Tantangan
Penurunan Bunga Kredit Paul Sutaryono ; Staf
Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, dan Mantan Assistant Vice
President BNI |
KOMPAS, 16 April 2021
Akhirnya, suku bunga dasar kredit (SBDK)
bank pemerintah turun setelah Bank Indonesia (BI) menilai bank lamban
menurunkan suku bunga kredit. Namun, SBDK itu tak sama dengan suku bunga
kredit yang dinikmati nasabah. Mengapa bank lelet menurunkan bunga kredit?
Bagaimana menekan suku bunga kredit? SBDK bank pemerintah yang mulai turun
meliputi kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, kredit konsumsi berupa
kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit konsumsi non-KPR. Bank BTN menjadi
juara dalam menurunkan SBDK untuk kredit korporasi sebesar 3 persen, dari 11
persen per Februari 2020 menjadi 8 persen per Februari 2021. Bank pelat merah
lainnya, Bank BRI, Bank Mandiri, dan BNI, hanya turun 1,95 persen. Coba simak pula SBDK ritel BTN yang juga
turun 3 persen dari 11,25 persen menjadi 8,25 persen, jauh lebih tinggi
daripada BRI dan Mandiri 1,65 persen serta BNI 1,70 persen. Kredit mikro
Mandiri turun 6,25 persen dari 17,50 persen menjadi 11,25 persen jauh lebih
tinggi daripada BRI 3,25 persen, dari 17,25 persen ke 14 persen. Padahal, BRI
pemimpin pasar (market leader) kredit mikro. SBDK konsumsi KPR BTN turun paling tinggi,
3,50 persen, dari 10,75 persen ke 7,25 persen, jauh lebih tinggi daripada BNI
3 persen, Mandiri 2,95 persen, dan BRI 2,65 persen. SBDK konsumsi non-KPR BNI
unggul dengan penurunan 3,50 persen, disusul BRI 3,25 persen, Mandiri 3,20
persen, dan BTN 3 persen (Kontan, 24/3/2021). Aneka
kiat Lantas, bagaimana kiat menekan suku bunga
kredit? Pertama, sekali lagi SBDK itu bukan suku bunga kredit seperti
persepsi masyarakat luas. SBDK merupakan referensi tingkat bunga yang
digunakan bank-bank di banyak negara. Pada awal 2011, BI telah menerbitkan
Surat Edaran Nomor 13/5/DPNP, tanggal 8 Februari 2011, perihal Transparansi
Informasi Bunga Dasar Kredit. Aturan ini memiliki dua tujuan utama.
Pertama, meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan
termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan pada
nasabah. Kedua, mengerek good corporate governance dan mendorong persaingan
yang sehat di industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang
lebih baik. Dengan bahasa lebih bening, SBDK merupakan
suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan
bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. Artinya, SBDK belum
memperhitungkan premi risiko nasabah. Contoh, SBDK BTN untuk kredit konsumsi
KPR 7,5 persen akan ditambah premi risiko, misalnya 2,5 persen, sehingga
menjadi 10 persen. Nah, 10 persen itu disebut suku bunga
kredit efektif (effective lending rate) untuk KPR. Premi risiko itu
tergantung pada potensi risiko segmen kredit masing-masing, seperti kredit
korporasi, kredit ritel, kredit mikro, kredit konsumsi KPR, dan kredit
konsumsi non-KPR. Kedua, mengapa bank lambat menurunkan SBDK,
padahal suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate telah turun 125
basis poin (bps) atau 1,25 persen sejak 2019? Kini suku bunga acuan mencapai
3,5 persen. Transmisi penurunan suku bunga acuan menjadi penurunan SBDK
senantiasa lambat, karena bank lebih dulu akan memperhitungkan biaya dana
(cost of fund) untuk memperoleh dana ketika suku bunga acuan tinggi. Penurunan SBDK akan diikuti penurunan suku
bunga deposito yang kemudian menyetrum penurunan suku bunga kredit. Umumnya,
SBDK segera turun tatkala ”disuruh” otoritas seperti kejadian di atas. Namun,
masih banyak bank umum lain yang belum menanggapinya. Lucunya, telah terjadi penurunan SBDK yang
sama di empat bank BUMN. SBDK korporasi sama-sama menjadi 8 persen, ritel
8,25 persen, KPR 7,25 persen, dan non-KPR 8,75 persen. Hanya SBDK mikro yang
berbeda, BRI 14 persen dan Mandiri 11,25 persen. Selama ini BNI dan BTN tak
menggarap kredit segmen ini. Sepertinya ada ”komando” dari atas. Ketiga, apakah ada manfaatnya? Ada.
Penurunan SBDK bank pemerintah itu baik untuk mendorong bank lain untuk
mengikuti. Bila tidak, bank lain akan kalah bersaing. Selain sebagai pemimpin
pasar, bank pemerintah juga berperan sebagai agen pembangunan (agent of
development). Konsekuensi logisnya, bank BUMN wajib mendukung program
pemerintah dalam menggeber kredit untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi
nasional. Apalagi, kini likuiditas bank pemerintah
sedang melimpah. Bank pemerintah telah mengucurkan kredit Rp 192,24 triliun
kepada 28,91 juta nasabah. Dana itu bersumber dari program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) Rp 695,2 triliun pada 2020. Pada 2021, pemerintah akan
menempatkan dana Rp 66,99 triliun kepada perbankan untuk disalurkan kepada
dunia usaha terutama UMKM. Keempat, masalahnya, bagaimana menipiskan
premi risiko sehingga suku bunga kredit lebih terjangkau (affordable)? Sudah
barang tentu, premi risiko tak bisa disamaratakan karena struktur permodalan
bank berbeda-beda. Namun regulator, baik BI maupun Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), bisa meneliti semua komponen lebih dalam untuk melahirkan bunga
kredit. Sejatinya, SBDK merupakan hasil
penghitungan dari tiga komponen, yakni harga pokok dana untuk kredit, biaya
overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, dan margin
keuntungan. Dari ketiga komponen itu, hanya margin keuntungan
yang dapat ”dikendalikan” otoritas atau regulator. Itulah tantangan bagi
otoritas atau regulator untuk mengendalikan margin profit sehingga suku bunga
kredit lebih terjangkau sektor riil. Kelima, semakin tinggi margin profit, akan
semakin tinggi pula suku bunga kredit efektif yang dikenakan pada nasabah.
Mengapa suku bunga kredit Indonesia cenderung lebih tinggi daripada bank-bank
negara lain? Ini karena rata-rata SBDK Indonesia paling tinggi di antara
bank-bank di ASEAN ataupun di negara maju. SBDK (di Malaysia disebut base lending
rate) Indonesia rata-rata 9,170 persen per tahun per Februari 2021, disusul
Filipina 6,542 persen (Desember 2019), Rusia 6,100 persen (Januari 2021),
Thailand 5,415 persen (Februari 2021), Singapura 5,250 persen (Februari
2021). Sementara China 4,350 persen (7 April
2021), Malaysia 3,443 persen (Januari 2021), AS 3,250 persen (5 April 2021),
Kanada 2,450 persen (Maret 2021), Jerman 1,990 persen (Januari 2021), Jepang
1,475 persen (Maret 2021), dan Italia 1,177 persen (Januari 2021) (Data Bank
Negara Malaysia, Januari 2021). Sungguh, itulah tantangan serius bagi
regulator untuk mengerdilkan SBDK. Keenam, sesungguhnya ada kiat lain ketika
regulator berani mengatur suku bunga kredit efektif dengan menetapkan SBDK
plus batas atas premi risiko sekian persen. Langkah itu dapat diterapkan
untuk kredit konsumsi KPR dan kredit konsumsi non-KPR. Misalnya SBDK + premi
risiko 2 persen untuk suku bunga KPR. Penerapan semacam itu lebih tegas di mata
nasabah sehingga juga lebih terjangkau. Hal itu juga untuk menekan premi
risiko dan margin keuntungan yang terlalu tinggi. Beban
berat BI Ketujuh, sekiranya hal itu tak segera
dilakukan, bank akan makin rajin memarkir kelebihan likuiditas ke surat
berharga. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK pada 6 April
2021 menunjukkan penempatan dana bank pada Surat Berharga mengalami kenaikan
42,85 persen dari Rp 1.061,09 triliun per Januari 2020 menjadi Rp 1.515,81
triliun per Januari 2021. Ketika semakin banyak dana bank parkir di
surat berharga, semakin banyak pula BI harus mengeluarkan biaya moneter
berupa biaya bunga. Manakala biaya bunga, katakan setingkat suku bunga acuan
3,5 persen, maka biaya moneter BI akan mencapai Rp 53,05 triliun. Berat!
Padahal, surat berharga itu bukan instrumen investasi, melainkan instrumen
moneter. Selain itu, BI wajib mengendalikan moneter, menjaga tingkat inflasi,
dan mengawal rupiah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar