Covid-19
dan Mencerdaskan Bangsa Emil Salim ; Anggota Akademi IImu Pengetahuan
Indonesia KOMPAS 18 Januari 2021 |
Ketika wabah korona menyebar,
pemerintah menerapkan langkah 3M (mencuci tangan, memakai masker, mengambil
jarak) dan 3T (testing, trace, treat) untuk membendung meluasnya penyebaran
virus. Pola bekerja masyarakat pun berubah jadi ”bekerja dari rumah” dan
”belajar dari rumah” mengurangi
penyebaran virus. Tanpa disadari, kita telah memicu
tumbuhnya kreativitas manusia mengubah ”pola kerja mengambil jarak” dengan
memicu pertumbuhan teknologi yang telah ditangkap Ketua Forum Ekonomi Dunia
(WEF) Klaus Schwab dalam buku The Fourth Industrial Revolution (2016). Dalam sejarah revolusi
pengembangan industri, dikenal tahapan Revolusi Industri I sejak 1784,
ditandai oleh penggunaan tenaga uap sebagai penggerak pabrik dan angkutan
kereta api dan tumbuhnya pola produksi mekanis, menggantikan pola produksi
yang mengandalkan tenaga manusia dan hewan. Ketika ditemukan tenaga listrik,
maka meletuslah sejak 1870 tahapan Revolusi Industri II, memungkinkan pola
produksi massal dengan pola assembly (perakitan) sehingga mengubah juga pola
perdagangan dalam dan luar negeri. Sementara, tumbuh
penemuan-penemuan baru di bidang elektronik yang melahirkan komputer dan alat
produksi automasi yang mencetuskan tahapan Revolusi Industri III sejak 1969. Kemampuan digital yang tumbuh di
era ini memiliki kelebihan untuk berlipat ganda dengan cepat sehingga jadi
penggerak Revolusi Industri IV yang semakin kencang dirasakan sejak akhir
abad ke-20. Indonesia
belum siap Dalam Revolusi Industri IV ini
meledak berbagai kelompok teknologi, seperti internet of things, artificial
intelligence (kecerdasan buatan), robot, drones, geo-engineering, neurologi,
bioteknologi, energi terbarukan, dan lain-lain terdorong oleh kecanggihan
teknologi digital. Maka, tumbuh pandangan berbagai ahli yang meramalkan
disrupsi teknologi dalam perkembangan energi, otomotif, bioteknologi, dan
lainnya. Akibat menjangkitnya Covid-19 yang
berpotensi menular luas antarmanusia, tumbuh gagasan mengembangkan jasa-jasa
ekonomi dengan teknologi menggantikan peranan manusia. Akibatnya, memicu
proses dehumanisasi dalam pembangunan, di antaranya, melalui proses
robotisasi dalam Revolusi Industri IV. Klaus Schwab dalam bukunya sudah
memperhitungkan kecenderungan tumbuhnya dampak negatif penerapan teknologi
ini sehingga secara khusus ia mengangkat kebutuhan menumbuhkan emotional
intelligence, yakni hati (heart), inspired intelligence, yakni jiwa (soul),
dan physical intelligence, yakni badan (body). Apabila pola pembangunan serba
digital ini berkembang cepat di dunia, tidaklah begitu halnya di kebanyakan
negara berkembang. Bert Hofman dari Bank Dunia dalam ”Opportunities and
Challenges of the 4th Industrial: IR4” (2018) mengungkapkan, berdasarkan
ukuran Artificial Intelligence Readiness Index (Indeks Kesiapan Kecerdasan
Buatan) McKinsey, Indonesia masuk kelompok below threshold. Dari kesiapan untuk melaksanakan
IR4 berdasarkan EIU/ABB Automation Index dengan indeks rata-rata 62,1 untuk
berbagai negara, Korea Selatan dianggap paling siap dengan indeks 91,1,
Singapura 87,3, dan Indonesia 33,3. Berbagai indeks yang mengukur
kesiapan suatu negara untuk melaksanakan Revolusi Industri IV menunjukkan Indonesia
tergolong belum siap menyerap kebutuhan kecerdasan manusia yang dibutuhkan.
Faktor strategis utama terletak pada masih rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Apabila kualitas SDM diukur dengan
ukuran Program for International Student Assessment (PISA) yang setiap tiga
tahun dinilai oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), maka
pada 2015 dari 70 negara yang dinilai kemampuan pelajarnya di bidang
matematika, sains dan membaca, Singapura menduduki urutan pertama dengan skor
551,7 dan Indonesia urutan 62 dengan skor 395,3. Pada 2018, PISA skor Indonesia
untuk membaca 371 (dibandingkan skor OECD: 487), Matematika: 377 (OECD: 489)
dan Sains: 396 (OECD: 481). Dalam PISA 2019, China meraih posisi tertinggi,
disusul Singapura. Dalam usaha mengatasi
ketertinggalan pendidikan dibandingkan China dan Singapura, sejak 2020 di
tengah pandemi Covid-19, Indonesia memaksakan pola pendidikan ”belajar dari
rumah” yang sama-sama kita ketahui kurang efektif dan rendah kualitasnya. Prof Sri Moertiningsih dalam orasi ilmiahnya di 2005 mengungkapkan, berkat keberhasilan kebijakan keluarga berencana, ”rasio ketergantungan penduduk Indonesia” turun dari 54 (2000) ke 44 per 100 jiwa pada 2020-2030, sehingga membuka jendela peluang bagi Indonesia meningkatkan kualitas keterampilan dan keahlian penduduk usia 15-64 tahun, kelompok produktif yang terbanyak proporsinya dan terjadi hanya sekali di kehidupan bangsa kita.
Sayangnya, dalam masa peluang
berharga dan strategis ini, kita dihantam pandemi Covid-19 sehingga
mengurangi kesempatan emas pendidikan normal bertatap muka. Sadar kualitas intelektualitas
bangsa kita masih rendah dibandingkan negara-negara sekitar, seyogianya
seluruh kekuatan bangsa dicurahkan untuk meningkatkan kualitas angkatan Bonus
Demografi usia 15-64 tahun, agar tercapai cita-cita Indonesia untuk lepas
landas pada 2045. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar