”Blockhain”
Sebuah Terobosan dalam Pemerataan Kelistrikan di Indonesia Faisal Yusuf ; Head
of Research Energy and Environment, Blockchain Climate Institute, London- UK;
Chairman Yayasan BENIH; Mahasiswa Program S-3, Sekolah Ilmu Lingkungan,
Universitas Indonesia |
KOMPAS, 19 April 2021
Akses untuk energi, dalam konteks
pembangunan manusia, tidak hanya terkait cakupan rasio elektrifikasi. Yang
juga penting adalah harus melihat bagaimana kualitas akses energi,
keandalannya, kecukupannya, keterjangkauannya, penerimaan masyarakat,
kelayakan lingkungan, dan manfaat sosial ekonomi berganda yang diciptakan
oleh akses energi. Bayangkan, jika di Pulau Aru, Maluku, akses
listrik yang ada hanya 6 jam sehari, bagaimana kualitas kehidupan di sana?
Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membeli solar sebagai pengganti
listrik? Berapa banyak emisi CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya yang akan
ditimbulkan dari efek samping bahan bakar fosil? Beberapa penelitian dan praktik di sejumlah
negara menyarankan mungkin ini saatnya kita beralih ke sistem perdagangan
peer-to-peer (P2P) berbasis teknologi blockchain sebagai salah satu inovasi
pemerataan kelistrikan di Indonesia. Distributed Ledger Technologies (yang lebih
dikenal dengan nama Blockchain, Holochain) semakin dikenal oleh organisasi
internasional, pemerintah, dan sektor swasta sebagai teknologi pendukung
utama yang dapat mengubah cara kita mencapai Sustainable Development Goals. Blockchain adalah database terdistribusi
dengan karakteristik unik yang membuatnya sangat cocok untuk memfasilitasi
jaringan energi berkelanjutan yang kaya teknologi di masa depan. Hal ini
dapat terjadi melalui komponen pendukung dan kapabilitas utama untuk jaringan
energi tersebut, seperti perdagangan energi terbarukan, penyeimbangan
jaringan, desentralisasi (dan peningkatan kompleksitas) aliran energi, adopsi
inovasi digital, dan penerapan respons sisi permintaan. Solusi
pemerataan kelistrikan di Indonesia Salah satu hak asasi bagi seluruh warga
Indonesia adalah akses untuk energi yang berkelanjutan. Selain itu, telah
dinyatakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) nomor 7 (tujuh)
bahwa pengentasan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dapat dilakukan dengan
memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan,
dan modern untuk semua. Solusi kelistrikan di Indonesia yang
diadopsi oleh PLN saat ini, yakni pembangunan pembangkit listrik berskala
menengah-besar, berbiaya besar dan tidak efektif dalam hal pemerataan
kualitas listrik. Dengan lebih dari 17.500 pulau dan lebih dari 6.000 pulau
yang dihuni, membuat jaringan listrik di setiap pulau adalah hal yang hampir
dipastikan mustahil dari sisi biaya, ekosistem, dan teknologi. Hal ini juga
yang menyebabkan Indonesia disebut sebagai salah satu penghasil emisi gas
rumah kaca (GRK) terbesar di dunia. Bank Dunia pada tahun 2015 mengembangkan
model pengukuran multi-tier framework untuk mengukur akses listrik rumah
dengan fokus durasi ketersediaan listrik, kecukupan listrik, dan kegunaan
listrik. Model pengukurannya dibagi lima tingkatan, dengan semakin tinggi
tingkatan semakin baik pula kualitas akses. Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa
kualitas akses kebanyakan desa di Nusa Tenggara Timur dan wilayah Indonesia
bagian timur lainnya ada di Tier 2 dan Tier 1. Sementara itu, sebagai
perbandingan, sebagian besar desa dan kota di Jawa menikmati Tier 5 atau
minimum Tier 4. Berdasarkan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) tahun 2018, hampir 30 persen desa di seluruh Indonesia atau
lebih dari 25,000 desa masih menggunakan kayu bakar, karena desa-desa
tersebut tidak memiliki akses energi bersih, misalkan untuk beralih ke
listrik, gas, ataupun biogas. Salah satu cara efektif dalam pemerataan
listrik di Indonesia adalah membuat jaringan pembangkit listrik yang kecil
(microgrid) yang banyak di setiap daerah dengan didukung oleh penggunaan
energi terbarukan, dalam hal ini panel surya. Menurut International Renewable Energy
Agency (IRENA), energi surya diharapkan akan digunakan dalam skala yang
signifikan pada tahun 2030 dengan tiga cara: skala utilitas besar, di atap
perumahan dan komersial, dan di luar jaringan PLN (off-grid) untuk
menggantikan pembangkit tenaga diesel yang mahal. Potensi ini diasumsikan
akan dikembangkan pada tahun 2030 melalui upaya pemerintah dan Perusahaan
Listrik Negara (PLN). Dalam hal ini, sebuah penelitian program
studi doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia berencana
untuk menganalisis secara mendalam terhadap aspek sosial, teknologi, ekonomi,
lingkungan, dan peraturan terhadap prototipe jual beli listrik pintar secara
P2P berbasis teknologi blockchain di luar dari sistem PLN yang akan
berkontribusi untuk menjawab kebutuhan penggunaan energi (terbarukan) yang
terjangkau. Targetnya adalah masyarakat perkotaan yang
berpenghasilan rendah, warga perdesaan, dan penduduk pulau terpencil yang
tidak mendapatkan akses listrik secara merata dan optimal sekaligus ikut
serta dalam menurunkan emisi CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya. ”Blockchain”
untuk masa depan sistem energi Blockchain dapat menghapus perantara
(intermediaries) dan menggantinya dengan jaringan terdistribusi para pengguna
yang bekerja dan berkolaborasi dalam kemitraan untuk memvalidasi,
mengonsolidasikan, dan menyinkronkan salinan data dalam buku besar melalui
mekanisme konsensus. Struktur digitalnya dikumpulkan menjadi
blok-blok yang diberi cap waktu dan secara kriptografi terkait dengan blok
sebelumnya (membentuk rantai). Struktur blockchain yang kokoh tidak bisa
diedit, dihapus, atau ditambah. Jika pun bisa, sistem akan secara otomatis
menandai bagian yang sudah diganti. Penggunaan blockchain dengan teknologi
smart contract dan teknologi pintar lainnya, seperti artificial intelligence
(AI) dan internet of things ( IoT), akan memperlihatkan jual beli listrik
secara P2P dengan membentuk microgrid antar-rumah tangga dan komunitas yang
dapat dilakukan secara efektif dan efisien. P2P pertama kali diluncurkan dan
dipopulerkan oleh aplikasi-aplikasi ”berbagi-berkas” (file sharing), seperti
Napster dan KaZaA pada tahun 1999. P2P merupakan jaringan komputer, di mana
setiap komputer yang terhubung dalam jaringan tersebut merupakan klien
sekaligus juga server. Jaringan ini dibentuk tanpa adanya kontrol
terpusat dari sebuah server yang terdedikasi. Setiap komputer memiliki
kedudukan yang sama. Pertukaran data antarkomputer serta penggunaan fasilitas
komputer yang terhubung pada jaringan P2P dapat dilakukan secara langsung,
tidak ada pengendali dan pembagian hak akses. Sistem P2P ini menggunakan teknologi
blockchain, yakni basis data terdistribusi dengan karakteristik unik yang
membuatnya sangat cocok untuk memfasilitasi jaringan energi berkelanjutan
yang kaya teknologi di masa depan. Hal ini dapat terjadi melalui komponen
pendukung dan kapabilitas utama untuk jaringan energi tersebut, seperti
perdagangan energi terbarukan, penyeimbangan jaringan, desentralisasi (dan
peningkatan kompleksitas) aliran energi, adopsi inovasi digital, penerapan respons
sisi permintaan, dan lain-lain. Perdagangan P2P dapat sangat mengurangi
operasi keseluruhan biaya sistem tenaga dan akhirnya mengurangi tagihan
listrik konsumen. Konsumen bisa berhemat dengan berbagai cara, sementara
prosumers (produsen sekaligus konsumer) dapat menghasilkan uang dari produksi
berlebih energi terbarukan. Di samping itu, konsumen tanpa kapasitas
pembangkitan bisa memanfaatkan listrik dari energi terbarukan lokal berbiaya
rendah. Contoh negara-negara yang melibatkan institusi negara maupun swasta
dalam uji coba skema perdagangan listrik pintar P2P adalah Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Jepang, Kolombia, Malaysia, dan
Bangladesh. ”Regulatory
sandbox” Kantor Kabinet Jepang pada 2018
memperkenalkan regulatory sandbox yang memungkinkan terciptanya model bisnis
baru yang menggunakan teknologi inovatif seperti blockchain, AI, dan IoT.
Berfokus pada layanan keuangan, perawatan kesehatan, energi, privasi, dan
transportasi, antara lain, regulatory sandbox di Jepang terbuka untuk
organisasi lokal dan asing (misalnya swasta, publik, atau LSM). Teknologi berinovasi dengan cepat seiring
dengan waktu. Hal yang cukup sulit diimbangi dengan regulasi yang ada.
Pemerintah harus selalu siap dalam era pertukaran informasi seperti saat ini.
Bank Indonesia dan Ototitas Jasa Keuangan saat ini telah membuka regulatory
sandbox model dan memfokuskan diri untuk layanan teknologi finansial beserta
produk dan layanannya. Alangkah baiknya jika pemerintah memperluas
akses regulatory sandbox kepada bidang yang lain, seperti kesehatan, energi,
transportasi, dan lingkungan. Regulatory sandbox akan menjadi forum yang
ideal untuk memulai dialog dan berekperimen antara regulator maupun inovator
untuk belajar dari satu sama lain dan bertukar wawasan tentang uji coba
sebuah produk sebelum layak dipakai oleh masyarakat luas. Teknologi blockchain yang disandingkan
dengan penggunaan panel surya dalam jual beli listrik secara P2P akan
berkontribusi langsung terhadap penurunan CO2 sesuai dengan target pemerintah
dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan 29
persen pada 2030. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar