, menggambarkan fungsi maskulinitas yang menyedot minat lelaki muda
tertarik pada gerakan jihad. Sebaliknya, proses ”penyadaran” Akbar, si aktor
Jihad Selfie itu, juga sangat khas proyek ”Women in Development”. Membangun keluarga yang damai, di mana ibu
berperan sebagai pengayom dan pelindung bagi anak (atau suami) pulang ke
pangkuan dan kasih sayangnya. Si ibu atau perempuan difungsikan sebagai
penyebar kasih sayang yang seolah tak memiliki agenda untuk mengatasi
kebejatan dunia sebagaimana dipahami dan dipandang para teroris (lelaki). Kedua, butuh kacamata khusus yang dapat
dipakai untuk membaca ranah privat dari dunia terorisme. Sejauh ini, dengan
asumsi dunia terorisme adalah dunia publik, kacamata bacanya hanya berguna
untuk melihat gerakan perlawanan pada stabilitas dan otoritas negara. Karena itu, ranah yang diaduk-aduk adalah
ranah publik: kekuasaan, pemikiran/ideologi, otoritas politik, representasi
di ruang publik, kewilayahan, pendanaan, dan jejaring antarlelaki. Sementara
pengalaman perempuan, ranah privatnya yang tersembunyi dalam lapisan-lapisan
relasi jender tak terlihat kegawatannya setingkat problem radikalisme di
ranah publik. Melihat beberapa kasus terakhir sejak 2019,
kasus Sibolga, Jolo, Surabaya, Makassar, dan terakhir di Mabes Polri Jakarta
yang menunjukkan semakin intensnya keterlibatan perempuan, analisis jender
yang melihat relasi suami-istri, atau suami-istri dan anak, atau ruang publik
dan ruang privat dalam fenomena pelaku teror bom sudah tak bisa ditawar. Temuan penelitian Rumah Kitab tentang
fundamentalisme dan kekerasan berbasis jender (2020) menjelaskan hal itu. Analisis jender membantu menerangjelaskan
bahwa dalam struktur relasi lelaki dan perempuan yang begitu timpang,
penghargaan kepada perempuan yang begitu rendah, sepanjang hidupnya dianggap
sebagai sumber masalah dan fitnah, siapa pula yang tak ingin hidup sekali
untuk berarti meski kemudian mati berkeping. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar