Satu
Dekade Perang yang Mengubah Timur Tengah Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas dari Kairo, Mesir |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Pada Maret ini, genap 10 tahun perang
saudara berkecamuk di Suriah. Setelah 10 tahun perang saudara, banyak kisah
pilu terekam di negeri berpenduduk sekitar 17,5 juta jiwa itu. Perang saudara
bermula dari hanya gerakan protes sejumlah pemuda di kota kecil Deraa, kota
berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, di Suriah selatan, terhadap rezim Presiden
Bashar al-Assad pada 6 Maret 2011. Protes tersebut kemudian meluas ke
beberapa kota di Suriah pada 15 Maret 2011. Gerakan protes itu ternyata tidak hanya
mengubah peta Suriah, tetapi juga segera mengubah peta geopolitik Timur
Tengah. Profil negeri Suriah yang seksi memang cukup menggiurkan kekuatan
regional dan internasional untuk melakukan intervensi militer secara langsung
di negeri itu. Bagi kekuatan-kekuatan tersebut, Suriah menjadi pijakan untuk
menyelamatkan kepentingan mereka, tidak hanya di Suriah, tetapi juga di
kawasan Timur Tengah. Suriah memiliki semua nilai strategis dalam
konteks kacamata geopolitik. Negeri itu bertepi ke Laut Tengah yang menjadi
tepian negara-negara pusat peradaban Yunani, Romawi, dan Islam. Laut Tengah
bagian timur juga diperkirakan
menyimpan 120 triliun meter kubik gas yang kini menjadi rebutan
negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur. Negeri Suriah secara geografis berbatasan
langsung dengan Israel, membuat Suriah menjadi sangat penting dalam kacamata
konflik Arab-Israel. Dalam konteks dunia Arab, Suriah berbatasan dengan
Lebanon di sebelah barat, Irak di sebelah timur, dan Jordania di sebelah
selatan. Dalam konteks peta Timur Tengah, negara itu berbatasan dengan Turki
di sebelah utara. Adapun dalam peta politik kekuasaan di
Suriah, situasinya juga cukup sensitif. Kaum minoritas Syiah Alawite, yakni
mazhab yang dianut keluarga besar Assad, berkuasa di tengah mayoritas
penduduk Sunni di negeri itu sejak 1969. Ideologi nasionalisme Arab, yang
dominan di kancah peta politik dan ideologi di Suriah, berandil besar
mengantarkan keluarga besar Assad berkuasa sangat lama di negeri itu.
Keluarga besar Assad mengusung jargon ideologi nasionalisme Arab dalam
kekuasaannya. Hal ini menjadi titik temu kepentingan dengan kaum mayoritas
Sunni di Suriah. Saat gerakan Musim Semi Arab tahun
2010-2011 meletus dari Tunisia, lalu merambah ke sejumlah negara Arab,
termasuk Suriah, semua nilai strategis yang dimiliki Suriah tersebut segera
menjadi rebutan kekuatan regional dan internasional. Inilah latar belakang
yang membuat krisis Suriah, meskipun sudah 10 tahun berkecamuk, semakin rumit
dan belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Benturan
kepentingan Kini sudah terlalu mendalam kaki kekuatan
regional dan internasional menginjak bumi Suriah, menghadirkan peta politik
baru di negeri itu. Tentu tidak mudah mereka bersedia meninggalkan bumi
Suriah tanpa ada jaminan bahwa kepentingan mereka dilindungi di negeri itu.
Kepentingan mereka satu sama lain berseberangan sehingga tak mudah, untuk
tidak mengatakan mustahil, mencari titik temu. Iran dan loyalisnya, terutama Hezbollah,
yang mengirimkan kekuatan militer ke Suriah sejak awal tahun 2013, kini
bercokol di sekitar kota Damaskus, khususnya Distrik Sayyidah Zainab, selatan
Damaskus, serta di Provinsi Deir El Zor, Suriah timur yang berbatasan dengan
Irak. Iran membangun mitra strategis dengan rezim Assad sejak revolusi Iran
tahun 1979. Teheran memandang rezim Assad dan bumi Suriah sebagai akses
langsung dalam membangun perlawanan terhadap Israel. Iran juga melihat rezim Assad, sebagai
kekuatan Syiah yang berkuasa, bisa membantu terwujudnya impian bulan sabit
Syiah yang membentang dari Teheran, Baghdad, Damaskus, hingga Beirut. Karena
itu, Iran akan mempertahankan keberadaannya di Suriah saat ini dengan harga
berapa pun dan dengan cara apa pun. Rusia memasok kekuatan militernya langsung
ke Suriah sejak September 2015 dengan dalih menyelamatkan rezim Assad. Mereka
telah mendapat imbalan keberadaan secara permanen di Pelabuhan Tartus dan
Pangkalan Udara Khmeimim, Provinsi Latakia. Bagi Rusia, kehadirannya kembali di Suriah
sejak ambruknya Uni Soviet tahun 1989 membuka pintu dan peluang hidupnya
kembali pengaruh Rusia tidak hanya di Suriah, tetapi juga Timur Tengah dan
Laut Tengah. Moskwa sejak era Uni Soviet sampai saat ini sudah memiliki
tradisi politik bahwa Suriah merupakan titik tolak pengaruhnya di kawasan
Timur Tengah. Turki pun, dengan dalih melindungi keamanan
nasionalnya di perbatasan selatan dengan Suriah, ikut bercokol di Provinsi
Idlib dan wilayah Suriah utara lainnya. Kepentingan terbesar Turki di Suriah
adalah meredam gerakan milisi Kurdi dari Unit Pelindung rakyat (YPG) dan
kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serta terhentinya arus
pengungsi Suriah. Turki kini telah menampung lebih dari 3 juta pengungsi
Suriah. Israel turut pula masuk ke Suriah lewat
serangan udara rutin atas sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah. Menurut
laporan tahunan Lembaga Pemantau HAM di Suriah (SOHR) yang dirilis pada akhir
Desember 2020, Israel selama tahun 2020 telah melancarkan 40 kali serangan
udara terhadap berbagai sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah. AS juga turut melakukan intervensi militer
di Suriah. Pasukan darat AS mulai ditempatkan di Suriah pada akhir 2015.
Seperti dilansir televisi Al Jazeera, jumlah mereka kini sekitar 2.000
personel. Misi utama pasukan AS tersebut adalah untuk memerangi NIIS dan
membantu YPG dalam perang melawan NIIS. Pertarungan kekuatan regional dan
internasional itu sangat menghambat misi PBB yang ingin mencari solusi
politik di Suriah. Hal ini juga membuat rakyat Suriah semakin menjadi korban
dan memperparah bencana kemanusiaan dahsyat di negara itu. Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi
(UNHCR), pengungsi Suriah di luar negeri mencapai 6,6 juta jiwa dari 13,1
juta jiwa yang terpaksa meninggalkan
rumah mereka di Suriah. Akibat konflik berkepanjangan, sebanyak 12,4 juta
jiwa terancam kelaparan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar