Pandemi
Covid-19 dan Angka Kematian Astrid Ayu Bestari ; Koordinator Fungsi
Seksi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan |
KOMPAS, 26 April 2021
Indonesia boleh berbangga, untuk pertama
kali sejak merdeka, berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit
pada Maret 2018. Namun sayangnya, pencapaian itu tidak berumur panjang. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik
(BPS) pada Februari 2021, angka kemiskinan Indonesia September 2020 kembali
menyentuh dua digit, tepatnya 10,19 persen. Meningkat 0,41 persen poin dari
Maret 2020 dan 0,97 persen poin dari September 2019. BPS mencatat, jumlah
penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta, bertambah 1,13 juta
orang dari Maret 2020 dan 2,76 juta dibandingkan September 2019. Peningkatan kemiskinan ini menghapus
kemajuan yang dicapai beberapa tahun terakhir dan mengancam target
penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2030. Secara gamblang, penyebab utama
peningkatan kemiskinan di Indonesia adalah pandemi Covid-19. Pandemi telah menjangkau hampir setiap
negara di dunia, menyebar dengan kecepatan yang mengkhawatirkan dan membuat
aktivitas ekonomi hampir terhenti karena negara-negara memberlakukan pembatasan
ketat aktivitas untuk menghentikan penyebaran virus. Covid-19 telah dan akan
terus menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia. Dampak ekonomi diprediksi
besar dan jutaan orang akan jatuh miskin. Mengakhiri kemiskinan dalam segala
bentuknya merupakan fondasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs). Namun, Bank Dunia pada Oktober 2020 memperkirakan
kemiskinan ekstrem global akan meningkat pada 2020 untuk pertama kalinya
dalam lebih dari 20 tahun karena pandemi Covid-19. Sebelumnya, upaya
pengurangan kemiskinan juga terhambat oleh konflik dan perubahan iklim. Guncangan
sisi penawaran dan permintaan Pandemi Covid-19 diperkirakan akan
mendorong tambahan 119 juta hingga 124 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem
di 2021. Faktor terkuat yang memengaruhi kemiskinan adalah pertumbuhan
ekonomi. Dampak Covid-19 terhadap kemiskinan
dijelaskan oleh interaksi tiga faktor. Pertama, tingkat keparahan dari sisi
kesehatan. Tingkat penularan yang semakin tinggi akan mendorong pemerintah
mengambil kebijakan untuk mengurangi penularan, seperti pembatasan sosial
(social distancing) dan lockdown. Kedua, tingkat keparahan kejatuhan ekonomi
yang terjadi. Ini berkaitan dengan masalah-masalah struktural, seperti
ketergantungan pada komoditas primer atau pasar utama/rantai nilai yang
mengalami keterpurukan ekonomi, ketersediaan ruang fiskal, dan utang-utang
yang belum dibayar. Ketiga, bobot relatif orang-orang yang
berada di sekitar garis kemiskinan, yang mungkin akan jatuh dalam kemiskinan
apabila terjadi penurunan pendapatan per kapita mereka (Valensisi, 2020). Pandemi Covid-19 memicu guncangan sisi
penawaran (karena terganggunya aktivitas bisnis) serta guncangan sisi
permintaan (meningkatnya pengangguran dan keengganan konsumen untuk
berbelanja dan menurunnya investasi). Di sisi penawaran, ada penurunan langsung
dalam penawaran tenaga kerja dari pekerja yang tidak sehat, seperti pengasuh
yang harus merawat anak-anak karena penutupan sekolah dan dari peningkatan
angka kematian. Namun, dampak yang lebih besar pada kegiatan ekonomi terjadi
karena upaya penanggulangan penyebaran penyakit melalui lockdown dan
karantina. Upaya pengurangan penyebaran virus memaksa
perusahaan merumahkan pekerjanya, terutama di sektor manufaktur seperti garmen,
sektor transportasi, dan pariwisata. Pemberlakuan pembatasan sosial dan
lockdown juga menurunkan pendapatan pekerja di sektor informal, terutama di
sektor perdagangan dan ritel. Di sisi permintaan, hilangnya pendapatan,
ketakutan akan penularan, dan meningkatnya ketidakpastian membuat orang
mengeluarkan uang lebih sedikit. Pekerja mungkin di-PHK karena perusahaan
tidak dapat membayar gaji mereka. Efek ini bisa sangat parah untuk beberapa
sektor, seperti pariwisata dan perhotelan. Sentimen konsumen dan bisnis yang
kian memburuk mendorong perusahaan mengurangi pengeluaran dan investasi. Pada
akhirnya, ini akan menyebabkan penutupan bisnis dan hilangnya lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan banyak pekerja
kehilangan sumber pendapatannya yang secara langsung berdampak pada
peningkatan kemiskinan. Pembatasan aktivitas ekonomi terutama dirasakan oleh
negara berkembang, yang memiliki sektor informal yang besar dan cakupan lebih
kecil untuk pekerja yang bekerja dari rumah. Di Indonesia, menurut hasil Survei Angkatan
Kerja Nasional Agustus 2020, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja
terdampak Covid-19. Sebanyak 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan
jam kerja, 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran, 0,76 juta penduduk keluar
dari angkatan kerja, dan 1,77 juta penduduk berubah status menjadi sementara
tidak bekerja. Di banyak negara berkembang, dampak
Covid-19 diperparah oleh berkurangnya ekspor, berkurangnya remitansi akibat
banyaknya pekerja migran di-PHK, berkurangnya aliran investasi langsung luar
negeri, meningkatkan kerentanan berutang, serta pengetatan persyaratan kredit
internasional dan arus modal keluar. Meningkatnya tekanan pada anggaran
pemerintah dan neraca pembayaran semakin memperburuk situasi, membatasi ruang
untuk melakukan respons kebijakan yang aktif. Jatuhnya perekonomian ini bisa terus
berlanjut dan menyebabkan kerusakan serius pada suatu negara. Tanpa tindakan
pencegahan, lapangan kerja mungkin tak tersedia ketika resesi telah berakhir,
banyak perusahaan mengalami kebangkrutan, dan bank serta neraca keuangan
nasional bisa terganggu. Covid-19 telah dengan jelas mengajarkan kita bahwa
suatu negara hanya sekuat mata rantai terlemahnya, yaitu kesehatan
masyarakatnya serta ekonominya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar