Memetakan
Tantangan Perempuan dan Peluang Bonus Demografi Lies Marcoes ; Peneliti Rumah Kita Bersama |
KOMPAS,
08 Maret
2021
Women’s Day atau Hari Perempuan
Internasional tahun ini adalah ”Choose to Challenge”. Secara bebas ini bisa
diartikan ”berani menantang”. Ibarat pit stop untuk pelari maraton, bagi
perempuan ini adalah momentum untuk sejenak berhenti dan memetakan
kekuatannya dalam menghadapi tantangan masa depan. Secara konsisten, setidaknya ada tiga
masalah yang terus muncul sebagai tantangan belakangan ini: peluang bonus
demografi, dampak perubahan sosial ekonomi pada relasi jender, serta
menguatnya konservativisme budaya dan agama. Ketiga isu ini sangat relevan
dilihat dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Perempuan
dan bonus demografi Bonus demografi bagi perempuan bisa menjadi
peluang. Badan Kependudukan Dunia dan Bappenas telah menghitung bahwa dalam
10 tahun ke depan dan dalam jangka 10 tahun itu (2030-2040) Indonesia akan
kelimpahan panen secara demografi. Ini karena jumlah penduduk usia produktif
akan mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang separuhnya perempuan.
Namun, panen ini hanya bisa dipetik jika kualitas SDM naik. Covid-19 yang selama satu tahun menghantam
dunia, berdampak besar pada proses-proses peningkatan SDM, tak terkecuali di
Indonesia. Di lapangan, kita berhadapan dengan soal-soal mendasar untuk
capaian pembangunan: angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka
partisipasi pendidikan anak perempuan dan partisipasi ekonomi. Ada kemajuan
dalam bidang-bidang itu, tetapi cenderung stagnan. Apalagi setelah dihantam
Covid-19. Demikian juga dalam upaya penurunan angka
kawin anak. Padahal, kawin anak punya implikasi lanjutan pada angka putus
sekolah dan akhirnya berdampak terhadap kualitas SDM. Data Badan PBB untuk
Anak-anak (Unicef) menunjukkan, satu dari delapan anak perempuan masuk ke
perangkap kawin anak. Upaya politik menaikkan usia kawin melalui perubahan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 19, untuk sementara, malah menaikkan
angka dispensasi nikah. Walhasil, bonus demografi secara nyata
berhadapan dengan kesenjangan yang tajam antarwilayah. Pengaruhnya tidak
hanya pada kesenjangan capaian Indeks Pembangunan Manusia, tetapi juga pada
peluang bonus demografi itu. Ini contoh kesenjangan dimaksud. Mutiara
Anissa MSc adalah perempuan milenial Indonesia ahli biologi molekuler lulusan
universitas ternama di London. Dengan memanfaatkan teknologi canggih di
bidang komunikasi dan kemampuan bahasa Inggris yang prima, ia fasih
menyuarakan secara akademis isu pandemi dan kanker, bidang yang ditekuninya.
Ia mengelola pandemic talks melalui ragam platform media sosial sehingga awam
pun bisa paham. Ia kerap menjadi satu-satunya perempuan pembicara
paling muda dalam forum ”bapak-bapak” yang ahli dalam isu Covid-19 ini.
Bersama sejumlah perempuan seusianya yang menekui bidang sains, ia menjadi
aset penting bagi masa depan bio-medical scientist untuk menyongsong bonus
demografi dalam 10 tahun mendatang. Dalam konteks bonus demografi, sosok
Mutiara benar-benar menjadi mutiara untuk peluang demografi di negeri ini. Ia
berani menerima tantangan dunia sebagai ahli dalam ilmu yang masih langka
ini. Ia mendapat pendidikan terbaik sesuai pilihan dan minatnya melalui jalur
beasiswa yang disediakan pemerintah. Ia segera mendapat pekerjaan yang sesuai
dengan minat dan kebutuhan di dalam negeri tatkala Covid-19 menghantam dunia
kesehatan. Selain itu, tersedia juga lapangan
pekerjaan yang diciptakan pihak swasta dan universitas yang peduli dan paham
perlunya teknologi kedokteran di masa depan. Dan tak kalah penting, secara
kultural ia tumbuh dalam keluarga yang tak membatasi pilihan-pilihan
berdasarkan prasangka jendernya sebagai perempuan. Namun, di sudut negeri ini, penelitian
Rumah Kitab melaporkan kisah Nisa yang lain yang ditemui di Lombok Utara atau
Madura. Kisah serupa juga dikonfirmasi oleh Misiyah, peneliti KAPAL Perempuan
di Lombok Timur. Nisa, seperti banyak dialami perempuan muda dari kampungnya,
ditinggal merantau oleh ibunya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ayahnya,
atau lelaki seperti ayah Nisa, memilih kawin lagi karena secara kultural
lelaki perlu ada yang mengurus. Sementara adat budaya tak dapat mencegah
praktik kawin lari atau kawin siri. Padahal, orang dewasa paham, begitu anak
perempuan yang belum lagi khatam sekolah itu dikawinkan, maka bagi bonus
demografi mereka bukan lagi sebagai penyumbang, melainkan penghambat peluang
demografi. Daya saing seperti apa yang dapat diandalkan dari SDM yang tak
mendapatkan capaian pendidikan optimal? Jurang sosial, politik, dan ekonomi di
antara dua kelompok perempuan muda di berbagai wilayah di negeri ini begitu
curam. Dan saya tak percaya ini adalah takdirnya. Dari potensi sumber daya
ekonomi, NTB merupakan penghasil padi sekaligus potensi wisata yang
menjanjikan. Ini tak beda dengan Papua, Kalimantan, dan
Provinsi Aceh yang menjadi penyumbang ekonomi paling penting bagi pundi-pundi
negeri ini. Namun, perbedaan akses dan kerumitan-kerumitan sosial politik
yang menyertainya tak dengan segera dapat mengatasi kesenjangan
antarperempuan di berbagai wilayah di negeri ini. Gerakan
perempuan dan relasi jender Problem yang dihadapi Nisa dari NTB adalah
hilangnya peluang pendidikan dan ekonomi karena dihadang kemiskinan dan
kebudayaan yang mengunci nilai-nilai relasi jender di ruang sosial budaya
yang semakin konservatif dan regresif. Relasi jender dalam masyarakat dibiarkan
dan bahkan dikukuhkan menjadi relasi yang semakin jenjang, genjang, dan
timpang. Banyak lelaki terus berpegang kepada nilai-nilai kolot demi
mempertahankan dominasi atas perempuan. Jika perlu, dilakukan atas nama nilai-nilai
agama yang pantang berubah. Ketika perempuan menerima tantangan untuk masuk
ke pasar tenaga kerja yang telah terbuka lebar berkat globalisasi ekonomi, di
dalam rumah, lelaki dan budaya patriarki tak kunjung siap berubah. Akibatnya, perempuan dan anak perempuan
harus menanggung beban lebih besar atas perubahan-perubahan sosial ekonomi
yang telah menciptakan peluang ekonomi yang besar itu. Ternyata terbukanya peluang tidak dengan
sendirinya melahirkan akselerasi kebudayaan yang dapat menopang perubahan
akses dan partisipasi perempuan dalam meraih manfaat seoptimal mungkin dari
bonus demografi ini. Jika menengok sejarah gerakan perempuan di
mana pun di dunia, sesungguhnya perubahan-perubahan besar ke arah kehidupan
yang lebih adil dan demokratis kerap dipicu oleh perubahan relasi jender di
ruang publik. Perubahan itu biasanya digagas perempuan
dengan menantang hambatan yang mereka hadapi. Kartini, misalnya, ia menantang
kaum feodal patriark sekaligus kebijakan kolonial dengan menuntut agar anak
perempuan mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Sejarah Hari Perempuan Internasional atau
IWD sendiri tak lepas dari keberanian perempuan menantang praktik-praktik
penindasan perempuan di ruang publik. Mereka menuntut persamaan hak pekerja,
upah, dan hak mendapatkan wakil mereka di parlemen, tempat nasib kaum
pekerja, termasuk mereka, diperbincangkan. Tentu saja manfaat dari keberanian mereka
tak dinikmati sendiri. Anak-anak milenial yang lahir dari ibu yang merdeka
cenderung menjadi lebih mandiri dan tak takut tantangan. Di era kekinian, misalnya, kita menyaksikan
keberanian Malala menantang kaum pemuja kekuasaan atas nama Tuhan. Atau
keberanian Greta Thunberg yang menuntut tanggung jawab dan kesadaran para
pebisnis untuk menghentikan pemanasan global lewat usaha-usaha sadar
lingkungan. Begitu juga dengan Amanda Gorman, pegiat seni, yang dengan
puisinya mengajak rakyat Amerika kembali kepada esensi demokrasi: Amerika
untuk semua. Namun, dalam waktu yang sama, sejarah
menyaksikan arus balik bagi keberanian perempuan melawan kebekuan dan
kebuntuan itu. Kebudayaan patriarki secara tekun dan mengendap-endap
menciptakan gerak yang sebaliknya. Ketika para patriark gugup dan gagap
menyaksikan globalisasi yang memberi peluang dan kemerdekaan kepada perempuan
untuk maju, mereka meminjam kekuatan agama untuk menghentikannya melalui
kontrol atas tubuh dan eksistensi perempuan. Padahal, bagi banyak perempuan,
penggunaan mantra agama dalam mengukuhkan dominasi konservativisme, cukup
ampuh melumpuhkan kesadaran kritis mereka. Sebagai titik pemberhentian sementara dalam
memanfaatkan peluang demografi di negeri ini, Hari Perempuan Internasional
semestinya menjadi momentum penting untuk membaca ulang dan menjawab
persoalan yang dihadapi perempuan di masa depan. Kita harus berani menerima
tantangan mereka untuk berubah demi sejarah peradaban yang lebih pantas untuk
diingat dan dirayakan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar