Anak
Perempuan Korban Pernikahan Dini Bagong Suyanto ; Dekan dan Guru Besar FISIP
Universitas Airlangga |
KOMPAS,
18 Februari
2021
Melindungi anak perempuan agar tidak
menjadi korban praktik pernikahan dini bukan hal yang mudah. Meskipun Indonesia
telah memiliki Undang-Undang No. 16/ 2019 yang mengatur batas usia perkawinan
minimal 19 tahun, ternyata penerapannya masih menghadapi berbagai tantangan. Aisha Weddings adalah salah satu situs yang
justru mendukung pernikahan dini anak perempuan. Situs ini memicu
kontroversi, karena menawarkan pencarian jodoh bagi anak perempuan, nikah
siri dan memfasilitasi perkawinan poligami. Aisha Weddings melalui laman di
Facebook menawarkan mengorganisasikan perkawinan perempuan berusia 12-21
tahun. Banyak pihak mengecam konten yang diunggah
Aisha Weddings. Organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dengan tegas
menyatakan ajakan anak perempuan menikah di usia 12 tahun yang dilakukan
Aisha Weddings bertentangan dengan undang-undang. Kementerian Pemberdayaan
dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia serta sejumlah
lembaga yang peduli hak anak bahkan melaporkan Aisha Weddings ke polisi. Ajakan dan tawaran Aisha Weddings dinilai
merupakan praktik perdagangan perempuan terselubung. Tawaran mengorganisasi
pernikahan dini adalah bentuk komodifikasi dan mendegradasi martabat
perempuan. Oleh sebab itu, wajar jika bayak pihak geram dan mengecam keras
apa yang diiklankan Aisha Weddings. Dampak Pernikahan dini yang dialami anak-anak
perempuan sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak anak, sekaligus
pengesahan perkawinan tidak wajar yang kerapkali justru menjadi penyebab
munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak (Durgut & Kisa,
2018). Studi yang dilakukan Leeson & Suarez
(2017) menemukan di India anak perempuan kerapkali dipaksa menikah dini
karena kelahiran mereka cenderung tidak dikehendaki, dan karena itu dianggap
sebagai beban yang perlu segera dilepaskan kepada orang lain. Dibandingkan keluarga yang secara ekonomi
mapan, pernikahan dini lebih berpeluang terjadi di kalangan anak-anak
perempuan miskin. Akibat tekanan ekonomi keluarga, dan motif orang tua yang
ingin segera mengalihkan beban pertanggungjawaban anak kepada orang lain
(menantu dan keluarganya), tidak sedikit orang tua dari keluarga miskin yang
memilih menikahkan anak perempuan mereka dalam usia dini. Keluarga yang memiliki banyak anak,
sementara penghasilan sehari-hari yang dimiliki tidak mencukupi, hal itu
kerap menjadi pertimbangan mereka untuk segera menikahkan anak perempuan yang
dianggap bukan sebagai tenaga kerja produktif. Berbeda dengan anak laki-laki yang dianggap
sebagai sumber penghasilan dan tidak membebani keluarga, anak perempuan cepat
atau lambat akan diambil orang lain, sehingga semakin cepat mengeluarkan anak
dari beban keluarga dinilai semakin baik. Banyak anak perempuan di negara berkembang
terpaksa harus menikah pada usia dini, karena mereka hanya memiliki sedikit
pilihan di usia di mana mereka menikah, atau siapa yang mereka nikahi. Tren
pernikahan dini di negara berkembang, pola kejadiannya sangat bervariasi, di
mana sekitar 70 persen terjadi di Asia Selatan hingga yang trennya termasuk
rendah atau sekitar 30 persen sebagaimana terjadi di Asia Tenggara. Di Meksiko, studi yang dilakukan Boyce,
Brouwer, Triplett, Servin, Magis-Rodriguez, dan Silverman (2018) menemukan
anak perempuan berusia di bawah 16 tahun rawan mengalami pernikahan paksa di
usia dini, hamil dan kekerasan seksual. Berbeda dengan cerita romantis tentang
percintaan yang menceritakan bagaimana sepasang kekasih memadu-cinta, dalam
kenyataan anak perempuan yang menikah dalam usia dini harus berhadapan dengan
berbagai masalah yang merugikan dirinya. Hak-haknya sebagi istri kerap tidak
dihargai, dan tidak sekali-dua kali terjadi kasus pernikahan dini yang
kemudian diikuti dengan kasus pernikahan poligami tanpa bisa dilawan oleh
anak perempuan yang menjadi korban pernikahan dini. Hasil kajian Durgut & Kisa (2018)
menemukan di Turki anak yang terlibat dalam pernikahan dini umumnya mengalami
kesulitan dan masalah di masa-masa penyesuaian pernikahan. Dari 246 perempuan
yang menikah pada saat berusia di bawah 18 tahun, ditemukan mereka cenderung
mengalami insiden kekerasan fisik --yang berkorelasi terbalik dengan skor
penyesuaian perkawinan. Anak perempuan yang makin kerap mengalami
insiden kekerasan fisik, mereka umumnya makin lambat menyesuaikan diri dengan
kehidupan pernikahannya. Akibat ketidaksesuaian subkultur dan pertentangan
ego antar pasangan, tidak sedikit anak perempuan yang terlanjur menikah
kemudian menjadi korban tindak kekerasan. Mereka dipaksa beradaptasi dengan gaya
hidup dan kebiasaan keluarga pasangannya –yang belum tentu dapat dengan mudah
mereka lalui. Pada titik di mana perbedaan dan ketidakmampuan beradaptasi
memuncak, maka konflik pun akan pecah dengan kerugian ditanggung pihak
perempuan. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto (2020)
menemukan anak perempuan yang terpaksa menikah dalam usia dini umumnya putus
sekolah atau tidak lagi melanjutkan sekolah. Kesempatan untuk mencapai
jenjang pendidikan tinggi otomatis hilang ketika mereka menikah –dan apalagi
ketika mereka memiliki anak. Kewajiban untuk mengasuh anak dan
mengerjakan tugas-tugas domestik rumah tangga menjadi penyebab anak perempuan
kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Biasanya, karena faktor
budaya dan alasan agama, anak perempuan dinikahkan orang tuanya. Dibandingkan
anak laki-laki, kecenderungan anak perempuan menikah di usia dini lebih
besar. Kalau berbicara idealnya sebetulnya terbuka
kesempatan bagi anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Di Indonesia, beasiswa
ditawarkan agar anak-anak perempuan dapat melanjutkan pendidikan –minimal di
tingkat pendidikan dasar. Tetapi, karena tekanan sosial dan pertimbangan
pragmatis, sering terjadi anak perempuan tidak memiliki banyak pilihan. Kekangan dalam keluarga dan bahkan mungkin
tindakan abuse yang dialami dalam keluarga orang tuanya, tidak jarang
mendorong anak perempuan memilih keluar dari kehidupan lamanya untuk mencoba
kehidupan baru dengan pasangannya. Bagi anak perempuan yang beruntung mereka
memang akan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tetapi, bagi anak
perempuan yang kurang beruntung, bukan tidak mungkin mereka akan masuk dalam
perangkap tindak kekerasan yang lebih kronis dari pasangan dan keluarga
pasangannya. Anak yang menikah dini, menurut Parsons,
Edmeades, Kes, Petroni, Sexton & Wodon (2015) rawan putus sekolah dan
buta huruf, lebih rendah partisipasi dan pendapatan yang diperoleh sebagai
angkatan kerja, dan lebih sedikit kontrol atas aset rumah tangga yang
produktif. Anak perempuan yang melahirkan di usia dini
lebih banyak mengalami proses kelahiran yang berbahaya, sulit, dan rumit, dan
cenderung kurang sehat. Tidak menutup kemungkinan angka kematian anak yang
melahirkan di usia dini juga lebih besar. Akhirnya, akibat dari pernikahan
dini, dampak ekonomi yang timbul dan biaya pernikahan anak yang ditanggung
umumnya besar, dan proses ini kerapkali melahirkan regenerasi kemiskinan yang
tidak berkesudahan. Pada titik yang ekstrem, anak yang menikah
dini dilaporkan ada pula yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri karena tak kuat menanggung beban. Anak yang menikah dini dalam beberapa
hal rawan mengalami tekanan psikologis. Hasil kajian Gage (2013) menemukan di
Amerika Serikat perempuan yang ketika menikah masih anak-anak ternyata 1,41
kali lebih mungkin memiliki riwayat seumur hidup gangguan kejiwaan
dibandingkan dengan perempuan yang menikah di masa dewasa. Berbagai masalah yang dialami anak
perempuan yang terpaksa menikah dini sering diperburuk oleh kerentanan sosial
dan kondisi ekonomi anak-anak yang ujung-ujungnya membuat opsi pilihan
kehidupan anak menjadi terbatas. Bagi anak perempuan yang beruntung meski
menikah dini, mereka mungkin tidak harus menghadapi banyak masalah dalam
pernikahan dengan pasangannya. Tetapi, secara umum anak perempuan yang
menikah dini selalu menjadi korban subordinasi, bahkan tindak kekerasan dari
pasangannya. Studi yang dilakukan Zakar, Zakar &
Nasrullah (2014) menemukan sepertiga perempuan berusia 15-24 tahun di
Indonesia dan Pakistan dilaporkan mengalami dan menjadi korban tindak
kekerasan oleh pasangan mereka. Tindak kekerasan yang dialami anak perempuan
yang menikah dalam usia dini, bisa dalam bentuk verbal abuse, kekerasan
psikologis hingga tindak kekerasan fisik atau KDRT. Masyarakat
Lokal Selama ini berbagai upaya sebetulnya telah
dilakukan untuk mencegah agar anak perempuan tidak menjadi korban pernikahan
dini. Tetapi disadari bahwa mengeliminasi kasus pernikahan dini di masyarakat
bukanlah hal yang mudah. Di Ethiopia, misalnya Boyden, Pankhurst & Tafere
(2012) menyatakan upaya untuk mencegah kasus pernikahan dini sering
menghadapi masalah tatkala pendekatan yang dikembangkan kurang menyapa dan
memperhatikan kultur masyarakat lokal. Pendekatan yang menempatkan masyarakat yang
yang terbiasa menikahkan anak dalam usia dini sebagai masyarakat yang
terbelakang, bodoh, ketinggalan jaman, dan lain sebagainya, justru akan
menyebabkan masyarakat mengalami alienasi dan bahkan menolak anjuran yang
mereka terima karena dinilai bertentangan dengan kultur yang berlaku. Dalam banyak kasus, upaya mencegah
pernikahan dini harus diakui tidak akan berjalan efektif jika hanya
mengandalkan pada regulasi hukum dan ancaman sanksi belaka. Menaikkan batas
minimal usia perempuan menikah menjadi 19 tahun memang akan menjadi dasar
yang kuat untuk mendorong agar usia anak perempuan menikah meningkat. Namun demikian, lebih dari sekadar
menaikkan batas usia perempuan menikah, ada baiknya jika diikuti dengan pendekatan
untuk memperoleh dukungan dari komunitas lokal. Pengalaman telah banyak mengajarkan bahwa
upaya untuk melakukan rekayasa sosial dan mencegah agar para anak perempuan
tidak keliru melangkah, maka yang yang dibutuhkan tak pelak adalah dukungan
dan partisipasi dari para watchdog yang berasal dari masyarakat lokal itu
sendiri. Tanpa adanya komitmen dari warga
masyarakat, dukungan dari komunitas setempat, sulit diharapkan angka kasus
pernikahan dini anak perempuan akan dapat diturunkan secara signifikan. Kehadiran lembaga sosial-keagamaan yang
memiliki komitmen dalam upaya pencegahan pernikahan dini akan banyak
berperan, bahkan cukup signifikan. Tetapi, dalam kenyataan apa yang
diperjuangkan lembaga sosial lokal untuk mencegah pernikahan dini bukan tidak
mungkin akan berhadapan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat. Selain dukungan masyarakat lokal, upaya
untuk mencegah pernikahan dini juga tergantung pada program intervensi yang
digulirkan pemerintah. Menempatkan upaya mencegah kasus pernikahan dini
dengan menempatkan pada program peningkatan kesejahteraan rakyat diharapkan
dapat berdampak lebih signifikan, karena salah sau sumber pernikahan dini
adalah tekanan kebutuhan hidup yang dialami keluarga-keluarga miskin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar