Seragam
Sekolah dan Pendidikan Karakter Sutrisno ; Pendidik, Alumnus Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta |
KOMPAS,
19 Februari
2021
Tiga menteri menerbitkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) mengenai seragam sekolah. SKB itu disahkan pada Rabu (3/2/2021)
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri
Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. SKB itu mengatur penggunaan pakaian seragam
dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di
lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (pemda) pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam keputusan tersebut, pemda dan
sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan
kekhususan agama. Menurut Mendikbud Nadiem Makarim, SKB itu
dibuat berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pertimbangan tersebut, yakni
sekolah berfungsi untuk membangun wawasan sikap dan karakter peserta didik
dan memelihara persatuan bangsa. Seragam yang digunakan di sekolah adalah
salah satu perwujudan dari toleransi beragama. Sejumlah tokoh organisasi besar menilai
penerbitan SKB tiga menteri sudah tepat untuk menjaga keberagaman dan tidak
perlu dibesar-besarkan. Substansi dalam SKB tiga menteri tidak ada kaitannya
dengan ideologi sekularisme dan liberalisme. Kita menyambut baik dengan terbitnya SKB
tersebut supaya rasa kebangsaan dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an tumbuh
berkembang dari dalam diri siswa, khususnya di sekolah. Sekolah merupakan
wahana tepat dalam pembentukan karakter dan nasionalisme siswa. Kedua hal ini
adalah hal terpenting dalam pembangunan sumber daya manusia. Apabila anak didik memiliki karakter dan
nasionalisme yang baik, kita berharap bangsa ini akan lebih mampu melangkah
lebih maju ke depannya. SKB di atas selaras dengan UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan tujuan pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik
dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif,
demokratis, dan bertanggung jawab. Lahirnya SKB seragam sekolah beratribut
agama tak lepas dari kejadian pemaksaan yang terjadi di sebuah sekolah
menengah kejuruan di Padang, Sumatera Barat. Puluhan siswi di sekolah
tersebut dipaksa memakai jilbab, yang bukan atas dasar keyakinan dirinya,
tetapi paksaan salah seorang pimpinan sekolah setempat. Padahal, siswi di
situ banyak yang nonmuslim. Sebelum terbitnya SKB pakaian seragam,
Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 telah mengatur bahwa jilbab dipakai karena
keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah
ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian. Berdasarkan aturan ini, seragam sekolah
bertujuan menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme, kebersamaan, serta
memperkuat persaudaraan sehingga dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan
persatuan di kalangan peserta didik. Meningkatkan rasa kesetaraan tanpa
memandang kesenjangan sosial ekonomi orangtua/wali peserta didik. Hemat saya, mengharuskan atau melarang
memakai seragam atribut agama tertentu sama tidak baiknya. Aturan sekolah
seharusnya berpijak pada penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan
menjunjung nilai-nilai kebangsaan. Ingat, institusi pendidikan merupakan
faktor penting guna menanamkan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kebangsaan,
maka harus bersifat inklusif serta mengakomodasi perbedaan kepercayaan,
keyakinan (agama) dan nilai-nilai dari setiap perserta didik. Pendidikan
sibernetik Pemaksaan jilbab hanya akan mematikan
bibit-bibit nasionalisme pada peserta didik. Oleh karena itu, mengutip Ardhie
Raditya (2021), diperlukan pendidikan sibernetik. Pendidikan sibernetik
mengutamakan bukan hanya transfer pengetahuan dan transmisi nilai-nilai
peradaban. Menurut Scott (2001), sibernetik galibnya
bermuara pada tiga hal utama: interdisipliner, transdisipliner, dan
kegunaannya pada sistem sosial. Artinya, institusi pendidikan, baik formal,
informal, maupun nonformal, harus belajar memproses informasi. Dari informasi
ini diolah dengan cara saling terbuka, ramah, dan menyenangkan. Yang terpenting, siswa juga punya kesadaran
bahwa berseragam sekolah bukan sekadar mengikuti aturan sekolah melainkan
bagaimana dengan berseragam sekolah dapat menumbuhkan kebiasaan baik,
disiplin, kesetaraan, nilai moral, dan jiwa kebangsaan. Berseragam sekolah
juga memerlukan peran keluarga dalam proses pembentukan karakter baik sedini
mungkin. Keluarga harus menjadi lembaga pertama dan
utama dalam memberikan pemahaman yang benar seputar pakaian seragam. Hal ini
bertujuan supaya keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang ”utuh”
dan ”paripurna”, menjadi pribadi yang berkarakter jujur, peduli, dan
responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Dalam menyelenggarakan pengajaran kepada
rakyat, Ki Hajar Dewantara menganjurkan agar kita tetap memperhatikan ilmu
jiwa, ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan, ilmu estetika, dan
menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun karakter. Seragam sekolah menjadikan sekolah sebagai
taman untuk menumbuhkan karakter-karakter positif bagi peserta didik.
Tumbuhnya budi pekerti dari siswa bisa menjadi modal besar dan pilar dalam
pembentukan karakter genarasi bangsa yang berkualitas dan tidak melupakan
nilai-nilai moral-sosial. Kita berharap, setelah terbitnya SKB tiga
menteri ini potensi pemaksaan atribut agama yang dilakukan sekolah terhadap
siswa sudah tidak terjadi lagi. Begitu pun orang tua, guru, dan tenaga
kependidikan berhak memilih penggunaan seragam. SKB ini perlu dilaksanakan
dengan tetap memperhatikan karakter sekolah, budaya daerah, dan keyakinan
masing-masing siswa. SKB ini juga menuntut adanya dukungan yang
kondusif dari pranata sosial, agama, dan budaya bangsa. Mari wujudkan bangsa
yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas kita selama ini
melalui penumbuhan budi pekerti dan toleransi kepada siswa sejak dini melalui
seragam sekolah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar