Perjuangan
Mencapai Imunitas Kelompok Dominicus Husada ; Dokter Anak; Kepala Divisi Penyakit
Infeksi dan Tropik Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Unair/RSUD dr Soetomo, Surabaya |
KOMPAS,
18 Maret
2021
Pemerintah Indonesia, seperti banyak orang
di dunia, mengharapkan herd immunity terhadap virus SARS-CoV-2 segera
tercapai melalui vaksinasi. Herd immunity adalah kekebalan kelompok. Di
dalam kelompok ini beberapa orang tidak divaksin (karena berbagai alasan) dan
mereka ini ikut menikmati kekebalan karena sebagian besar yang lain sudah
divaksin. Selama ini kekebalan kelompok tampak pada berbagai penyakit
infeksi, baik karena infeksi alamiah maupun karena vaksinasi. Tak mudah
menentukan kekebalan kelompok karena perhitungan yang agak rumit dan cukup
banyak faktor pengganggu yang bisa memengaruhi. Secara umum, jika ada 70 persen orang
terinfeksi, diharapkan imunitas kelompok terhadap Covid-19 bisa tercapai. Angka
70 didapat dengan memasukkan beberapa komponen penghitungan seperti Rt atau
berapa banyak orang tertular dari setiap kasus Covid-19, proporsi yang
terinfeksi, proporsi yang diimunisasi, dan sebagainya. Tentu para ahli bisa salah. Angka yang
diperlukan kadang tak sesuai dengan perhitungan. Angka ini pun berbeda
menurut negara. Ada beberapa hal yang menjadi penyemangat bahwa kita bisa
mencapai imunitas kelompok yang diinginkan, tetapi tentu saja ada pula hal
sebaliknya. Pengalaman
positif sebelumnya Kekebalan kelompok telah berulang kali kita
saksikan dan alami. Infeksi Streptococcus pneumoniae di Amerika Serikat
menurun dramatis setelah sebagian besar anak balita diimunisasi. Kelompok
lansia yang tak diimunisasi ternyata menunjukkan penurunan jumlah yang masuk
rumah sakit dan meninggal, sebesar sedikitnya 50 persen. Kekebalan kelompok juga membuat penyakit
difteri tak muncul lagi di lebih dari 150 negara di dunia. Penyakit campak
juga pernah musnah di seluruh benua Amerika. Kekebalan kelompok bukanlah impian tanpa
bukti. Pada ketiga penyakit di atas, penyebab terbesar munculnya kekebalan
kelompok adalah imunisasi. Untuk beberapa negara lain seperti India,
situasi agak berbeda. Penelitian di beberapa daerah menunjukkan angka
kekebalan penduduk di sana telah melebihi 50-60 persen. Orang boleh berdebat
mengenai akurasi data ini, tetapi India memang salah satu negara yang paling
parah diserang Covid-19. Hal baik di balik musibah adalah kesembuhan
akan membawa kekebalan sekalipun mungkin tak akan bertahan lama. Kekebalan di
komunitas India diperoleh setelah terinfeksi, dan bukan karena vaksin,
mengingat cakupan vaksin Covid-19 di sana masih sangat rendah. Jumlah orang India yang diperiksa kadar
antibodinya memang juga tak setinggi negara maju seperti Eslandia, misalnya,
yang secara konsisten memantau kadar antibodi penduduk. Sekiranya data India
bisa dipercaya, maka optimisme semakin besar. Negara dengan jumlah penderita terbesar di
dunia, AS, juga berharap mendapatkan antibodi pada penduduk dalam jumlah besar.
Namun, AS memang tak bergantung pada data tersebut. Mereka lebih mengandalkan
vaksinasi yang jelas efektif dan bermanfaat dan mampu membangkitkan kekebalan
kelompok. Per minggu pertama Maret 2021, AS masih
menjadi negara termaju dalam hal jumlah vaksin terpakai dan jumlah orang
secara absolut yang sudah divaksinasi. Sudah hampir 90 juta dosis digunakan,
yang mayoritas adalah vaksin berbasis mRNA yang lebih ”kuat” dibandingkan
vaksin berbasis vektor virus, protein, maupun virus mati. Target AS adalah
dua juta vaksin per hari. Negara kedua dan ketiga yang menyusul AS
adalah China (50 juta dosis) dan Inggris (20 juta dosis). Jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk di negara yang bersangkutan, peringkat pertama, kedua,
dan ketiga justru diduduki Israel (lebih dari 98 per 100 penduduk), Uni
Emirat Arab (65 per 100 penduduk), dan Inggris Raya (35 per 100 penduduk). Di Israel sangat jelas kekebalan kelompok
sudah bisa dievaluasi sekalipun belum mencapai angka final. Keberhasilan
Israel jadi kajian semua ahli. Vaksin Covid-19 memang efektif. Di AS, efek yang dramatis tampak di rumah
jompo di seluruh negeri. Jumlah yang sakit menurun secara bermakna. Hal yang
tak terjadi pada kelompok umur muda, yang memang belum memperoleh giliran
divaksinasi. Hal
yang perlu diwaspadai Sekalipun di seluruh dunia jumlah vaksin
yang disuntikkan sudah mendekati 300 juta, angka ini masih terlalu sedikit
dibandingkan jumlah penduduk dunia yang sekitar delapan miliar. Angka cakupan
vaksin itu pun tidak merata di seluruh negara. Ada lebih dari 80 negara yang
belum memulai program imunisasi. Dari deretan negara kurang mampu yang
dibantu Covax (Covid-19 Vaccines Global Access), baru Ghana yang memperoleh
bantuan. Tanpa alokasi yang merata di seluruh dunia,
akan sulit mengharapkan kekebalan kelompok seperti yang dikehendaki. Pada
prinsipnya, tidak ada satu orang pun boleh merasa aman jika belum semua orang
dalam keadaan aman. Kemampuan penyediaan vaksin di seluruh dunia juga masih
terlalu rendah. Bukan saja AS dan Eropa, seluruh dunia merasakan hal yang
sama. Di Tanah Air, cakupan vaksin merambat
pelan. Sebenarnya jumlah sarana dan petugas yang sudah menjalani pelatihan
singkat sangat besar. Sayang ada beberapa kendala di lapangan yang belum
sepenuhnya bisa dimuluskan, termasuk kecepatan menyediakan tambahan dosis
vaksin. Target tim untuk mencapai 1,5 juta per hari masih sangat jauh dan
harus segera diperbaiki. Per awal Maret 2021, capaian imunisasi di
negeri kita baru mendekati empat juta. Indonesia sebenarnya juga punya
pengalaman menaklukkan penyakit seperti polio, tetapi pencapaian ini disertai
beberapa tanda tanya, terutama akan kerapuhan kelangsungannya. Semoga sejarah
yang kita alami menjadi pelajaran berharga untuk membuat penanganan Covid-19
ini lebih baik. Kecepatan melakukan vaksinasi secara
serentak sangat menentukan. Jika waktu melindungi banyak orang terlalu lama,
kelompok yang menerima vaksin di awal sudah berisiko tidak kebal kembali. Semua ahli vaksin memperkirakan durasi
kekebalan imunisasi Covid-19 ini tak akan terlalu lama dengan tolok ukur
paling rasional adalah vaksin influenza yang harus diulang setahun sekali.
Sekalipun demikian, data solid untuk ini terus dikumpulkan dan tak mungkin
diketahui dalam waktu pendek. Selain soal kecepatan, distribusi vaksin
ternyata belum bisa melampaui batas suku dan ras. Di AS dan Israel, misalnya,
proporsi kelompok minoritas sangat jauh tertinggal dibandingkan yang
mayoritas. Padahal jelas, Covid-19 tidak mengenal batas ini. Dari berbagai publikasi juga terlihat bahwa
kekebalan setelah sakit menghilang secara tidak bersamaan. Publikasi di
berbagai jurnal kedokteran menunjukkan adanya kelompok dengan kekebalan
bertahan lebih dari delapan bulan. Data di Indonesia pada penyintas yang
hendak menjadi donor plasma konvalesen mendapatkan banyak penyintas sudah
tidak lagi mempunyai antibodi berkadar tinggi. Pada penghitungan kekebalan
kelompok hal ini bisa mengacaukan. Kekebalan yang menghilang perlu segera
diperkuat melalui, terutama, imunisasi juga. Mutasi
virus Selain durasi imunitas, pengacau lain yang
lebih menakutkan adalah varian atau mutan. Di Afrika Selatan, jelas tampak
bahwa kekebalan dari infeksi pertama luluh lantak menghadapi mutan di sana.
Memang varian Afrika Selatan dan Brasil lebih menakutkan dibandingkan varian Inggris
B117 yang sempat juga masuk ke Tanah Air. Vaksin yang lebih dahsyat terutama yang
berbasis mRNA dan vektor virus masih mampu mengatasi mutan ini dengan
penurunan kemampuan yang cukup banyak. Vaksin Pfizer kehilangan sedikitnya 20
persen perlindungan menghadapi mutan Afrika Selatan. Vaksin lain sangat mungkin akan tak
berdaya. Padahal, mengubah komposisi vaksin membutuhkan waktu. Hanya vaksin
mRNA yang bisa dalam sekejap dimodifikasi dan hal ini sekarang sudah dan
sedang dilakukan Moderna dan BioNTech. Vaksin hasil modifikasi ini bisa
dipakai juga sebagai booster dengan efektivitas yang relatif menakjubkan. Sebenarnya mutasi adalah suatu hal yang
wajar. Semua makhluk hidup ingin mempertahankan kelangsungan kaumnya. Virus
paling dahsyat dalam hal mutasi adalah HIV dan karena itu hingga hari ini
tidak ada vaksin untuk penyakit tersebut. Mutasi virus influenza juga masih
lebih menakutkan dibandingkan mutasi SARS-CoV-2. Sesungguhnya bagi ahli vaksin sekarang
lebih tampak bahwa virus penyebab Covid-19 merupakan target yang relatif
mudah di antara semua penyebab penyakit yang vaksinnya sedang diteliti. Cara
terbaik mencegah mutasi adalah membatasi ruang gerak virus. Transmisi harus dihentikan. Upaya dengan
masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan cuci tangan mampu menjadi
penangkal efektif, selain upaya mengebalkan diri dengan vaksin. Pertanyaan
lanjutannya adalah apakah upaya klasik ini bisa dijalankan oleh mayoritas
masyarakat dengan baik. Harapan Dengan semua plus dan minus yang dihadapi,
kekebalan kelompok bukan hal yang gampang diraih. Target ideal ini
membutuhkan perjuangan bersama. Ini lebih dari sekadar membuat dan
menyediakan vaksin. Sebagai komunitas, umat manusia pernah
membuktikan kemampuan bekerja sama dan menyingkirkan cacar, polio (sekalipun
belum total), dan rinderpest dari muka bumi. Kerja sama yang lebih baik
sangat diharapkan saat ini. Namun, jika kita kemudian menghadapi kenyataan
bahwa kekebalan kelompok tidak bisa optimal, kita tetap punya alasan untuk
optimistis. Perlindungan individu yang ditimbulkan oleh
vaksin maupun yang dialami para penyintas adalah perlindungan yang sangat
berharga. Setidaknya kita sekarang bisa melindungi diri dan lingkungan mikro
kita. Menyelamatkan orangtua dan semua warga lansia di dekat kita. Melindungi
anak-anak yang masih akan tumbuh dan menempuh perjalanan hidup yang panjang. Dalam situasi seperti ini, kekebalan
kelompok akan lebih bersifat sebagai bonus. Oleh karena itu, mari, jangan
ragu mengimunisasi diri kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar