Moeldoko Saur M Hutabarat ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA
INDONESIA, 17 Maret 2021
BERADA di dalam lingkaran kekuasaan
presiden kiranya dapat membuat orang ingin pula berkuasa menjadi presiden.
Rasanya itulah yang terjadi di dalam diri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
ketika dia bersedia menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam kongres luar
biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara. Moeldoko tak hanya ‘bersedia’. Dia
ditengarai turut menukangi KLB untuk menjatuhkan AHY, ketua umum de facto. De
facto, karena mereka yang berkongres luar biasa tidak mengakui AHY sebagai
ketua umum de jure. Menurut SBY, Moeldoko bukan anggota Partai
Demokrat. AHY pun ‘belum lama’ menjadi anggota partai itu (saya percaya dia
punya kartu anggota) karena tentara dilarang berpartai. Terlepas AHY ialah
anak SBY yang telah berhenti sebagai tentara, terlepas pula Moeldoko sebagai
kepala staf kepresidenan (yang saya percaya dia tak punya kartu anggota
Partai Demokrat), keduanya warga negara yang ‘dapat’ menjadi ketua umum
sebuah partai--sepanjang dimungkinkan oleh AD/ART partai itu. Moeldoko jelas seorang ambisius. AHY jelas
pula seseorang yang dirancang sang ayah untuk menjadi pemimpin. Adakah yang
salah di dalam dua perkara ini? Tidak. Konstitusi tak melarang orang untuk
ambisius kekuasaan. Konstitusi pun tak melarang orang merancang masa depan
anaknya. Akan tetapi, satu hal kiranya jelas. Kongres luar biasa lahir karena
ada masalah, dan belum tentu menyelesaikan masalah. Dari optik ini jelas
bahwa Moeldoko masuk ke dalam masalah, menjadi bagian di dalam masalah. AHY pun bagian dari masalah, menurut
penyelenggara KLB. Bedanya ialah AHY rakyat biasa, sedangkan Moeldoko
penyelenggara negara. Bahkan, sebagai kepala staf kepresidenan, Moeldoko
berada di lingkaran terdalam pusat kekuasaan pemerintahan. Inilah kritik
terberat bagi Moeldoko; di dalam kedudukannya sebagai kepala staf
kepresidenan, dia bukan bagian dari solusi perkara kepartaian di negeri ini.
Dia bagian dari persoalan. Dia turut serta menciptakan masalah kepartaian. DI titik itulah orang bersuara agar
Moeldoko dicopot dari jabatannya sebagai kepala staf presiden. Sejauh ini,
Presiden Jokowi tak bicara sepotong pun mengenai urusan ini. Kenapa? Jokowi kiranya bukan pemimpin penganut
manajemen konflik. Dia cinta damai, seperti dia cinta produk dalam negeri.
Dia benci produk luar negeri, seperti dia benci pertikaian. Mengatakan hal
ini ialah mengatakan bahwa kiranya Jokowi tak punya urusan dengan ambisi
Moeldoko sebagai person. Gerakan Moeldoko di dalam tubuh Partai Demokrat
ialah gerakan dirinya sendiri sebagai warga negara. Apa yang terjadi di tubuh
Partai Demokrat urusan internal. Itulah sebabnya surat AHY kepada Presiden
mengenai gerakan Moeldoko tak ditanggapi Jokowi. Sejauh ini, Jokowi konsisten tak punya
urusan dengan kehebohan internal di tubuh Partai Demokrat yang melibatkan
Moeldoko sebagai pribadi, sebagai warga negara. Apakah Ini bermakna Presiden
yakin betul terjadi pemisahan Moeldoko sebagai person dan Moeldoko sebagai
kepala staf presiden? Jawabnya barangkali perlu mengambil referensi Jokowi
sebagai pribadi, sebagai warga negara, yang berpandangan adalah wajar belaka
anak dan menantunya sebagai warga negara menjadi calon wali kota yang
berkompetisi di dalam pilkada. Tak ada urusan dengan dirinya sebagai
presiden. Baiklah sejenak melihat ke belakang. Pada
mulanya Jokowi tak mengizinkan menteri merangkap jabatan sebagai pengurus
partai. Pikiran itu berubah dengan diangkatnya Ketua Umum Golkar Airlangga
Hartarto menjadi menteri. Selanjutnya, di kabinet Jokowi jilid 2, sepenuhnya
menteri bebas rangkap jabatan di kepengurusan partai. Hal ini pun kiranya
terbuka buat pemangku jabatan kepala staf presiden. Dia pun bebas untuk
menjadi pengurus partai, menjadi ketua umum sekalipun, melalui KLB sekalipun.
Jokowi tak pernah menjadi pengurus teras
partai politik. Kedudukannya paling tinggi dibahasakan sebagai ‘petugas
partai’. Rasanya di benaknya tak ada urusan kongres, apalagi kongres luar
biasa. Sebagai presiden dia hadir dan berpidato atas undangan di pembukaan
sebuah kongres partai -yakni kongres yang ‘biasa’. Dan memang biasa presiden
memenuhi undangan kongres yang biasa itu sebagai courtesy. Demikianlah Jokowi tak punya urusan dengan
internal Partai Demokrat. Jokowi pun hemat saya tak punya urusan dengan
ambisi Moeldoko sebagai warga negara, kendati di kongres luar biasa itu
terdengar suara ‘Moeldoko untuk 2024’. Berdasarkan semua argumentasi itu
kiranya tak akan terjadi Presiden Jokowi memecat Moeldoko dari jabatan kepala
staf presiden. Rasanya yang bakal terjadi ialah Jokowi
menyerahkan sepenuhnya legalitas Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat
ke ranah undang-undang. Bukan kepada menteri hukum dan HAM, yang notabene
pembantu presiden. Menteri hukum dan HAM bukan pengadil perkara, bukan
pengadil sengketa kepengurusan partai. Menurut undang-undang parpol, itu
domain mahkamah partai. Apa pun keputusan mahkamah partai, kiranya
bukan penghalang seseorang untuk ambisius menjadi presiden. Silakan. Kiranya
itu baik bagi kesehatan Moeldoko. Seorang penggagas utama KLB menilai AHY
sampai di puncak gunung, tanpa pernah mendaki gunung. Dalam hal puncak gunung
kepartaian, apa bedanya Moeldoko dan AHY? Kapan Moeldoko mendaki gunung itu? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar