Bumi
dan Krisis Iklim Khalisah Khalid ; Koordinator Desk
Politik Walhi |
KOMPAS, 23 April 2021
”Musim semi yang sunyi, burung-burung
menghilang”. Sosok perempuan bernama Carson menuangkan kekhawatiran atas
maraknya penggunaan bahan kimia untuk kebutuhan pangan yang berdampak buruk
pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Silent Spring (1962), keresahan yang
dituliskan menjadi pemicu lahirnya gerakan lingkungan hidup di berbagai belahan
dunia. Jika tak ada keresahan Carson saat itu, mungkin penduduk bumi akan
terus terlena dan seakan rumah huniannya dalam keadaan baik-baik saja. Setelah lebih dari setengah abad berlalu,
penduduk bumi dihadapkan pada satu kenyataan pahit saat bumi semakin
meranggas. Bahkan, semakin hari, tingkat pencemaran dan penghancuran
lingkungan hidup semakin tak terkendali. Pandemi Covid-19 dan krisis iklim menjadi
penyampai pesan pilu bagaimana pemimpin-pemimpin negara di dunia telah gagal
menyelesaikan krisis global yang melanda dunia. Alih-alih menyadari kekeliruan besar atas
paradigma pembangunan global yang bertumpu pada jargon pertumbuhan ekonomi
dan mengubahnya, penghancuran alam kian menggila. Mesin-mesin sistem ekonomi
kapitalisme kian rakus mengeruk sumber daya alam (SDA). Sasaran utamanya di belahan dunia yang
memiliki SDA melimpah, dan elite politiknya menjadi pengikut utama atas
paradigma pembangunan global, di mana alam ditempatkan sebagai komoditas
untuk mengakumulasi profit. Perut bumi dikeruk, hutan ditebang, sungai dan
laut dicemari. Ekosistem karst dan gambut disulap menopang industri
ekstraktif, polusi terhirup masuk ke dalam paru-paru, menyesakkan dan
mematikan. Lingkungan hidup diabaikan, hak asasi
manusia ditinggalkan. Profit di atas segalanya! Hasilnya, bumi semakin rapuh. Kemampuan
bumi merestorasi dirinya kalah cepat dibandingkan laju kecepatan penghancuran
alam yang bergerak dari menit ke menit tanpa mengenal jeda. Pandemi tetap
membuat mereka tak bergeming, dan bahkan jika mungkin seluruh isi bumi
dikuras untuk makin menyelamatkan sistem kapitalisme ini dari ancaman
kebangkrutan yang justru mereka ciptakan sendiri. Di Indonesia, akselerasi mesin-mesin
industri ekstraktif masuk melalui sidang-sidang pembahasan UU Minerba dan UU
Cipta Kerja. Penghancuran alam dilegitimasi oleh UU. Paradoks, karena setiap
detik keselamatan rakyat berada di ujung tanduk dengan bencana ekologis, dan
krisis iklim akan kian meningkatkan tingkat bencana itu. Menguji
komitmen Harian Kompas telah mengingatkan memori
kolektif kita bahwa siklon tropis yang terjadi di Provinsi NTT merupakan
peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, dan ke depan ancamannya semakin
meningkat akibat pemanasan global. BMKG juga telah mengingatkan bahwa siklon
tropis menjadi ancaman bagi wilayah Indonesia ke depan sehingga langkah
adaptasi dan mitigasi mendesak dilakukan. BNPB jauh sebelumnya telah
mengeluarkan laporan, sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia adalah
bencana hidrometeorologi. Ironisnya, dalam pengambilan keputusan terkait
kebijakan pembangunan, laporan kedua institusi ini nyaris tak menjadi
referensi utama oleh pemerintah dan parlemen. Indonesia telah menyampaikan komitmen iklim
global, bahkan Presiden sendiri yang langsung menyampaikannya dalam COP-21
Paris. Kebijakan NDC menetapkan target penurunan emisi sebesar 29 persen
dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan kerja sama internasional
pada 2030. Sayangnya, kebijakan ekonomi dan
pembangunan Indonesia setidaknya sejak Paris Agreement, semakin menjauh dari
komitmen yang telah ditetapkannya sendiri. Langkah penurunan emisi yang
dilakukan Indonesia masih jauh dari trayektori penurunan emisi global untuk
mencapai target menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Dalam analisis kesenjangan kebijakan iklim
Indonesia dalam perspektif keadilan antargenerasi yang dilakukan Walhi
(2020), disebutkan bahwa komitmen iklim Indonesia pada 2030 tak konsisten
dalam menahan laju pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius,
apalagi hingga 1,5 derajat celsius sebagaimana disyaratkan di Paris
Agreement. Kajian ini juga menilai proyeksi
pembangunan rendah karbon Indonesia mencerminkan bahwa Indonesia belum
memiliki target puncak emisi. Emisi Indonesia hanya akan turun hingga 2030
dan akan terus meningkat secara signifikan, bahkan hingga tahun 2045. Dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan
Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and
Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, yang menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi
tidak naik melebihi 1,5 derajat celsius, pemerintah menargetkan netral karbon
di 2070, mencerminkan lemahnya ambisi Pemerintah Indonesia untuk mencapai
netral karbon (net zero emission) pada 2050. Sebuah langkah mundur dan patut disesalkan.
Terlebih karpet merah semakin dibentang panjang untuk polutan dengan
dicoretnya fly ash dan bottom ash (FABA) serta limbah sawit dari kategori
bahan beracun dan berbahaya (B3). Tanpa komitmen politik yang sungguh-sungguh,
artinya pengurus negara membiarkan bumi dan warganya perlahan-lahan
tenggelam. Hari
Bumi Krisis iklim adalah kenyataan yang dihadapi
seluruh makhluk bumi saat ini, dan kita harus menyadari sedang berada di
planet yang kondisinya tak sedang baik-baik saja. Indonesia tak dalam situasi
perang, tetapi kelambanan dalam adaptasi dan mitigasi bencana ekologis telah
mengakibatkan 4.508.605 orang mengungsi sejak awal 2021. Situasi ini harus ditangani dengan tindakan
yang lebih sistematis dan struktural melalui kebijakan negara, tak hanya
pendekatan teknokratik. Ancaman meningkatnya bencana karena krisis iklim
harus jadi momentum bagi negara untuk melakukan koreksi mendasar atas
paradigma ekonomi yang selalu menawarkan mitos pertumbuhan dan kesejahteraan. Pemerintah Indonesia juga dipaksa
meningkatkan ambisi dekarbonisasi dan memastikan pemenuhan terhadap hak-hak
dasar masyarakat, terutama hak atas keselamatan dan kesehatan. Darurat iklim
harus dideklarasikan oleh pengurus negara! Namun, yang tidak kalah penting adalah
bagaimana komunitas rakyat membangun kesadaran dan kekuatan politiknya secara
kolektif, memperluas solidaritas dan soliditas gerakan penyelamatan bumi. Kita telah menyaksikan bagaimana masyarakat
adat, masyarakat lokal di pelosok desa dan kampung kota. Perempuan,
laki-laki, tua muda menjaga dan menyelamatkan tanah, air, kehidupan, generasi
yang akan datang. Merekalah sesungguhnya penyelamat iklim dan bumi. Selamat
Hari Bumi! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar