Moeldoko
Didorong, Didukung, atau… ‘Dijongkrongke’? Erros Djarot ; Budayawan |
WATYUTINK.COM,
08 Maret
2021
Moeldoko, Jenderal Purnawirawan mantan
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Panglima TNI di era pemerintahan SBY,
membuat kejutan politik yang super spektakuler. Ia menerima penobatan dirinya
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang baru, versi Konggres Luar Biasa
Partai Demokrat yang digelar beberapa hari lalu di Deli Serdang, Sumatera
Utara. AHY, Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres 2020, langsung menggelar
konferensi pers. Dengan tegas ia menyatakan bahwa KLB Partai Demokrat yang
menunjuk Moeldoko sebagai Ketua Umum tidak sah, melanggar AD/ART, kongres
abal-abal, dan sebagainya. SBY pun langsung turun tangan dan menggelar
juga konferensi pers atas nama dirinya sebagai Ketua Majelis tinggi PD.
Dengan tampilan yang kalem namun mendidih menahan geram yang terpendam,
membeberkan sejumlah butir yang termaktub dalam AD/ART Partai Demokrat, untuk
menguatkan bukti kepada publik bahwa KLB Partai Demokrat versi Moeldoko,
cacat hukum dan liar. SBY pun mengungkapkan penyesalannya yang telah memberi
kepercayaan kepada Moeldoko untuk menjabat sebagai Panglima TNI semasa
dirinya menjabat sebagai Presiden. Penyesalan SBY ini terdengar memilukan dan
sangat melo saat dirinya meminta maaf kepada rakyat pendukungnya dan juga
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesalahan dirinya memberi kepercayaan
kepada Moeldoko sebagai Panglima TNI. Kepada publik SBY ingin menyampaikan
betapa seorang Moeldoko adalah manusia tanpa rasa terima kasih dan tega
menusuk mantan bos yang juga seniornya di Angkatan Darat, tanpa rasa bersalah
sedikit pun. Tapi yang menguntungkan Moeldoko, publik politik justru teringat
kembali bagaimana Megawati melontarkan hal yang sama, rasa sakit ditusuk dari
belakang oleh SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam-nya. Di sisi lain, dengan cara yang sangat
politis dan santun, berkali SBY menyatakan keyakinannya bahwa Jokowi tak
mungkin mau mendukung perbuatan tak terpuji ini. Namun lewat penegasan SBY
bahwa sampai saat ini Moeldoko masih menjabat sebagai Kastaf Presiden Jokowi,
maka secara tidak langsung meyakini bahwa Jokowi mengetahui semua ini. Logika
politik dan dari sisi budaya kekuasaan ala istana pun, sangat menggiring
munculnya kesimpulan; apa iya orang di sirkel satunya bergerak begitu jauh
memasuki medan pertempuran yang nilai politiknya sangat besar dan sensitif,
Pak Presiden tidak tahu? Masa menghadiri KLB nyelonong begitu saja? Tanpa
minta izin dan restu terlebih dahulu? Tudingan keras bahwa Jokowi berada di balik
manuver politik Moeldoko menggusur AHY ini bukan tanpa alasan dan latar
belakang yang tak jelas. Bagaimana sentilan SBY terhadap kinerja Jokowi yang
sering dilontarkan secara santun, halus, tapi sangat ‘nyelekit’ bagi telinga
orang Solo, menjadi juga alasan yang memperkuat. Karena sebagai orang Solo
yang juga santun, tidak mungkin meladeni sentilan SBY ini dengan melakukan
‘head on’, saling berhadapan secara terbuka. Maka membiarkan Moeldoko
melakukan manuver politik yang membuat SBY terhenyak karena ditelikung mantan
anak buahnya, bukan tidak mungkin merupakan pesan terselubung dari Jokowi
menjawab nyinyiran SBY selama ini. Setidaknya nyinyiran SBY dijawab dengan
langkah yang menyudahi predikat SBY sebagai sang pakar ahli strategis politik
paling handal. Walau tudingan begitu kuat mengarah ke Pak
Presiden, secara pribadi bagi saya tudingan ini masih menyisakan pertanyaan;
Moeldoko ini didorong dan didukung penuh, atau justru malah dijongkrongke?
Bisa jadi membiarkan KLB Partai Demokrat ini merupakan langkah politik Jokowi
yang dikenal dengan istilah ‘sekali mendayung, dua pulau terlewatkan’.
Pertama; langkah memperingatkan dan menegur SBY dengan melempar batu tepat
mengenai sasaran dengan sembunyi tangan. Dengan demikian posisi bargaining
diri Jokowi sebagai pemain di arena ‘Power Play’, berada di atas angin.
Karena di tangannyalah keputusan akhir permainan ini harus bagaimana, kapan,
dan di mana harus berhenti. Manuver ini bisa jadi untuk lebih memperlebar
ruang yang makin memperokoh posisi politiknya sebagai the King Maker pada
‘power play’ di 2024 nanti. Pada sisi lain, bisa saja dibaca terbalik.
Jangan-jangan ini salah satu cara ala Jokowi putra Solo yang secara
terselubung mewujudkan niatnya untuk secara cerdik mengganti posisi Kepala
Staff Presiden dengan orang lain yang dianggap lebih menguatkan posisi
politiknya pada permainan power play di 2024 nanti. Mengganti begitu saja
sangat berat bagi Jokowi yang telah merasakan betapa Moeldoko selama ini
setia mendampinginya. Ia pun telah secara all out turut berkeringat
memperjuangkan Jokowi kembali berkuasa lewat kemenangan kubu Jokowi- Ma’ruf
Amin pada Pilpres 2019-2024 yang lalu. Kesempatan emas datang ketika diketahui
bahwa Moeldoko mau dan berniat masuk ke permaianan politik pada 2024 nanti.
Maka didoronglah Moeldoko secara tersembunyi, tertata rapih, dan berhasil
menggusur AHY lewat KLB Partai Demokjrat 2021. Pasalnya, apa iya Jokowi tak
paham undang-undang dan aturan main di setiap partai? Tentunya sangat naif
bila mengatakan bahwa Pak Jokowi tidak memahaminya. Beliau sangat paham dan
sangat tahu. Itulah sebabnya wajar bila muncul pertanyaan; Moeldoko didorong,
terus didukung secara intens, atau malah dijongkrongke? Untuk jawabannya bisa dibaca lewat
bagaimana selanjutnya sikap Jokowi dalam proses politik penetapan Partai
Demokrat versi mana yang paling berhak secara hukum, baik melalui penetapan
SK Menteri Hukum dan HAM, maupun lewat penetapan pengadilan. Bila Jokowi
dengan santai mengatakan bahwa dirinya sebagai presiden tak akan mencampuri
urusan internal partai, dan menyerahkan sepenuhnya kepada departemen terkait
dan lembaga pengadilan, maka tinggal selangkah lagi kepastian jawaban sempurna
akan terpenuhi. Bahwasanya Jokowi akan menyatakan hal
tersebut, sudah dapat dipastikan. Tapi apakah benar-benar ia lakukan hal
tersebut? Atau, di belakang layar justru bermanuver politik menempatkan
dirinya sebagai pengarah dan penentu keputusan politik sehubungan dengan
penentuan Partai Demokrat versi mana yang harus dimenangkan. Seperti yang
dilakukan Pak Harto terhadap Suryadi Ketua Umum PDI pro Orde Baru yang selalu
didukung dan difasilitasi untuk melawan kubu Megawati, Ketua Umum PDI
Perjuangan. Pak Harto memberikan dukungan penuh kepada Suryadi, tidak untuk
digusur dari sirkel politiknya, tapi digunakan untuk menghancurkan kubu
Megawati yang tidak disukainya. Nah dalam konteks Moeldoko, akankah Jokowi
all out memberi ‘backing-an’ agar Moeldoko hadir dan menjadi sah sebagai
Ketua Umum Partai Demokrat yang terlegitimasi secara hukum positif yang
berlaku? Atau sebaliknya, justru cuci tangan dan malah mempersilahkan
Moeldoko untuk meninggalkan post-nya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, dengan
alasan untuk memperlancar proses hukum atas dirinya sehubungan posisinya
sebagai Ketua Umum baru Partai Demokrat yang bakal disibukkan dengan urusan
gugat menggugat. Apa pun yang akan terjadi, satu hal yang
pasti rakyat bangsa ini merindukan pendidikan politik yang sehat,
bermartabat, dan yang mencerahkan. Di luar hingar bingar seputar
urusan perebutan kekuasaan di Partai Demokrat; ada satu catatan penting
tentang tata nilai dalam lembar kebudayaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahwa ketidaksukaan terhadap bangunan politik dinasti sudah mulai
termanivestasikan dalam bentuk gerakan politik perlawanan. Ini sebuah
peringatan yang perlu didengar oleh para tokoh penguasa dan para tokoh
pemilik partai di negeri ini! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar