Demokrasi
dan Polarisasi Politik Moch Nurhasim ; Pusat Penelitian Politik LIPI |
KOMPAS,
26 Februari
2021
Demokrasi Indonesia saat ini mengalami
tantangan yang tidak ringan. Pilpres 2014 telah menanam embrio polarisasi
politik akibat kontestasi politik yang antagonis. Polarisasi politik, seperti
juga konflik dalam masyarakat adalah sesuatu yang melekat (inhern) dalam
proses demokrasi. Fenomena polarisasi politik akibat
perbedaan pilihan politik justru tidak memudar tatkala pemilu sudah usai,
sebaliknya tumbuh semakin subur dalam demokrasi di tingkat nasional dan
lokal. Pertengkaran simbolik ”cebong” versus
”kampret” yang berkembang subur di tengah kompetisi politik pada saat Pilpres
2019 bertransformasi menjadi ”kadrun” versus ”togog”. Langkah Presiden
Jokowi-Ma’ruf Amin yang ingin memupus pertarungan simbolik itu pun kurang
berdampak. Masuknya Prabowo Subianto dan Partai
Gerindra dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju (KIM) ternyata tidak bisa
memupus pertengkaran simbolik di aras bawah (grass roots). Seperti hukum alam, sekali menanam angin,
kita akan menuai badai. Demikian pula dengan fenomena polarisasi politik
dalam demokrasi kita, tidak luntur dan rasanya sulit hilang karena fenomena
pertengkaran politik akibat perbedaan pilihan masih saja terjadi dan semakin
meluas dengan melibatkan dua aras sekaligus, aras elite politik dan aras arus
bawah. Polarisasi
dan pembelahan politik Salah satu bahaya dari polarisasi politik
yang bertransformasi melalui beragam bentuk yang senantiasa berlawan
(antagonis) bagi demokrasi kita ialah munculnya pembelahan politik (political
cleavage) yang ekstrem. Pembelahan politik seperti itu bisa
menyebabkan pembusukan politik (political decay) bagi demokrasi karena
institusi-institusi demokrasi yang penting justru tidak bisa berfungsi
sebagai jembatan bagi terwujudnya perbedaan politik dalam ruang demokrasi
yang damai dan berkeadaban (civility). Pembelahan politik pada dasarnya hampir
tumbuh dalam sebagian besar sistem demokrasi, khususnya bagi negara yang
menerapkan sistem multipartai. Pendirian partai-partai politik di sebagian
besar negara muncul dan lahir dari konsekuensi logis perbedaan ideologi,
representasi dan kepentingan yang berbeda. Perbedaan itu termanifestasikan dalam
bentuk organisasi partai politik sebagai wujud perkumpulan para anggota yang
memiliki ideologi yang sama untuk membentuk organisasi politik agar bisa
terlibat dalam proses politik dan akumulasi kekuasaan. Secara alamiah, pembelahan politik
(political cleavage) merupakan dampak dari kehadiran parpol sebagai
representasi politik kepentingan warga negara yang berbeda atau tidak sama. Persoalannya bukan pada pembelahan politik
sebagai akar sekaligus basis pendirian partai-partai politik di Indonesia
pascareformasi. Problem utamanya terletak pada bagaimana transformasi
ideologi partai untuk memperoleh kekuasaan dengan mempertentangkan ideologi
yang terus-menerus antagonis. Pemilu langsung sebenarnya memberikan ruang
bagi tumbuhnya pertentangan ideologis secara sistemik sehingga setiap calon
bisa menunjukkan perbedaan ideologis sesuai dengan sifat ideologi yang
tecermin dari garis perjuangan (platform) partai. Namun, dalam praktinya, ideologi politik
yang dibangun oleh partai cenderung didorong ke arah ideologi yang sifatnya
propaganda, berseberangan dan menumbuhkan ”kebencian”. Secara natural dan politik, platform partai
harusnya diwujudkan dalam gagasan dan program politik yang membumi. Garis
perjuangan partai seperti itu sifatnya umum dan natural dalam berpolitik.
Yang perlu disayangkan ialah dalam praktik demokrasi kita, garis perjuangan
partai menjadi kabur dan kalah oleh kepentingan kontestasi politik. Kepentingan elektoral lebih menonjol
ketimbang kepentingan besar untuk membawa kehidupan politik bangsa ini lebih
baik. Politik kita cenderung mengarahkan perjuangan partai secara sempit,
kebutuhan jangka pendek sehingga partai politik membangun wacana yang
bersumber dari identitas yang terpolitisasi. Politik identitas (political identity)
dalam sejarah politik Indonesia dan sejumlah negara yang menerapkan sistem
multipartai sebenarnya hal yang biasa. Artinya, demokrasi tetap memberikan
ruang bagi orang untuk menentukan pilihan politiknya sesuai dengan kedekatan
identitas sosial, budaya, dan politiknya. Persoalan akan muncul manakala politik
identitas kemudian dipertentangkan dan dijadikan sebagai sumbu perbedaan
dalam membangun politik praktis sebagai basis dukungan politik kontestasi.
Ideologi diarahkan secara sempit sebagai manifestasi dari orang kita dan
kelompok kita. Ilustrasi sederhananya, orang bisa memiliki
jarak sosial dan politik terhadap sebuah partai yang didasarkan pada
perbedaan identitas sosial dan politik yang mereka miliki. Menjadi masalah ketika ada unsur
pertentangan yang dimaknai secara paksa, bahwa calon yang berbeda agama,
basis sosial, politik, kedaerahan, dan perbedaan identitas lainnya tidak
diberikan ruang dalam proses demokrasi. Identitas dimaknai sempit semata-mata
sebagai basis elektoral (pemilihan) sehingga mendorong sesama anak bangsa
bisa saling caci maki, larut dalam politik ”kebencian” yang mengakibatkan
terjadinya benturan akibat beda pilihan politik. Menguatnya
identitas simbolik Pengembangan wacana identitas politik
sebagai basis dalam membangun dukungan bukanlah fenomena satu kelompok. Ada
gejala tumbuhnya gagasan simbolik ke dalam kelompok dengan mewacanakan ide
dan gagasan yang sepihak dan bertentangan. Segmentasi politik internal menyebabkan
”tertutupnya ruang dialog” dan munculnya kepemimpinan kelompok yang tidak
lintas batas. Kontestasi politik juga telah berubah menjadi arena politik
pasar dengan hukum dasarnya, permintaan dan penawaran. Ada transaksi yang
sifatnya ekonomi, bisa juga transaksi yang sifatnya simbolik, ideologis,
bahkan hingga transaksi politik uang dan kekuasaan. Tidak ada proses politik yang tanpa
transaksi. Semua itu bermuara pada kebutuhan politik jalan pintas akibat
proses regenerasi kepemimpinan alamiah tergantikan oleh kepemimpinan karbitan
dengan kuatnya jalur politik keluarga (dinasti) dan personal. Sumber regenerasi kepemimpinan lebih
mengedepankan jalur tradisionalis-karismatik-materialistik ketimbang pada
jalur regenerasi kaderisasi partai yang terukur dengan basis kemampuan dalam
berpolitik. Dominasi jalur
tradisionalis-karismatik-materialistik dalam regenerasi kepemimpinan
menyebabkan munculnya calon-calon dadakan dan keturunan. Akibatnya, ruang
politik kita disesaki oleh pertarungan kepentingan, seperti kepentingan
dinasti, kelompok, dan kepentingan ”orang kita”, daripada pertarungan gagasan
dalam ruang demokrasi. Sumber kepemimpinan nasional sepertinya
didorong oleh model kontestasi keturunan. Publik dipaksa oleh elite dan tidak
memiliki pilihan karena elitelah yang berhak menentukan siapa yang layak
menjadi pemimpin, sedangkan pemilih (konstituen) hanya cukup berperan
memberikan legitimasi melalui pemilihan. Kepemimpinan politik yang lahir melalui
jalur tradisionlis-karismatik-materialistik akhirnya hanyut dalam sejumlah
praktik politik anomali. Semua cara digunakan, termasuk membangun dan
mengembangkan wacana identitas politik yang dipolitisasi sebagai jalan pintas
untuk meningkatkan elektabilitas dan tingkat kemungkinan agar tetap terpilih. Pola demikian bukan saja terjadi pada aras
politik di tingkat nasional semata, tetapi telah merambah pada aras politik
di tingkat lokal. Reproduksi polarisasi politik dalam
wujudnya seperti sekarang sebagian besar akibat kebutuhan politik jalan
pintas dan jangka pendek. Polarisasi politik dengan ragam transformasinya
menjadi strategi segmentasi politik yang merefleksikan kebutuhan elite dalam
membangun imajinasi politik jalan cepat melalui simbol-simbol elektoral yang
berbasis identitas, seperti kelompok kita, orang kita, asal agama, asal
daerah, dan lain-lain. Transformasi polarisasi politik menjadi
pembelahan politik yang ekstrem, seperti antara ”kadrun” versus ”togog” serta
pembedaan politik ”orang kita” versus ”kubu musuh”, harus kita sadari sebagai
jebakan politik jangka pendek. Secara esensial tidak akan menguntungkan warga
negara, tetapi lebih menguntungkan elite politik dalam merebut dan
mempertahankan kekuasaannya. Praktik politik demikian pernah terjadi
dalam sejarah politik Indonesia sebelumnya yang akhirnya menyeret bangsa ini
dalam warisan politik kekerasan yang cukup panjang. Oleh karena itu, polarisasi politik dengan
karakternya di atas akan terus menghantui perkembangan demokrasi Indonesia
apabila terus-menerus direproduksi dalam praktik dan proses demokrasi
elektoral. Apalagi bila pertentangan politik itu
menyeret dua simbol besar ideologi politik Indonesia, simbolik ”Islam versus
Nasionalis”. Gejala ini semakin kelihatan dan berbagai wujud dari
transformasinya terlihat nyata dalam ruang politik, hukum, dan pemerintahan. Semua itu sebenarnya bermula dari percobaan
politik kontestasi yang ternyata dampaknya bisa panjang bagi sejarah kita
sebagai sebuah bangsa ke depan. Legasi politik kekerasan, politik yang
memukul dan bukan merangkul, telah terbukti oleh sejarah politik bangsa mana
pun akan menyisakan ”dendam politik” yang bisa mendorong siklus politik
kekerasan yang terus berulang. Dalam bahasa sederhana, demokrasi yang
bersendikan kekerasan akan menyimpan potensi siklus pertentangan politik yang
sulit diakhiri. Oleh karena itu, saat ini demokrasi Indonesia membutuhkan
ruang bersama untuk melakukan dialog gagasan untuk membangun kemajuan bangsa
ini tanpa paksaan, tanpa ancaman dan tanpa penindasan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar