Menjaga
Keselarasan Hidup Bersama yang Berkelanjutan Argo Twikromo ; Pengajar di Universitas Atama Jaya, Yogyakarta; Antropolog;
dan Peneliti Mindset Institute |
KOMPAS,
14 Maret
2021
Dinamika kehidupan terus berkembang menjadi
semakin beragam dan kompleks. Berbagai komponen kehidupan selalu bergerak
tergantung dari konteks tempat, ruang, dan waktu. Kehidupan global memang membuka ruang
eksploitasi dengan kehadiran kompetisi atau persaingan yang mensyaratkan
gerak cepat, individual, instan, dan orientasi pada wujud nyata dalam
meraihnya. Perkembangan ini telah memberikan ruang
semakin lebar bagi pergerakan setiap individu atau kelompok dalam mewujudkan
pencapaian hidupnya sendiri. Kebersamaan menjadi semakin sempit dan
terkotak-kotak. Setiap komponen kehidupan melepaskan rajutan eratnya dari
komponen lain yang pada hakikatnya saling mendukung kehidupan bersama. Dalam konteks ini, rajutan relasi selaras
antarkomponen yang dapat mewujudkan ekosistem kehidupan harmonis secara
holistik relatif menjadi terpinggirkan. Terlebih ketika tata kelola kehidupan
bukan lagi bersumber pada konteks sosial-budaya bangsa sendiri. Landasan kebijaksanaan bangsa (local
wisdom) dalam pengelolaan kehidupan bersama yang telah diwariskan oleh
leluhur bangsa ini relatif menjadi asing bagi kehidupan generasi saat ini. Sesungguhnya keselarasan kehidupan menjadi
suatu keniscayaan yang mengutamakan relasi selaras antarkomponen kehidupan.
Keterpaduan relasi menjadi terputus manakala upaya mewujudkan suatu kehidupan
bersama yang saling membutuhkan dan menghargai secara berkelanjutan
terpinggirkan oleh kehadiran kompetisi atau persaingan. Pergeseran
relasi selaras Tata kelola kehidupan bersama yang lebih
mengedepankan relasi selaras antara manusia dan sesama, dengan alam, dengan
Sang Pencipta, dan bahkan antarketiganya telah diwariskan oleh leluhur bangsa
ini. Koridor utama kehidupan selaras menjadi
tata kelola dinamika internal ataupun perjumpaan dengan warna kehidupan lain
secara eksternal. Berbagai perjumpaan, pergumulan, dan pergulatan dalam
kehidupan relatif diberi koridor keselarasan. Relasi selaras secara holistik ini telah
membuka ruang kesadaran untuk saling memahami, menghargai, menghormati,
menjaga, berbagi, melengkapi, menopang, dan bekerja sama dalam kehidupan
bersama. Tata kelola kehidupan semacam ini tanpa
disadari justru berorientasi pada kehidupan jauh ke depan atau jangka
panjang. Bahkan, mempunyai berbagai turunan padu serasi dalam segala aspek
kehidupan yang ikut menopang atau bermuara pada perwujudan kehidupan harmonis
secara lebih luas. Keselarasan relasi kehidupan bersama lebih
diutamakan ketika manusia relatif bergantung secara langsung pada alam yang
disediakan oleh Sang Pencipta. Keberadaan manusia, alam, dan Sang Pencipta
menjadi rajutan secara holistik dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dan yang lainnya. Berbagai turunan relasi selaras
terinternalisasi di hampir segala lini kehidupan dalam wujud narasi, tari,
kepercayaan, simbol, personifikasi leluhur, mitos, serta segala bentuk sikap
dan perilaku yang dalam logika berpikir saat ini justru sering kali dianggap
irasional. Namun, ketika terajut secara holistik justru mengandung nuansa
keselarasan kehidupan bersama. Dinamika kehidupan pada masa lampau telah
memberikan ruang bagi para penguasa untuk ikut andil dalam menata dan
mengelola kehidupan ini. Para penguasa sering mengisyaratkan sebagai
perwakilan Sang Pencipta—atau apa pun terminologinya—yang berada di dunia
ini. Berbagai tafsir dapat diberikan dalam konteks pemikiran saat ini,
seperti legitimasi politik dan kekuasaan. Akan tetapi, terlepas dari penafsiran
tersebut, isyarat itu juga bisa ditafsirkan bahwa personifikasi kekuasaan di
dunia diupayakan agar mengarah dan lekat dengan kebijaksanaan atau hakikat
kekuasaan Sang Pencipta. Walaupun harus dipahami tetap terkandung legitimasi
lain dalam konteks kekuasaan masa lampau. Berbagai kepentingan sering kali
ikut menggerogoti tata kelola kehidupan selaras yang ingin diwujudkan. Perkembangan kehidupan modern ataupun
global telah memberikan tawaran dan alternatif pengelolaan yang jauh berbeda.
Manusia cenderung tampil sebagai pengelola utama dalam kehidupan. Kompetisi mensyaratkan gerak cepat,
individual, dan orientasi pada wujud nyata dalam meraihnya. Ruang eksploitasi
semakin lebar, baik antara manusia dan sesama, dengan alam, maupun dalam
konteks-konteks tertentu dengan memanfaatkan payung legitimasi Sang Pencipta. Persahabatan, kedekatan, dan kebersamaan
antara manusia dan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta dalam
kehidupan relatif terkonstruksi dalam sekat-sekat perbedaan relatif tajam. Setiap komponen kehidupan cenderung secara
individu ataupun kelompok berjalan secara sendiri-sendiri dan sering kali
menafikan keberadaan sesama dan alam yang dianggap kurang memberikan
kontribusi secara langsung dalam kehidupan bersama. Alam cenderung dieksploitasi secara kurang
selaras demi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Keberadaan manusia
terkonstruksi melalui sekat-sekat dengan sesama sehingga kebersamaan hidup di
dunia ini menjadi relatif kerdil dalam ranah individu ataupun kelompok. Berbagai upaya untuk memperkuat posisi
kelompok di hadapan kelompok lain yang berbeda sekat terkadang muncul melalui
eksploitasi atas nama Sang Pencipta sebagai landasan pembenaran. Dalam konteks ini, relasi selaras antara
manusia dan sesama, dengan alam, dengan Sang pencipta, dan bahkan
antarketiganya menjadi tersekat-sekat dan kurang holistik lagi. Persemaian
kesadaran Beragam alternatif tata kelola kehidupan
dalam mencapai tingkat kehidupan tertentu sesuai dengan prinsip dan
perspektif capaian hidup masing-masing relatif dominan dalam perkembangan
kehidupan saat ini. Ketimpangan terjadi di sana-sini karena
masing-masing berkompetisi secara instan agar dapat meraih tingkat kehidupan
yang ingin dicapainya. Koridor keselarasan kehidupan bersama relatif kurang
dominan sebagai pertimbangan utama. Dinamika kehidupan lebih mengedepankan
capaian tingkat kehidupan secara individual ataupun kelompok sebagai turunan
atau prasyarat yang lebih dapat menopang kompetisi atau persaingan. Dalam konteks ini, keselarasan kehidupan
bersama (secara holistik) menjadi relatif kurang terinternalisasi dalam hati
sanubari bangsa ini. Bahkan, kurang menjadi kebanggaan atas karakter
kebijaksanaan yang bersumber dari konteks sosial-budaya bangsa sendiri. Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan
kehidupan dominan dengan prasyarat gerak cepat, individual, instan, dan
orientasi pada wujud nyata dalam meraihnya telah menggeser pertautan
kehidupan selaras. Penghayatan atas orientasi kehidupan jangka
panjang ataupun pengutamaan relasi selaras antara manusia dan sesama dengan
ruang hidup yang lain kurang memperoleh ruang yang memadai. Berbagai kemajuan kehidupan memang harus
diakui capaiannya. Namun, di sana-sini masih tetap menyisakan ketimpangan,
ketidakmerataan, ketergantungan, dan pemarjinalan. Kondisi ini justru dapat
menggugah kesadaran atas tata kelola keselarasan kehidupan bersama dan
kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Persemaian kesadaran dapat menjadi pijakan
dalam merengkuh pengutamaan keselarasan sebagai tata kelola kehidupan
bersama. Ruang padu serasi perlu dibuka agar dapat bersanding, bersilang
sosial-budaya, bertautan, dan bertransformasi dalam konteks kehidupan saat
ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar