Memperkuat
Relevansi Program Studi untuk Menjawab Tantangan Bangsa Suyoto ; Pemerhati Pendidikan; Mantan Bupati
Bojonegoro Periode 2008-2013 dan 2013-2018; Politisi Partai Nasdem |
KOMPAS,
26 Februari
2021
Sebuah bangsa dan masyarakat akan tumbuh
berkembang bila mampu beradaptasi dan berinovasi dalam setiap
perubahan. Dengan menghadirkan berbagai produk dan jasa baru
dalam sistem dan struktur kehidupan yang berfungsi dengan baik
pula. Untuk inilah pendidikan tinggi
hadir. Dalam buku terbarunya Universities as Engines of wconomic development, making
Knowledge Exchange Work (2020), Edward
Clewley mengungkapkan, studi yang
menyimpulkan bahwa pertumbuhan perguruan tinggi (PT) selalu diiringi dengan
pertumbuhan ekonomi regional. Kontribusi MIT pada PDB Amerika digambarkan
mencapai 10 persen, terutama lewat berbagai perusahaan yang didirikan
alumninya. Meskipun fokus PT pada bidang pendidikan
dan pengajaran, penciptaan ilmu pengetahuan
baru, dan penyebaran inovasi mutakhir
pada pihak yang berkepentingan, dalam praktiknya dilakukan dalam relasi yang
melibatkan multipihak, seperti mahasiswa, akademisi, pelaku bisnis,
masyarakat, dan pemerintah. Kerja sama bahu-membahu antarkomponen
bangsa ini yang dalam dunia pendidikan tinggi kita diwadahi dalam Tri Dharma
perguruan tinggi. PT berkontribusi pada perkenomian lewat pertukaran
pengetahuan dan alumni PT. Sebuah sinergitas yang memungkinkan pertumbuhan
ekonomi berbasis prinsip-prinsip keberlanjutan. Masalahnya, apakah semua program studi
(prodi) PT mampu berkontribusi
menjawab tantangan kebangsaan yang semakin besar terkait ketahanan,
kemandirian dan keunggulan bangsa. Sebagai gambaran, jumlah total prodi di PTN
dan PTS tercatat mencapai 26.886 prodi, yang terdiri 5.700-an prodi bidang
pendidikan, teknik 4.800, sosial 4.100, kesehatan 3.300, ekonomi 3.300,
pertanian 1.800, agama 1.700, MIPA 1.000, Humaniora 719 dan seni 385.
(Sumber: Dirjen Dikti). Pertanyaan ini normal ditanyakan, mengingat
banyak program studi didirikan sekadar
mengikuti tren sesaat, bukan dilandasi semangat untuk memberi kontribusi
nyata dan sesuai dengan strategi pembangunan. Pada 80-an dan awal 90-an, prodi bidang
pertanian dan pendidikan sempat booming peminat. Lalu prodi ekonomi dan
teknik informatika. Prodi pendidikan mengalami kenaikan peminat sejak
pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi guru. Pilihan program studi para calon mahasiswa
umumnya sekadar didasarkan pada pertimbangan sesaat, apa yang sedang terjadi
saat ini, bukan 5 atau 10 tahun ke depan. Di sisi lain para penyelenggara
pendidikan umumnya berlomba mendirikan program studi yang sedang banyak
peminat. Kecenderungan mendirikan prodi yang sedang tren, atau
banyak diminati calon mahasiswa tidak sepenuhnya kesalahan mereka. Setiap PT
apalagi swasta hanya bisa hidup jika memiliki mahasiswa. Di lain pihak
persyaratan pendirian prodi mengharuskan adanya dosen dengan kualifikasi
sarjana S-1 dan S-2 yang sesuai atau linier bidang prodi. Sehingga sulit
sekali melahirkan prodi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Contoh prodi logistik dan rantai pasok,
meskipun sangat dibutuhkan tidak mudah mendapatkan calon dosen yang berijazah
linier S-1 dan S-2 di bidangnya. Maka, relevan sekali peringatan Presiden
Jokowi tentang perlunya dunia pendidikan adaptif dan antisipatif dalam
mendirikan program studi. Nama prodi jangan itu-itu saja. Terobosan Mendikbud Nabiel Makarim untuk
mendorong mahasiswa mendapatkan mengalaman nyata dari perusahaan global (micro
credential), matching funds yang mendorong para akademisi dan pelaku industri
menemukan inovasi dan competitive fund yang mendorong revitalisasi dan terobosan prodi baru
berkelas global layak mendapat apresiasi dan dukungan. Kebijakan merdeka belajar dan insentif fund
dapat menjadi momentun sinergitas dunia pendidikan tinggi dengan pelaku
ekonomi. Untuk ini diperlukan sebuah kerangka kerja yang dapat memandunya. Penulis belum lama ini terlibat proses
desain sebuah prodi atas inisiatif United In Diversity (UID) dalam merespons
kebutuhan transformasi teknologi informasi untuk mewujudkan SDGs bagi kota
dan kabupaten yang membahagiakan. Proses desain dipimpin Prof Edwad Crawley,
Guru Besar MIT, ahli roket dan berpengalaman mendirikan prodi, pendiri dan rektor
pertama Scoltech Russia, dan melibatkan berbagai ahli global, Tsinghua
University China, dan tiga orang lain dari Indonesia, termasuk penulis. Program ini diberi nama Happy Digital X:
Cities, System, Service dan Product. Saat ini telah teregistrasi di Tsinghua
sebagai program TSEA kerja sama dengan UID dan mulai dibuka untuk publik.
Dalan proses itulah penulis mencatat mekanisme penting untuk menjamin prodi
berkontribusi nyata pada kebutuhan pemangku kepentingan. Berikut beberapa
langkah yang menggambarkan dialektika pendidikan dengan pemangku kepentingan. Pertama, sebelum memutuskan pilihan program
studi yang akan dikembangkan tim kerja mendiskusikan tantangan besar, mendesak dan bidang apa
yang diperlukan. Hingga mendapatkan beberapa alternatif. Saat itu, tim mempertimbangkan beberapa isu, yaitu
transformasi pembangunan perkotaan, sustainable finance atau blended finance,
technopreneur, dan sustainable low. Kedua, untuk mendapatkan gambaran tim
mengecek harapan dan kenyataan di pemangku kepentingan. Dari sinilah keluar
Happy Digital Cities. Ketiga, mengecek apa yang sudah diberikan oleh berbagai
prodi terkemuka di dunia. Apa yang masih kurang sehingga tampak jelas
kesenjangannya. Keempat, mempelajari siapa para ahli
terkemuka yang terkait dengan bidang ini. Kelima, mendiskusikan semua temuan
dan merumuskan konsep akademik prodi terpilih dan value proposition-nya.
Keenam, mengundang berbagai pihak yang relevan untuk memberikan masukan.
Ketujuh, penyusunan draf awal desain kurikulum, dan mempertimbangkan siapa
yang akan dilayani oleh prodi dan bagaimana aspek pedagogisnya. Kedelapan, melakukan advisory meeting
dengan mengundang para ahli dan representasi pemangku kepentingan untuk
memberi masukan atas draf yang telah tersusun. Kesembilan, penulisan draf baru kurikulum
dan mulai mendiskusikanya dengan para ahli yang dimungkinkan sekaligus akan
menjadi pengajarnya. Kesepuluh, terus berproses melakukan
perbaikan dengan mengecek di pemangku kepentingan dan senyampang penyusunan silabus, proyek dan modul.
Kesebelas, pemasaran program ke kalangan terbatas sambil menguji rancangan
yang sedang berjalan. Langkah terakhir, atau keduabelas, pelaksanaan dan evaluasi untuk perbaikan kembali apa yang
telah dilaksanakan terkait efektivitas dan relevansinya pada pemangku
kepentingan. Perbaikan inilah yang akan ditawarkan untuk angkatan kedua. Seluruh aktivitas bersifat sirkular, mirip seperti yang kerap
diungkapkan mantan Mendiknas A Malik Fadjar almarhum: ”Start from beginning
and the end to beginning” untuk saling melayani antara penyedia jasa
pendidikan dengan pemangku kepentingan. Sebuah proses yang terus-menerus mengharuskan
pelipatgandaan energi hidup, pengetahuan, inovasi, dan kearifan untuk
menghadirkan dunia yang lebih baik. Senantiasa open mind, heart, dan will
atas kehendak bersama, untuk better business for better world. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar