SKB
Seragam Sekolah : Membebaskan,
tapi Tak Realistis Reza Indragiri Amriel ; Anggota Persatuan Guru Republik
Indonesia; tulisan ini pandangan pribadi |
DETIKNEWS,
16 Februari
2021
Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbud,
Mendagri, dan Menag memuat ketentuan tentang penggunaan seragam dan atribut
di lingkungan pendidikan dasar dan menengah. Terkait SKB 3 Menteri itu,
tampaknya ada beberapa persoalan utamanya terkait diktum kesatu, kedua, dan
ketiga. Pada diktum kesatu dan kedua, peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih untuk mengenakan
pakaian seragam dan seragam tanpa maupun dengan kekhasan agama tertentu.
Diktum kedua mempertegas diktum kesatu: memberikan kebebasan kepada ketiga
subjek tersebut. Diktum ketiga, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh
mewajibkan memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan
pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu. Kritik deras tertuju ke SKB 3 Menteri
tersebut. Kalangan yang menentang memandang bahwa SKB tersebut tidak
mendukung pendidikan agama bagi peserta didik. Saya sendiri melihat bahwa
masalah pada SKB tidak terlepas dari rumusan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Pasal
dimaksud mencantumkan kata "kemerdekaan", bukan
"kewajiban". Selengkapnya, pasal 29 ayat 2 berbunyi,
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu." Diksi "kemerdekaan" pada pasal tersebut memberikan ruang
kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Sampai di situ, "kemerdekaan"
mengandung nilai bijak yang tak terbantahkan. Indah sekali. Tapi jika
ditelaah secara lebih mendalam, kata "kemerdekaan" justru
berpotensi mendatangkan kompleksitas jika diterapkan secara pukul rata pada
segala usia. Yakni, apabila ditafsirkan secara semena-mena, kata
"kemerdekaan" bisa menyediakan jaminan perlindungan kepada peserta
didik tingkat dasar dan menengah bahwa mereka bisa berperilaku sekehendak
mereka sendiri. Peserta didik, berlandaskan pada kata
"kemerdekaan", seolah memiliki justifikasi untuk mengenakan busana
yang tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing. Spesifik,
siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab. Guna menutup celah bagi interpretasi
menyimpang itu, perlu kiranya dilakukan perumusan ulang atas Pasal 29 ayat 2
UUD. Alternatif lain, perlu diberikan penjelasan terhadap kata
"kemerdekaan", yaitu seberapa jauh penerapan kemerdekaan itu pada
peserta didik yang notabene masih berusia anak-anak. Ketika UUD menggunakan kata
"kemerdekaan", kesan liberalisasi terhadap perilaku peserta didik
semakin kuat karena SKB 3 Menteri dimaksud memuat frasa "memberikan
kebebasan kepada peserta didik." Meski terkesan indah, namun frasa
tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak-anak
diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat
keputusannya sendiri. UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Namun pada saat yang sama
tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau
dipenuhinya pendapat anak tersebut. Konstruksi pasal sedemikian rupa dalam UU
Perlindungan Anak memperlihatkan bahwa setelah diperhatikan dengan seksama,
pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu dilakukan secara
bertanggung jawab, yaitu semata-mata demi mendukung terealisasinya
kepentingan terbaik anak. Siapa pun bisa mengesampingkan kehendak anak
sepanjang, sekali lagi, pengesampingan itu justru menciptakan situasi yang
lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak. Terus-menerus memenuhi setiap pendapat atau
kehendak anak bukanlah bentuk pengasuhan atau pendidikan yang realistis.
Perlakuan sedemikian rupa justru tidak ramah anak, yaitu tidak mendukung
proses tumbuh kembang anak secara optimal. Termasuk pematangan moral
spiritual anak sebagai dimensi perkembangan yang bersangkut paut dengan
nilai-nilai kebenaran. Dari situ bisa dibayangkan sebuah
ilustrasi. Ketika seorang anak menyatakan bahwa ia menolak mengenakan busana
yang sesungguhnya diwajibkan oleh kaidah agamanya, SKB dapat dipakai anak itu
untuk mendukung sikapnya. Jika pilihan anak tersebut dipenuhi, maka itu
justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan
pendidikan nasional yaitu menjadikannya sebagai manusia beriman, bertakwa,
dan berakhlak mulia. Sebaliknya, ketika sikap peserta didik
tersebut ditentang dan ia diwajibkan untuk menjalankan kewajiban berbusana
sesuai ketentuan agamanya, maka perlakuan seperti itu justru akan lebih
memungkinkan terealisasinya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Dengan kata lain, tetap mewajibkan
peserta didik berbusana sesuai kewajiban agamanya, betapa pun bertentangan
dengan pendapat atau kehendak anak, senyatanya lebih mendukung terpenuhinya
kepentingan terbaik anak. Pemahaman akan dinamika psikologis anak dan
konstruksi pasal dalam UU Perlindungan Anak, dengan demikian, memberikan
pembenaran kepada semua pihak --termasuk pemerintah daerah dan pihak
sekolah-- untuk mewajibkan peserta didik berbusana sesuai ketentuan agamanya
masing-masing. Syaratnya, kewajiban itu ditegakkan sebagai salah satu
pendekatan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan, sekali lagi, menjadikan
peserta didik sebagai insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Diadakannya kewajiban berbusana sesuai
tuntunan agama masing-masing, yang disertai dengan ancaman sanksi bagi
peserta didik yang melanggarnya, asalkan bersifat edukatif, tidak bisa
serta-merta dipandang sebagai bentuk pelanggaran sekolah atau guru terhadap
UU maupun UUD. Tidak pula tepat dianggap sebagai perampasan terhadap
kemerdekaan atau kebebasan anak. Begitu pula sebaliknya, ketika peserta
didik dibiarkan memakai pakaian yang tidak selaras dengan aturan agamanya,
siapa pun yang melakukan pembiaran itu tidak patut berlindung dibalik kata
kemerdekaan dan mendalihkannya sebagai bentuk kebebasan bagi peserta didik.
Alih-alih, tindakan sedemikian rupa justu boleh jadi mencerminkan
ketidakpedulian terhadap satu sisi penting dalam kehidupan peserta didik. Akhirnya, dapat dikatakan, frasa
"memberikan kebebasan kepada peserta didik" dalam SKB 3 Menteri
berisiko menjerumuskan para peserta didik jenjang dasar dan menengah dalam
pembuatan keputusan yang justru menjauhkan diri mereka dari terpenuhinya
tujuan pendidikan nasional dan terealisasinya kepentingan terbaik anak-anak
itu sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar