Tantangan
Kementerian Investasi Muhamad Rosyid Jazuli ; Peneliti di
Paramadina Public Policy Institute dan Mahasiswa Doktoral di University
College, London |
KOMPAS, 23 April 2021
Setelah mendapat persetujuan DPR pada Jumat
(9/4/2021), pemerintah segera membentuk Kementerian Investasi. Medio 2019, publik dibetot perhatiannya
oleh kabar relokasi puluhan pabrik dari China ke sejumlah negara, terutama
Vietnam, kecuali Indonesia. Meski pada 2020 beberapa perusahaan asal China
memindahkan pabriknya ke Indonesia, situasi ini membuka tabir bahwa arus
masuk investasi ke Indonesia belum optimal. Salah satu parameternya, rasio arus modal
masuk neto penanaman modal asing (PMA) terhadap produk domestik bruto (PDB)
di Indonesia baru sekitar 3 persen pada 2014 dan, sayangnya, turun jadi 2,2
persen pada 2019. Dalam periode 2009-2018, negara-negara tetangga, seperti
Vietnam, Malaysia, dan Singapura, mengungguli Indonesia dalam rasio tersebut
(Bank Dunia, 2020). Seretnya arus masuk investasi di Indonesia
terutama disebabkan oleh ketidakpastian regulasi (Paramadina Public Policy
Institute, 2014). Dalam satu dekade terakhir, hampir 15.000 peraturan
kementerian dikeluarkan di Indonesia (Patunru dan Surianta, 2020), belum
termasuk perda di beberapa level. Obesitas peraturan ini menyulitkan
investasi, khususnya PMA. Kehadiran Kementerian Investasi menjadi
urgen untuk menakhodai penciptaan kepastian dan efisiensi regulasi, terutama
terkait investasi, yang telah di-mukadimah-i oleh pengesahan Undang-Undang
Cipta Kerja di 2020. Tiga
fase pembangunan Secara umum, ada tiga tangga fase
pembangunan ekonomi. Pertama, ekonomi berbasis faktor produksi; kedua,
berbasis investasi; ketiga, berbasis inovasi dan pengetahuan (Lee, 2008). Memantapkan tiap fase dalam satu kurun
waktu tertentu harus dilakukan sebelum naik ke level selanjutnya agar tak
terjadi kekacauan ekonomi. Misalnya, ketika faktor produksi seperti sumber
daya manusia (SDM) belum memadai, upaya untuk menjalankan ekonomi berbasis
investasi tak akan optimal. Investor akan melihat risiko dan potensi kerugian
tinggi karena produktivitas tenaga kerja yang tersedia rendah. Sebagai salah satu faktor produksi yang
krusial, kualitas SDM Indonesia belum optimal. Jumlah pekerja yang kompeten
hanya sekitar 40 juta pekerja (33 persen). Dari total 137 juta angkatan
kerja, sekitar 70 juta tamatan SMP atau ke bawah yang umumnya memiliki
keterbatasan keterampilan dan kapasitas (BPS, 2020). Indeks Modal Manusia Indonesia
(0,54) juga di bawah rata-rata dunia (0,57) (Bank Dunia, 2020). Kondisi ini menjadi alarm bahwa fase paling
dasar pembangunan ekonomi kita belum siap. Ini menjadi peringatan bagi
pemerintah yang ingin menggenjot arus masuk investasi. Investor tentu ingin
melihat ketersediaan tenaga kerja terampil dan siap kerja sebelum membangun
bisnis dari investasinya. Oleh karena itu, fokus kebijakan jangka
pendek Kementerian Investasi perlu diarahkan pada upaya meningkatkan kualitas
SDM. Kementerian ini harus bisa memastikan Indonesia melewati fase-fase
pembangunan ekonomi dengan mantap dan bertahap. Misalnya, dalam kurun 5-10
tahun pertama, peningkatan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja adalah
target utama, bukan semata peningkatan arus masuk modal. Di awal kinerjanya, Kementerian Investasi
perlu erat berkolaborasi dengan berbagai instansi terkait, khususnya
Kemendikbud dan para asosiasi usaha. Tujuannya, menginisiasi berbagai program
untuk menjadikan demografi Indonesia berkapasitas, berketerampilan tinggi,
sehingga siap kerja. Economic Development Board (EDB) Singapura
bisa jadi acuan. Keberhasilan menarik arus masif investasi merupakan hasil
kerja mereka bekerja sama dengan berbagai pihak. Dengan berbagai kementerian
dan asosiasi bisnis, EDB memantau dan mengatur keseimbangan arus dan kualitas
suplai tenaga kerja dan pembukaan bisnis. Selain mempromosikan Singapura, EDB
jadi tempat konsultasi utama pengusaha dan investor, khususnya terkait
keseimbangan pasar dan pergerakan ekonomi Singapura dan ASEAN. Kehadiran Kementerian Investasi diperlukan
untuk akselerasi kemajuan ekonomi. Namun, ini tak akan berhasil tanpa secara
bertahap mengikuti fase-fase pembangunan ekonomi yang diawali kemantapan SDM
Indonesia. Tanpa kesadaran itu, kementerian ini hanya akan jadi beban negara,
menambah gemuk dan rumit birokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar