Ekonomi
Kreatif dan Pasar Berjejaring Sosial Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB
Universitas Brawijaya, Deputi Ekonomi Setwapres |
KOMPAS, 26 April 2021
Diksi ”perubahan” menjadi mantra anyar
kehidupan, terutama di bidang ekonomi. Lanskap ekonomi makin cepat mengalami
perubahan, baik dari jenis usaha, pelaku, instrumen kebijakan, pranata
organisasi, maupun perkakas produksi/distribusi. Jika di masa silam untuk membuat korporasi
menjadi kekuatan konglomerasi dibutuhkan waktu hingga 30 tahun, sekarang
proses tersebut bisa dilipat hanya dalam tempo di bawah 10 tahun (bahkan
kurang dari lima tahun). Teknologi informasi menjadi cagak pokok
perubahan ini. Namun, hulu dari keseluruhan perubahan tersebut tak lain
adalah ekonomi yang basisnya pengetahuan. Hilirnya, ekonomi dan industri
kreatif menjadi ladang ”baru” yang menonjol karena sebagian besar bahan
bakunya bertumpu pada pengetahuan tersebut. Pada aras yang lain, dunia sedang ditindih
dengan traktat SDGs (Sustainable Development Goals) yang berisi 17 tujuan dan
169 target pembangunan yang mesti dicapai pada 2030. Waktu kian memburu. Perkara
laten pembangunan Isu SDSs perlu diangkat sejak dini dalam
arus perubahan ini karena di dalamnya terkandung mandat dasar kehidupan,
seperti kemiskinan/kelaparan, ketimpangan, lingkungan, pendidikan, kesetaraan
jender, permukiman, pekerjaan yang layak, serta air dan energi bersih.
Sepanjang Republik berdiri, dimensi persoalan tersebut selalu menjadi medan
pertempuran pembangunan dari periode ke periode. Isu kemiskinan, misalnya, telah dikawal
secara sistematis via aneka kebijakan dan program dengan hasil yang lumayan
menggembirakan. Namun, salah satu perkara yang muncul ialah dinamika kemiskinan
saat terjadi instabilitas ekonomi (krisis). Ketika muncul krisis besar pada 1998 dan
pandemi setahun terakhir ini, jumlah penduduk miskin sontak melonjak. Tanggul
hidup kaum papa roboh diterjang resesi meskipun pemerintah telah menyiapkan
ragam program permanen maupun respons baru setelah pandemi. Pola yang sama
terjadi pada dimensi permasalahan yang lain. Hal yang sama terjadi pada soal permukiman
warga, di mana masih banyak penduduk yang belum memiliki rumah laik. Pada
2018, masyarakat perdesaan yang bisa menikmati air minum layak hanya 64,1
persen dari populasi (BPS, 2019), bahkan di perkotaan pun jumlahnya juga
masih besar. Akses kaum perempuan terhadap pendidikan lebih rendah dari
laki-laki (terpantul dari IPM). Upah tenaga kerja laki-laki lebih tinggi
sekitar 21 persen dari perempuan pada jenis pekerjaan yang sama periode
2015-2019 (BPS, 2020). Ketimpangan enam tahun terakhir juga
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah sehingga rasio gini bisa
diturunkan secara perlahan. Namun, lagi-lagi pandemi membuat ikhtiar itu
mengalami gangguan sehingga ketimpangan kembali naik tipis. Bencana silih berganti, seperti banjir dan
longsor, akibat destruksi lingkungan yang telah dimulai puluhan tahun lalu.
Daya dukung ekologi terhadap pembangunan lemah sehingga berpotensi
memunggungi capaian yang sudah diperoleh. Tentu saja Indonesia tidak sendirian.
Secara umum, negara lain mengalami pula situasi yang sama meskipun dengan
ragam dan tensi masalah yang berbeda. Pesan dari deskripsi tersebut adalah:
masalah inti masih sama di tengah gemuruh perubahan ekonomi yang berlangsung. Jadi, terdapat ”dua dunia” aktivitas
kehidupan yang berjalan berdampingan. Pertama, sebagian besar negara
menghadapi perkara laten pembangunan yang sama sejak puluhan tahun lalu,
seperti kemiskinan, ketimpangan, delusi lingkungan, kesehatan, dan
pendidikan. Jumlah komunitas ”tertinggal” celakanya masih sangat besar
(mayoritas warga negara dunia). Kedua, ekonomi kian dikemudikan oleh
teknologi dan informasi yang berhulu pengetahuan. Sektor ini hanya bisa diisi oleh lapis
kecil masyarakat sehingga berpotensi mengeluarkan banyak orang dari arena
pembangunan. Di titik inilah dibutuhkan akurasi dalam penyusunan peta
kebijakan dan program ekonomi dalam arus perubahan tersebut. Jangkar
ekonomi kreatif Dunia yang makin padat pengetahuan inilah
yang menjadi hulu dari pergeseran pembangunan menuju ekonomi kreatif.
Informasi, internet, digitalisasi, dan aplikasi merupakan sebagian perkakas
yang memungkinkan pengetahuan menjelma menjadi komoditas/jasa yang diproduksi
dan dikonsumsi oleh massa. Konsep ekonomi kreatif sendiri sebagian
diturunkan dari praksis industri kreatif, yang dalam beberapa hal merujuk
pada budaya industri. Setidaknya terdapat lima jangkar yang bisa dikaitkan
dengan konsep ekonomi kreatif tersebut (Moore, 2014), yakni: (i) aplikasi
yang diharapkan mempercepat pertumbuhan pendapatan, penciptaan lapangan
kerja, ekspor; serta promosi inklusi sosial, budaya, dan pembangunan manusia. Kemudian; (ii) interaksi antara aspek
ekonomi, budaya, dan sosial dengan teknologi, kekayaan intelektual, dan
tujuan pariwisata; (iii) ekonomi berbasis pengetahuan yang menyambungkan
level mikro dan makro perekonomian; (iv) pembangunan yang lebih fisibel
sehingga responsif terhadap kebijakan multidisipliner dan koordinasi yang
efektif; dan (v) jantung ekonomi kreatif adalah industri kreatif. Ekonomi kreatif merupakan perayaan bagi
rumah besar Indonesia karena keberpihakannya terhadap komitmen menjaga relasi
sosial yang inklusif, menumbuhkan keragaman budaya, dan menguatkan literasi
manusia. Tiap gerak kegiatan ekonomi kreatif tidak cuma memberi nilai tambah
atas aktivitas ekonomi karena munculnya induksi teknologi dan injeksi
pengetahuan, tetapi kesanggupannya secara total melayani kepentingan yang
lebih luas tersebut. Dengan demikian, wajah pembangunan ekonomi
jauh lebih beradab dari praktik sebelumnya. Lebih penting dari itu, bidang
besar dari ekonomi kreatif disatukan dengan instrumen penyangga nilai tambah,
yaitu teknologi, kekayaan intelektual, dan pariwisata. Sektor pariwisata tidak lagi dikemas
sekadar kerumunan orang yang melihat indahnya panorama alam atau kreativitas
buatan, tetapi dimasuki oleh gagasan yang tumbuh dari kekuatan budaya/sosial
dan teknologi. Ujungnya, pariwisata menjadi gerak ekonomi yang beralas
kekayaan pengetahuan dan kebudayaan. Berikutnya, kegiatan ekonomi yang
merelasikan antara level makro-meso-mikro selama ini direkatkan melalui
proses input-nilai tambah-output (antarlevel usaha). Kebijakan transformasi
ekonomi, misalnya, didekati dengan pemikiran menghasilkan produk nilai tambah
di sektor tertentu sesuai sumber daya yang dimiliki. Pandangan ini tidak salah, tetapi luput
menyasar vitalitas pengetahuan sebagai tali yang melingkari keseluruhan
proses sehingga pendekatan mikro-meso-makro dibingkai oleh pendalaman
pengetahuan. Proses ini bila diamalkan dalam ruang
pengambil kebijakan akan memberi faedah munculnya kolaborasi yang lebih
fleksibel di antara pemangku kepentingan sehingga kerja multidisipliner dan
koordinasi yang tidak tersekat bidang menjadi titik tumpu gerakan. Keseluruhan interaksi ini yang menumbuhkan
industri kreatif: sebuah sikap ekonomi yang bergerak memperkuat hulu
pengetahuan, bertumpu inklusi sosial/budaya, serta kebijakan yang tidak
tersekat dalam bidang sempit. Inilah etalase ekonomi kreatif. Pasar
berjejaring sosial Bagaimana memastikan agar kemajuan ekonomi
dan industri kreatif tidak berpunggungan dengan ikhtiar membangun pemerataan
pembangunan sehingga semua warga ikut dalam gerbong ekonomi? Modal apa yang
dimiliki bangsa? Sekurangnya tiga kapital inti dimiliki bangsa pada aras ini. Pertama, kekayaan sistem nilai telah
membentuk aneka kebudayaan sehingga mosaik pengetahuan tidak pernah
kehilangan pasokan. Mainan anak-anak yang dibuat dari sumber daya sekitar
(pelepah pisang, bambu, buah jeruk, batang kelapa, dan lain-lain) merupakan
sebagian replika kecil betapa pengetahuan lokal berkembang dan berpijak di
bumi. Pendidikan formal mungkin terbatas, tetapi
pengetahuan bisa berpuncak dari kreativitas setempat. Kecerdasan tersebut
tentu tersambung dari pintu budaya, seperti yang tersembul dari ritual saat
menanam atau memanen, arsitektur rumah tradisional, atau kecantikan motif
wayang dalam desain batik. Sepanjang ragam budaya itu tidak redup, industri
kreatif akan terus hidup. Kedua, pendalaman akses informasi
(internet, digitalisasi, aplikasi) telah menjangkau sekitar 70 persen
populasi. Artinya, sekitar 200 juta penduduk terpapar dalam jejaring besar
dan global perekonomian. Mereka tidak saja memiliki makna sebagai ceruk pasar
yang gigantik, tetapi juga produsen gagasan yang dapat dikonversi menjadi
pemasok (barang/jasa) otentik. Sumber pengetahuan saat ini diperoleh dari
akses dan jejak digital tersebut. Kemajuan aktivitas ekonomi di lokasi/negara
lain secara cepat bisa dipelajari dan dimodifikasi. Demikian pula, ekonomi
kreatif yang dikembangkan di dalam negeri secara gegas dapat dipajang di
etalase aplikasi yang bakal ditengok oleh warga dunia. Jika akses tersebut diimbangi dengan
literasi pemanfaatan dan pengolahan informasi menjadi kegiatan produksi, maka
berpotensi menjadi ledakan ekonomi yang bersumber dari kekuatan jejaring
pengetahuan. China adalah teladan konkret dalam melakukan mobilisasi
digitalisasi menjadi hegemoni ekonomi. Ketiga, tanpa disadari secara penuh
sekarang telah berjalan proses perpindahan kultur secara masif di Indonesia
karena adanya pergerakan: tenaga
kerja-standardisasi-urbanisasi-komersialisasi. Selama 40 tahun terakhir
eskalasi peningkatan kapasitas pengetahuan tenaga kerja terus berlangsung,
baik lewat pendidikan formal maupun informal, sehingga standardisasi
keterampilan (sertifikasi) jadi identitas baru ekonomi. Kelompok warga ini yang memimpin urbanisasi
sehingga jumlah penduduk di kota sudah lebih banyak dibandingkan dengan di
desa. Mereka ini pula yang mendikte pasar dalam banyak sisi: jenis produksi,
mekanisme distribusi, dan metode konsumsi. Berita bagusnya, kaum inilah yang menjadi
pasar gurih dari komoditas ekonomi/industri kreatif. Maknanya, bila pasar ini
saja dikelola dengan baik, skala ekonomi dari industri kreatif telah
terpenuhi (apalagi ditambah gelanggang internasional). Jangan alpa, hal ini
mesti diintegrasikan pula dengan ”pasar berjejaring sosial” agar sepadan
dengan upaya pemberdayaan warga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar