Pancasila
Milik Bersama Dipo Alam ; Pemerhati
Ekonomi-Politik |
KOMPAS, 16 April 2021
Guntur Soekarno lewat tulisan di Kompas
(30/3/2021) sepertinya masih belum puas dengan keberatan publik yang telah
menolak pencampuradukan Pancasila sebagai ”wacana”—sebagaimana yang
dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, dengan Pancasila sebagai
”norma”—yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Penolakan publik itu, kita ingat, mengemuka
saat terjadi kontroversi tentang Rancangan Undang-Undang tentang Haluan
Ideologi Pancasila (RUU HIP) di 2020. Meskipun tulisannya membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP), yang
disorongkan pemerintah sebagai pengganti RUU HIP yang kontroversial itu, dua
pertiga tulisan Mas Tok, demikian saya biasa memanggilnya, lebih banyak
berisi klarifikasi mengenai Pancasila versi 1 Juni 1945 daripada mengenai RUU
BPIP itu sendiri. Klarifikasi semacam itu menurut saya
bersifat kontraproduktif sebab bisa menarik mundur kembali upaya
pengarusutamaan (mainstreaming) Pancasila yang sejauh ini terus berjalan
maju. Perlu disadari bahwa sebagai norma
ketatanegaraan, Pancasila sudah menjadi karya bersama para pendiri bangsa
(founding fathers). Di dalam rumusan akhirnya, ada kontribusi
pikiran para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang lain, terutama
Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus
Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin, yang semuanya
merupakan anggota Panitia Sembilan. Selain berisi pemikiran tokoh-tokoh tadi,
sesudah proklamasi dikumandangkan dan sesaat sebelum disahkan pada 18 Agustus
1945, rumusan akhir Pancasila juga telah didiskusikan kembali secara ketat,
melibatkan tokoh-tokoh, seperti Sam Ratulangi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau
Kasman Singodimedjo, sehingga akhirnya melahirkan rumusan sebagaimana yang
kita kenal pada hari ini. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Bung
Karno memang telah menguraikan rumusan Pancasila. Dan itu merupakan momen
gagasan Pancasila pertama kali diutarakan di depan publik. Namun, lima sila yang disampaikan Bung
Karno ketika itu berbeda rumusannya dengan yang kita kenal hari ini. Sebab,
gagasan tersebut telah dirumuskan ulang oleh sebuah komisi yang dibentuk oleh
BPUPK, yaitu Komisi Perancang Undang-Undang Dasar (UUD), yang diketuai Ir
Soekarno sendiri. Selain komisi tersebut, sesudah masa
sidangnya yang pertama, BPUPK juga membentuk dua komisi lain, yaitu Komisi
Keuangan dan Perekonomian, yang diketuai Drs Mohammad Hatta; dan Komisi
Pembelaan Tanah Air, yang diketuai Abikoesno Tjokrosoejoso. Jadi, Sidang
BPUPK tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 belumlah menghasilkan kesepakatan mengenai
rumusan dasar negara. Pada 18-21 Juni 1945, Komisi Perancang UUD
mengadakan rapat yang dihadiri 38 orang. Pada saat itulah Bung Karno menunjuk
sembilan orang yang diminta untuk merumuskan naskah Mukaddimah Undang-Undang
Dasar (UUD). Kesembilan orang itu kemudian dikenal sebagai Panitia 9, dengan
Bung Karno tetap sebagai ketuanya. Pada 22 Juni 1945, Panitia 9 berhasil
merumuskan sebuah naskah gentlemen’s agreement, yang disebut Yamin sebagai
Piagam Djakarta, di mana pada 18 Agustus 1945, atau sesaat sebelum disahkan,
naskah tersebut telah disempurnakan kembali menjadi rumusan Mukaddimah dan
Pancasila sebagaimana yang kita kenal hari ini. Dengan demikian, upaya untuk mengeramatkan
rumusan tanggal 1 Juni atas rumusan terakhir Pancasila tadi, menurut saya, bersifat
kontraproduktif. Sebab, dengan demikian posisi Pancasila yang sudah menjadi
milik bersama seolah hendak ditarik kembali menjadi ”milik Bung Karno”. Upaya
itu jelas bertentangan dengan maksud politik dilahirkannya gagasan tersebut,
yaitu sebagai dasar yang hendak mempersatukan seluruh anak bangsa. Dua
persoalan Sesudah Reformasi, Bung Karno dan seluruh
gagasannya sebenarnya telah mendapatkan kembali kehormatannya. Pada bulan November 2012, misalnya, di masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bung Karno telah dianugerahi
gelar sebagai Pahlawan Nasional, melengkapi gelar sebagai Pahlawan
Proklamator yang telah diberikan oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1986. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo,
tanggal 1 Juni juga telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila dan
dijadikan hari besar nasional, yang memberikan pengakuan bahwa Bung Karno-lah
memang penggali Pancasila. Dengan demikian, sebagai pejuang, pendiri bangsa,
dan pemikir, Bung Karno telah mendapatkan kembali seluruh nama baik dan
kehormatan yang berhak didapatkannya. Namun, dalam kaitannya dengan Pancasila dan
relasinya dengan Bung Karno, ada dua hal yang perlu dijernihkan. Pertama, terkait dengan aktor pemikirnya.
Meskipun Bung Karno adalah bapak bangsa, dan seorang penggali Pancasila, kita
perlu menyadari bahwa tidak semua pemikiran Bung Karno telah dan bisa
diterima sebagai konsensus kebangsaan. Bung Karno, misalnya, pernah punya
gagasan mengenai partai tunggal. Namun, karena kita ingin membangun sebuah
negara merdeka yang demokratis, gagasan tersebut tak pernah diterima menjadi
konsensus. Penegasan semacam ini bukan hanya berlaku
untuk pemikiran Bung Karno, melainkan juga pemikiran para pendiri bangsa
lainnya. Hatta, misalnya, juga seorang bapak bangsa. Namun, gagasannya untuk
mengeksklusi Papua sebagai bagian dari Republik, misalnya, tidak pernah kita
terima sebagai konsensus kebangsaan. Sejak awal kita menganggap Papua adalah
bagian dari Republik, karena etnis Melanesia adalah bagian dari etnis
Nusantara. Secara demografis, misalnya, Indonesia saat ini memiliki sekitar
13 juta penduduk beretnis Melanesia, yang tersebar di wilayah Maluku, Papua,
Papua Barat, dan Nusa Tenggara. Jadi, ada pagar yang tegas antara pemikiran
pendiri bangsa di satu sisi, dengan konsensus kebangsaan di sisi yang lain.
Pada kenyataannya, tak semua pemikiran pendiri bangsa memang bisa dan perlu
diterima sebagai konsensus kebangsaan. Inilah yang menjelaskan kenapa publik pada
tahun lalu memberikan penolakan keras atas masuknya kosakata ”Trisila” dan
”Ekasila” ke dalam RUU HIP. Memang kedua istilah itu berasal dari Bung
Karno, dan bahkan menjadi bagian dari pidato resmi pertama mengenai
Pancasila, tetapi karena kita memang tidak pernah membangun konsensus bahwa
Pancasila bisa diperas-peras semacam itu, maka dimasukkannya interpretasi
tersebut ke dalam draf RUU tentu saja ditolak publik. Sekali lagi, Bung Karno memang adalah
penggali Pancasila. Ini sudah jelas. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun,
ini yang perlu digarisbawahi, sebagaimana yang telah dibentangkan oleh
sejarah, tidak semua pemikiran Bung Karno bisa diterima sebagai konsensus
kebangsaan dan kenegaraan! Kedua, terkait dengan soal rumusannya.
Meskipun Pancasila pertama kali dipidatokan pada 1 Juni 1945, yang diterima
sebagai konsensus kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan yang lahir pada
hari itu. Persis di situ, kita perlu membuat distingsi antara ”wacana” dengan
”norma”, untuk membedakan status gagasan mengenai Pancasila. Rumusan Pancasila yang disampaikan pada 1
Juni, sama seperti halnya rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni, statusnya
barulah merupakan ”wacana” mengenai dasar negara karena belum disahkan
menjadi ”norma” yang memiliki konsekuensi hukum dan ketatanegaraan. Nama dasar negaranya sejak awal memang
telah disetujui dan mendapatkan sambutan yang baik, yaitu ”Pancasila”. Akan
tetapi, bagaimana rumusan dasar negara tersebut masih terus-menerus
diperdebatkan. Meskipun disebut sebagai gentlemen’s
agreement, rumusan tanggal 22 Juni, misalnya, toh masih terus diperbaiki
hingga detik-detik terakhir sebelum disahkan. Karena itu, meskipun ada banyak versi
mengenai rumusan dasar negara, yang disahkan sebagai ”norma” dalam sistem
hukum dan ketatanegaraan kita adalah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus
1945. ”Common
denominator” Sebagai norma, Pancasila telah dibakukan
dan terjaga otentisitas rumusannya di dalam naskah Mukaddimah UUD 1945, yang
secara konstitusional tidak bisa diubah. Dengan demikian, meskipun kita mengakui
Bung Karno sebagai penggali Pancasila, dan pemerintah secara resmi juga telah
memberikan pengakuan bahwa tanggal 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila,
rumusan Pancasila yang dijadikan norma di dalam sistem hukum dan
ketatanegaraan kita bukanlah rumusan yang dipidatokannya pada 1 Juni itu,
melainkan rumusan sebagaimana yang disepakati pada 18 Agustus 1945. Gagasan-gagasan atau rumusan-rumusan yang
lahir sebelumnya, ataupun sesudahnya, hanya bisa dianggap sebagai wacana,
atau intellectual exercise, dan bukan sebagai norma. Kita bersyukur, sebagai
bangsa memiliki dasar negara seperti Pancasila, yang bisa menjadi common
denominator atas keberagaman yang kita miliki. Oleh Bung Karno, Pancasila dimaksudkan
sebagai alat pemersatu, bukan sebagai alat segregasi, apalagi alat untuk
mengeksklusi sesama anak bangsa. Agar tetap berfungsi sebagai alat pemersatu,
Pancasila harus terus-menerus diposisikan sebagai milik bersama, bukan milik
golongan atau rezim politik tertentu. ● |
Ada catatan saya atas tulisan Dipo Alam di atas, terutama soal Partai Tunggal.
BalasHapusDalam tulisannya di atas Dipo Alam menulis: "Bung Karno, misalnya, pernah punya gagasan mengenai partai tunggal. Namun, karena kita ingin membangun sebuah negara merdeka yang demokratis, gagasan tersebut tak pernah diterima menjadi konsensus."
Koreksi dari saya, jika kita membaca risalah sidang PPKI, terutama dalam sidangnya yang ke-3 tanggal 22 Agustus 1945 telah disepakati dan diputuskan menjadikan PNI (Partai Nasional Indonesia) sebagai Partai Tunggal, waktu itu disebut sebagai Partai.
Seluruh hasil keputusan sidang PPKI dari tanggal 18-22 Agustus 1945 tidak bisa dilaksanakan bukan karena tidak adanya konsesus para bapak bangsa (founding father), melainkan karena atas tekanan panglima tentara sekutu, dimana NICA, tentara Belanda ikut "membonceng" di dalamnya, pada tanggal 3 Nopember 1945 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat X yang isinya membatalkan semua hasil keputusan sidang PPKI dan BPUPK. Sebagaimana kita ketahui, sejak dikeluarkan Maklumat X tanggal 3 Nopember 1945 tersebut Sistem Pemerintahan dan Kepartaian Indonesia diubah dari: Sistem Pemerintahan Presidentil menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer dengan menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dan merubah Sistem Kepartaian Indonesia dari Sistem Partai Tunggal menjadi Sistem Multi Partai.