Gempa
Jawa Timur, Alarm untuk Kita Daryono ; Peneliti
di BMKG dan Anggota PuSGeN |
KOMPAS, 20 April 2021
Belum usai penanganan dampak Badai Seroja
yang destruktif di NTT, kita dikejutkan dengan terjadinya gempa kuat yang
melanda Jawa Timur belum lama ini. Gempa dengan magnitudo 6,1 yang terjadi
pada hari Sabtu, 10 April 2021 pukul 14.00.16 WIB memiliki episenter pada
koordinat 8,83 Lintang Selatan dan 112,5 Bujur Timur. Tepatnya di laut pada
jarak 96 kilometer arah selatan Malang, dengan kedalaman 80 kilometer.
Zona
Benioff
Dengan memerhatikan lokasi episenter dan
kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa kedalaman
menengah yang dipicu oleh deformasi batuan di zona Benioff.
Zona Benioff merupakan bagian Lempeng
samudra Indo-Australia yang sudah tersubduksi dan menukik ke bawah Pulau Jawa
di bawah zona megathrust. Karena pusat gempanya berada di kedalaman menengah,
maka gempa Jawa Timur belum lama ini tidak termasuk gempa megathrust.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan
bahwa gempa yang terjadi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Mekanisme sumber sesar naik ini sebenarnya sensitif terhadap potensi tsunami
jika hiposentar gempanya dangkal dan magnitudonya besar. Patut disyukuri
bahwa gempa ini berada pada kedalaman menengah dengan magnitudo 6,1 sehingga
tidak cukup kuat untuk mengganggu kolom air laut dan tidak memicu tsunami.
Dampak gempa di beberapa daerah di Jawa
Timur mencapai skala intensitas maksimum V-VI MMI yang berpotensi merusak.
Estimasi peta shake map Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
yang diinformasikan 15 menit setelah gempa dinilai akurat, karena gempa yang
terjadi terbukti merusak ribuan rumah yang tersebar di 17 kabupatan/kota di
Jawa Timur.
Gempa juga menelan korban jiwa sembilan
orang meninggal dunia dan lebih dari 84 orang luka-luka.
Selain menimbulkan kerusakan, gempa Jawa
Timur ini mengguncang wilayah yang luas, hingga Lombok dan Jawa Barat. Terjadinya
spektrum guncangan yang luas ini berkaitan dengan hiposenter gempa di
kedalaman menengah.
Bagi para ahli, terjadinya gempa merusak di
Jawa Timur ini bukan hal yang aneh. Secara tektonik wilayah selatan Malang
dikenal sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks. Sejarah mencatat bahwa di
Malang dan sekitarnya sudah beberapa kali dilanda gempa yang merusak, yakni
pada tahun 1896, 1937, 1958, 1962, 1963, 1967, 1972, dan 1998.
Jika kita perhatikan lokasi hiposenter
gempa Jawa Timur ini berada di dalam lempeng Indo-Australia yang tersubduksi.
Gempa yang berpusat di dalam lempeng semacam ini disebut sebagai “gempa
intra-slab”. Peristiwa gempa Bali pada 22 Maret 2017 dengan magnitudo 5,6,
gempa Tasikmalaya pada 15 Desember 2017 dengan magnitudo 6,9 dan gempa Banten
pada 23 Januari 2018 dengan magnitudo 6,1 merupakan contoh gempa intra-slab
di selatan Jawa.
Meskipun gempa intra-slab hiposenternya
cukup dalam, tetapi guncangannya dapat dirasakan sangat luas, karena energi
regangan (strain) yang terakumulasi diubah menjadi gelombang seismik saat
gempa. Dampaknya, gempa akan meradiasikan guncangan dengan frekuensi tinggi
sangat signifikan.
Berdasarkan kurva waktu proses rekahan yang
terjadi di sumber gempa (source time function), tampak jelas bahwa besarnya
energi yang diradiasikan dari rekahan sumber gempa Jawa Timur ini sangat
kecil. Durasi proses rekahan sangat singkat, hanya dalam waktu 2,5 detik,
tetapi mampu meradiasikan guncangan dahsyat yang sangat signifikan, hingga
merusak ribuan rumah dengan guncangan meluas.
Hasil monitoring BMKG hingga Kamis, 15
April 2021, terjadi sebanyak 13 kali gempa susulan (aftershock) dengan
magnitudo berkisar antara 2,9 hingga 5,3. Jika mencermati aktivitas gempa
susulan yang terjadi, tampak bahwa produktivitas gempa susulannya sangat
sedikit (lack of aftershocks). Gempa-gempa di oceanic intra-slab dengan
kedalaman menengah umumnya memang ‘miskin’ gempa susulan.
Fakta mengenai minimnya produktivitas gempa
susulan yang terjadi di Jawa Timur merupakan cerminan penurunan tegangan yang
besar dengan tiba-tiba saat terjadi gempa utama. Dengan mengetahui bahwa
gempa Jawa Timur memiliki penurunan tegangan (stress drop) yang tinggi maka
mengarah kepada dugaan bahwa gempa ini sangat kecil kemungkinan akan diikuti
oleh gempa besar berikutnya. Sebaliknya, kondisi tektonik di zona gempa akan
segera stabil dan normal kembali.
Alarm
untuk kita
Peristiwa gempa merusak di Jawa Timur
merupakan “alarm” untuk mengingatkan kita semua, bahwa potensi ancaman sumber
gempa di selatan Pulau Jawa yang selama ini didengungkan oleh para ahli
adalah nyata dan tidak boleh diabaikan.
Secara tektonik, wilayah selatan Jawa
terdapat beberapa zona sumber gempa seperti: (1) sumber gempa di luar zona
subduksi (outer rise), (2) zona subduksi lempeng yang dapat memicu gempa
inter-plate, (3) zona Benioff yang dapat memicu gempa intra-slab, dan (4)
sesar aktif di dasar laut yang dapat memicu gempa intra-plate.
Terkait dengan beberapa sumber gempa ini,
maka gempa kuat dan berpotensi tsunami kapan saja dapat terjadi tanpa dapat
diprediksi.
Katalog gempa BMKG mencatat sejak 1840
hingga 2009 di selatan Jawa telah terjadi gempa besar dengan magnitudo antara
7,0 dan 8,0 sebanyak lebih dari 12 kali, sedangkan tsunami di Pantai Selatan
Jawa sudah terjadi delapan kali.
Untuk mengantisipasi keberulangan
terjadinya gempa kuat dan tsunami, para ahli sudah beberapa kali mengingatkan
adanya potensi gempa dan tsunami di selatan Jawa.
Hasil kajian terkini menunjukkan bahwa di
zona megathrust selatan Jawa terdapat beberapa area slip deficit yang
mengindikasikan adanya bidang kontak antar lempeng yang terkunci. Di wilayah
ini diduga sedang terjadi proses akumulasi medan tegangan yang suatu saat
dapat berpotensi terjadi gempa kuat.
Hasil kajian ini menghasilkan skenario
terburuk (worst case) estimasi guncangan gempa dan tsunami yang dapat
dijadikan sebagai acuan mitigasi gempa dan tsunami.
Gempa Jawa Timur selain mengingatkan kita
tentang adanya potensi ancaman gempa dan tsunami di selatan Jawa, juga
mengingatkan agar kita lebih serius dalam upaya mitigasi bencana dengan
menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan dampak kerugian jiwa
dan harta benda akibat gempa dan tsunami.
Korban meninggal dan luka sebenarnya tidak
disebabkan oleh gempa, tetapi akibat bangunan yang roboh dan menimpa
penghuninya. Banyaknya kerusakan bangunan rumah di Jawa Timur saat gempa
Malang merupakan cerminan masih lemahnya mitigasi struktural kita. Untuk itu
upaya mitigasi struktural dengan membangun bangunan tahan gempa harus
diwujudkan.
Jika tidak, maka sampai kapanpun jika
terjadi gempa kuat akan terus jatuh korban jiwa, karena solusi paling utama
dalam mitigasi gempa adalah membangun bangunan tahan gempa.
Jika sebagian masyarakat kita belum mampu
membangun bangunan tahan gempa, ada alternatif lain dengan cara membangun
rumah dengan bahan ringan dari kayu dan bambu yang didesain menarik. Dengan
mewujudkan mitigasi struktural, kita dapat meminimalkan jatuhnya korban jiwa
akibat gempa.
Untuk mengantisipasi bencana tsunami, kita
dapat lakukan dengan cara beragam seperti meningkatkan kegiatan sosialisasi
mitigasi tsunami, memahami konsep evakuasi mandiri dengan menjadikan
guncangan gempa kuat yang dirasakan di pantai sebagai peringatan dini
tsunami, membuat peta jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, latihan
evakuasi (drill), dan menyiapkan tempat evakuasi sementara.
Selain itu, perlu ada upaya yang
sungguh-sungguh dalam menata ruang pantai berbasis risiko tsunami, serta
meningkatkan performa sistem peringatan dini tsunami. Dengan merealisasikan
langkah mitigasi bencana gempa dan tsunami, maka kita tetap dapat hidup aman
dan nyaman meskipun di daerah rawan bencana. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar