Vaksinasi
Mandiri : Strategi Jitu atau Keliru? Defriman Djafri ; Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Provinsi
Sumatera Barat |
KOMPAS,
18 Maret
2021
Seiring dengan sedang berlangsungnya
program vaksinasi Covid-19 nasional yang dimulai sejak 13 Januari 2021,
wacana vaksin mandiri (berbayar) menjadi kegundahan dan pro-kontra di
masyarakat dan juga tenaga kesehatan serta sukarelawan Covid-19. Betapa tidak? Dari berbagai komentar,
muncul beberapa isu yang antara lain mengaitkan vaksin dengan isu komersial
dan bisnis, isu keadilan, dan ada juga yang beranggapan vaksin mandiri
merusak tatanan program vaksinasi yang berjalan saat ini. Tentunya ada juga
yang berpendapat, ini merupakan upaya akselerasi program vaksinasi Covid-19
di Indonesia. Apakah vaksin mandiri ini strategi jitu
yang diambil pemerintah, atau sebaliknya, sebuah kekeliruan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi Covid-19 secara
nasional. Partisipasi
untuk divaksin Dari program vaksinasi, tentunya diharapkan
efektif terbentuk herd immunity (kekebalan kelompok/komunal), dan berdampak
terhadap produktivitas sosial dan ekonomi ke depan. Saat ini, ketika efikasi
vaksin sudah terpenuhi dan diikuti kehalalan vaksin sudah dijamin, kunci
keberhasilan ke depan harus menitikberatkan pada peningkatan partisipasi
masyarakat untuk divaksin (vaccination rate) agar tercapai kekebalan kelompok
yang diharapkan. Apa sebenarnya yang menjadi masalah di
balik penerimaan atau penolakan vaksin dari masyarakat? Merujuk hasil survei persepsi penerimaan
vaksin di seluruh provinsi di Indonesia yang dilaksanakan WHO, ITAGI, UNICEF,
dan Kementerian Kesehatan RI yang dirilis November 2020, alasan penolakan
paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30 persen). Kemudian, keraguan terhadap efektivitas
vaksin (22 persen); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13 persen);
kekhawatiran adanya efek samping, seperti demam dan nyeri (12 persen); dan
alasan keagamaan (8 persen). Jika dilihat dari kesediaan responden
membayar, dari yang menerima divaksin, hanya 35 persen di antaranya yang mau
membayar. Sekitar 38 persen tidak mau membayar untuk memperoleh vaksin,
sedangkan 27 persen sisanya masih ragu. Dilihat dari data ini, sangat menarik bahwa
proporsi masyarakat untuk membayar dan tak mau membayar untuk menerima vaksin
tak jauh berbeda. Keinginan masyarakat untuk menerima vaksin
dengan mengeluarkan uang secara mandiri merupakan peluang untuk menjangkau
dan meningkatkan cakupan partisipasi masyarakat untuk divaksin ke depan. Vaksinasi memang tanggung jawab pemerintah,
tetapi keinginan dan kesadaran masyarakat dengan mengeluarkan uang secara
pribadi untuk melindungi dirinya, keluarganya, dan membantu pemerintah dalam
mengakselerasikan capaian cakupan vaksinasi, perlu diapresiasi sebagai bentuk
solidaritas bersama kita untuk bisa keluar dari pandemi ini. Tantangan Tantangan utama vaksinasi mandiri adalah persepsi
masyarakat yang berbeda, mulai dari anggapan vaksin berbayar lebih baik
daripada yang gratis atau sebaliknya. Atau pendekatan vaksin mandiri yang
seolah-olah lebih mementingkan pendekatan ekonomi dibandingkan kondisi
kedaruratan kesehatan masyarakat. Ada juga anggapan, ketika vaksin mandiri
disediakan, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin akan menurun. Sebenarnya,
sudut pandang yang berbeda saja melihat ini. Padahal, yang perlu dipahami masyarakat
adalah ketika orang mau mengeluarkan uang untuk vaksinasi, artinya adalah
tidak hanya vaksinasi tersebut dapat melindungi dirinya, tanpa sadar atau
tidak secara langsung sebenarnya orang tersebut melindungi keluarganya dan
kita sebagai masyarakat umum yang masih menunggu vaksin secara gratis dari
pemerintah. Ini sebenarnya efek domino yang diharapkan
dalam mengakselerasi capaian cakupan vaksinasi agar tercapai kekebalan
kelompok dan kita bisa keluar dari pandemi yang panjang ini. Jadi, ketika kita menunggu jatah vaksin
gratis dari pemerintah, sedangkan orang lain telah melakukan vaksinasi
mandiri dengan mengeluarkan uangnya secara pribadi atau ditanggung/dibebankan
ke badan usaha/badan hukum, bukan berarti keadilan tak berpihak pada kita.
Justru vaksinasi yang dilakukan secara mandiri telah menolong kita dan bangsa
ini. Ini sebenarnya arti solidaritas bersama,
bergotong royong dengan kapasitas masing-masing untuk kepentingan orang
banyak. Tantangan berikutnya adalah ketersediaan
dan distribusi vaksin. Ini bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun
ketersediaan dan alokasi vaksin yang terbatas ini juga akan menghambat proses
distribusi vaksin. Vaksin mandiri seharusnya bisa melibatkan
pihak swasta dalam distribusi jaringan rantai dingin dan penyediaan vaksin
secara proporsional untuk menjangkau daerah-daerah yang masih terbatas
kapasitas penyimpanannya. Yang perlu menjadi catatan penting adalah
meskipun melibatkan pihak swasta, kontrol itu tetap berada di bawah
pemerintah. Ini sebagai jaminan bahwa vaksin mandiri tidak sepenuhnya lepas
dari kontrol pemerintah, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya mafia vaksin
dan vaksin palsu yang dikhawatirkan masyarakat. KIE
menjadi kunci Strategi dan upaya pengendalian dan
pencegahan yang dilakukan merupakan sebuah ikhtiar bangsa ini untuk bisa keluar
dari pandemi ini. Vaksin mandiri telah diputuskan dilarang diperjualbelikan,
semuanya dibebankan kepada badan usaha/badan hukum. Artinya, secara prinsip
seolah-olah ini juga gratis diterima oleh individu di bawah badan usaha/badan
hukum tersebut. Kekhawatiran masyarakat tidak terlepas dari
buruknya model komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) selama ini. Persepsi,
anggapan, dan pandangan yang berbeda tidak luput dari KIE yang diterima
masyarakat. KIE menjadi kunci dan juga sebagai penangkal hoaks yang beredar
selama ini. Model KIE perlu disusun dan dijelaskan
secara utuh kepada masyarakat, juga apa manfaat dari strategi yang diambil
pemerintah saat ini. Gerakan masif bersama secara nasional perlu digalakkan
dalam upaya meningkatkan cakupan vaksinasi ke depan, apakah nanti itu
berbayar atau tidak? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar