Mudik
”Rahmatan” dan Tragedi India Djoko Santoso ; Guru Besar Kedokteran
Unair, Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur, Penyintas Covid-19 |
KOMPAS, 28 April 2021
Ledakan kasus korona di India bisa menjadi
cermin tajam bagi negeri kita dalam menyongsong Lebaran. Perlu dipikirkan
lagi, apakah sahih melarang mudik, tetapi mempromosikan wisata lokal. Satu
gelombang besar kerumunan dicegah, tapi kerumunan yang lain dianjurkan. Kita
perlu punya sikap untuk menjaga keselamatan diri. Mari kita menyimak India, yang kini jadi
sorotan keprihatinan dunia. Negeri berpenduduk 1,393 miliar ini besar dalam
banyak hal dan kali ini angka koronanya yang besar. India memulai vaksinasi
16 Januari 2021 dan sampai awal Maret sudah mencapai sekitar 18 juta warga
yang disuntik. Awal Maret, sehari bisa menyuntik lebih
dari sejuta warga. Inilah rekor tertinggi di dunia. Ambisinya, bisa
memvaksinasi 300 juta warganya hanya dalam tempo tujuh bulan. Ambisi dan
capaian vaksinasi yang besar sekali ini mengundang decak kagum dari berbagai
pihak, termasuk dari banyak kalangan di Indonesia. Karena
”herd ignorancy” Kemudian ramailah pendapat bahwa India
segera memasuki fase kekebalan komunitas (herd immunity). Mantan Direktur
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga
Aditama memuji capaian vaksinasi massal India. Menurut dia, keberhasilan vaksinasi massal
India karena menerapkan tiga strategi, yakni melibatkan swasta, murah
(sekitar Rp 50.000), dan prioritas awal adalah untuk tenaga kesehatan dengan
vaksin gratis dan lansia (ini juga diterapkan di Indonesia). Semuanya tampak makin membaik saja.
Kemudian, protokol kesehatan dan pembatasan di India mengendur. Kepala
ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengingatkan: meskipun beberapa wilayah di
India sudah menunjukkan tercapainya kekebalan kelompok, sebaiknya jangan
lengah. Namun, lengah adalah sifat bawaan manusia.
Tibalah saatnya kelengahan itu harus dibayar dengan sangat mahal. Dilandasi
oleh keyakinan dan ketaatan pada tradisi, lebih dari sejuta warga India
mengikuti ritual Kumbh Mela, mandi di Sungai Gangga, festival keagamaan terbesar
di dunia (12/4/2021). ”Keyakinan kami adalah hal terbesar bagi
kami. Karena keyakinan yang kuat itulah banyak yang datang ke sini untuk
berendam di Gangga,” kata panitia seperti dikutip kantor berita AFP.
Berbondong-bondonglah jutaan orang nyemplung ke sungai legendaris itu tanpa
masker, jaga jarak, cuci tangan. Pokoknya, tanpa protokol kesehatan. Ada
sikap ignorant atau abai secara masif. Kerumunan riuh itu rupanya sudah lama
”ditunggu” oleh virus korona yang ”sangat cerdas.” Worldometer mencatat rekor
terendah tahun ini dengan ”hanya” 8.947 kasus baru pada 8 Februari.
Kelengahan menjadikan angka merangkak naik pada Maret. Memasuki April
benar-benar meroket. Worldometer melaporkan, pertengahan April
(16/4/2021) tercatat 217.353 kasus infeksi baru. Seminggu kemudian
(22/4/2021) tercatat 314.835 kasus infeksi baru. Angka naik terus ke 345.147
kasus (24/4/2021). Rekor kematian harian juga membesar mengikuti tren kasus
baru harian. Kurva kenaikan kasus harian dan kematian di India pun melejit,
mirip jempol dan telunjuk yang ditudingkan ke atas. India dilanda kepanikan, sistem kesehatan
nasional sudah hampir tak sanggup memikul beban berat ini. Media membanjiri
dunia dengan berita horor. Ambulans berisi pasien antre panjang hendak masuk
ke fasilitas kesehatan, sementara tempat tidur, ventilator dan oksigen habis
terpakai. India memang luar biasa. Dari semula
dielu-elukan segera memasuki fase herd immunity (kekebalan kawanan) hanya
dalam waktu singkat berubah menjadi tragedi memilukan akibat herd ignorancy
(kebebalan kawanan). ”Mutan
ganda” India Di luar soal faktor manusia yang tidak
mematuhi protokol kesehatan secara disiplin, virus yang bermutasi menjadi
ganas ini pun juga tak kalah hebatnya dalam memengaruhi terjadinya tsunami
korona India. Seiring banyaknya varian mutan korona ini, namanya pun makin
rumit dan sulit dihafal. Kalau namanya saja sulit dihafal, apalagi cara
mengatasinya. Menurut studi epidemiologi dan sequencing
(perunutan) genetik virus, didapati bahwa terdapat empat varian mutan yang
ada di India, yaitu varian Inggris (B1.1.7), varian Afrika Selatan (B.1.351),
varian Brasil (P.1), dan yang terbaru, varian muta ganda (double mutant)
(B.1.617). Pada akhir 2020, dunia digemparkan oleh
munculnya varian baru virus korona B.1.351 dari Afrika Selatan yang diketahui
berbeda dari mutasi-mutasi sebelumnya karena memiliki potensi untuk
menurunkan efektivitas antibodi yang diperoleh dari vaksin ataupun infeksi
sebelumnya. Berbeda dengan varian pendahulunya seperti
varian Inggris yang hanya lebih cepat menyebar, tetapi dapat dilindungi oleh
vaksin, letak mutasi (E484K) dari varian Afrika Selatan ini membuat antibodi
tidak mengenali protein virus. Setelah mutasi yang menakutkan itu
diketahui pula muncul varian lain di dunia, seperti varian Amerika Serikat
(B.1.427) yang memiliki letak mutasi L452R yang ternyata juga menurunkan
perlindungan dari antibodi. Varian mutan ganda India dikatakan sangat
menakutkan karena mengandung dua mutasi menakutkan, yaitu E484K (dari Afrika
Selatan) dan L452R (dari Amerika Serikat) yang sama-sama memiliki kemampuan
untuk kabur dari sistem antibodi pertahanan tubuh manusia. Didapati kedua mutasi ini dapat menurunkan
efek netralisasi antibodi secara signifikan dan bila digabungkan bisa lebih
tak terkendali. Varian ini diperoleh dari perunutan genom pada sampel terbaru
pasien di India. Sampai saat ini telah ditemukan 800 total kasus temuan
varian mutan ganda di 21 negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Belgia,
Australia, dan Singapura dengan 40 persen kasus ditemukan di India. Walaupun penelitian secara langsung
mengenai tingkat penyebaran dan kematian akibat virus varian baru ini belum
ditemukan, dapat diprediksi (dari letak mutasinya) virus ini akan lebih cepat
menyebar dan mematikan. Pendek kata, varian baru India ini harus dihindari
secara disiplin oleh negara-negara lain dengan jalan mengunci migrasi warga
yang berkunjung dari India. Apa yang disebut ”mutan ganda” ini cukup
mengerikan sebab mampu menaikkan kisaran 10 hingga 20 kali kasus baru. Varian
lainnya mempunyai satu protein paku, tetapi mutan ganda yang dikenal sebagai
B.1.617 ini memiliki dua protein paku dan lebih menular dibandingkan dengan
galur atau generasi sebelumnya. Satu saja berbahaya, apalagi dua. Inilah sebabnya beberapa negara langsung
bertindak cepat. Pakistan, Singapura, Hong Kong, Inggris, Amerika Serikat,
Selandia Baru dan Kanada, langsung menyetop kedatangan penumpang dari India.
Dan, seperti biasanya, kita lengah. Media melaporkan sudah ada 127 warga India
yang masuk ke Indonesia menggunakan penerbangan carter dari Chennai, India,
dan tiba di Soekarno-Hatta, Rabu (21/4/2021). Mereka pemegang visa kunjungan
dan kartu izin tinggal terbatas (Kitas). Setelah dikritik tajam netizen,
syukurlah jajaran Kementerian Kesehatan langsung bertindak. Dua hari kemudian Jumat (23/4/2021),
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, jajarannya sudah melakukan
tes antigen pada penumpang dari India ini, dan mendapati 12 orang di
antaranya positif Covid-19. Langsung dilakukan pemetaan genomnya untuk melacak
kemungkinan varian mutasi baru yang dibawa oleh penumpang yang positif ini.
Kementerian Perhubungan langsung menyetop semua penerbangan reguler dari
India yang bertujuan ke Indonesia. Jangan
bingung mudik vs wisata Jika India punya ritual Kumbh Mela, kita
punya tradisi mudik Lebaran. Keduanya selama ini berjalan baik-baik saja,
ritual tradisi berbasis (meskipun tidak sepenuhnya) keagamaan. Bagi sebagian
besar Muslim Indonesia, kurang lengkap rasanya mengakhiri puasa Ramadhan
tanpa tradisi mudik Lebaran. Namun, Lebaran kali ini, seperti Lebaran tahun
lalu, sebaiknya kita rayakan dengan menahan diri untuk tidak mudik. Tradisi mudik harus menjadi bagian dari
rahmatan lil alamin. Pada musim pandemi, rahmat itu justru akan didapatkan
ketika kita meniadakannya. Toh, ”bersalam-salaman” bisa dilakukan secara
virtual. Berbagi uang bisa lewat transfer dan untuk bingkisan bisa lewat jasa
kirim daring. Kita lindungi sesepuh dan sanak saudara kita, agar tak terpapar
Covid-19 yang kekuatannya kian ganas. Sejauh ini, kasus positif Covid-19 masih
cenderung ”fenomena kota”. Atau terkonsentrasi di kota-kota besar berpenduduk
padat. Jabodetabek adalah penyumbang terbesar kasus. Bandung dan Semarang
menyusul kemudian. Bila mudik berjemaah dari kota besar ke ”udik” (kampung),
Covid-19 akan ”mudik” juga. Karena tanpa manusia bergerak, Covid-19 juga
tidak bergerak. Jika mudik diizinkan, sangat potensial
terjadi pemerataan penyakit Covid-19 dari kota besar ke seluruh pelosok.
Itulah mudik yang mafsadat lil alamin, membawa mala bagi alam. Syukurlah pemerintah sudah bersikap tegas
melarang total mudik 6-17 Mei, dengan pengetatan sejak 22 April. Akan tetapi,
sikap tegas pemerintah melarang mudik ini akan lebih sempurna jika dibarengi
dengan pemberlakuan melarang kegiatan kerumunan dalam bentuk apa pun,
termasuk kegiatan berwisata lokal. Bayangkan, misalnya, Lebaran nanti warga
Jabodetabek tumplek blek memenuhi kebun binatang Ragunan, atau warga Solo
Raya ramai -ramai datang memenuhi kolam pemandian Pengging di Boyolali. Tidakkah
ini juga kerumunan seperti di India? Ingat bahwa lonjakan kasus saat ini di
India, terbukti merambah secara masif pada masyarakat perdesaan yang belum
terjangkau virus pada gelombang-gelombang sebelumnya. Jika kali ini juga sampai terjadi lonjakan
penyebaran di kota-kota kecil, di kawasan wisata di sejumlah daerah, akan
lebih sulit menanganinya karena fasilitas kesehatan yang ada tidak sebanyak
dan selengkap di kota besar. Karena itu, janganlah kita ingin menambal
ketertinggalan pertumbuhan ekonomi, tetapi dengan mengambil risiko yang bisa
lebih parah. Ada jalan tengah bijaksana. Kalau
pemerintah masih mendua soal kerumunan libur Lebaran, kita harus mampu
bersikap sendiri, yakni, jangan mudik, jangan berwisata. Bukankah kita semua
makhluk otonom? Kita diberi fitrah untuk bisa ikhtiar mandiri menghindari
bahaya. Kalau ada ”apa-apa” setelah kita wisata, toh kita sendiri yang
merasakannya. Bukan pemerintah. Selamat menyongsong Hari Fitrah dengan
mensyukuri dan menjaga nikmat kesehatan yang indah dan mahal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar