Ambisi
Arab Saudi Menjadi Raksasa Ekonomi Regional Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
26 Februari
2021
Ambisi Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran
Mohammed bin Salman (MBS) melalui proyek visi Arab Saudi 2030 ternyata tidak
hanya sebatas melakukan revolusi perubahan di sektor sosial, budaya, dan
ekonomi di dalam negeri, tetapi juga ingin mengantarkan negaranya menjadi
kekuatan raksasa ekonomi di kawasan. Produk domestik bruto (PDB) Arab Saudi kini
mencapai 779.289 miliar dollar AS dan menduduki urutan ke-18 kekuatan ekonomi
dunia. Dengan kekuatan ekonomi tersebut, tentu Arab Saudi menjadi anggota 20
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di muka bumi ini (G-20). Di Timur Tengah, Arab Saudi kini merupakan
kekuatan ekonomi terbesar. Namun, MBS ternyata tidak puas jika negaranya
hanya menduduki posisi urutan ke-18 kekuatan ekonomi di dunia. Dia berambisi
hendak membawa Arab Saudi menduduki urutan ke-10 atau masuk 10 besar kekuatan
ekonomi dunia. Tentu jalan masih panjang dan terjal bagi
MBS untuk bisa membawa Arab Saudi masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Arab
Saudi dengan PDB 779.289 miliar dollar
AS saat ini harus berjuang keras melipatgandakan PDB tersebut menjadi minimal
memiliki PDB 1.558.578 miliar dollar AS atau bahkan harus lebih lagi. Urutan ke-10 dalam G-20 versi IMF saat ini
diduduki Korea Selatan dengan PDB 1.586.786 miliar dollar AS. Artinya, Arab
Saudi harus mampu melampaui PDB Korea Selatan untuk bisa masuk 10 besar
kekuatan ekonomi dunia. Ini tentu sangat tidak mudah. Bahkan sebenarnya posisi urutan ke-18 dalam
G-20 membuat posisi Arab Saudi tidak aman, yang bisa setiap saat negara
pengekspor minyak mentah terbesar itu terpental dari keanggotaan G-20. Alih-alih mau masuk 10 besar kekuatan
ekonomi dunia, tetapi sebaliknya justru malah terancam terdepak dari
keanggotaan G-20. Sesungguhnya ancaman terdepak dari anggota G-20 jauh lebih
dekat bagi Arab Saudi daripada mencapai posisi 10 besar G-20. Arab Saudi kini hanya di atas Turki dan
Swiss secara PDB dalam G-20. PDB Arab Saudi, Turki, dan Swiss sangat
berdekatan, yang setiap saat bisa bergeser posisi dalam urutan di internal
G-20. Versi Bank Dunia, Turki memiliki PDB 754.412 miliar dollar AS dan PDB
Swiss 703.082 miliar dollar AS. Maka, ada persaingan cukup ketat antara
Arab Saudi, Turki, dan Swiss untuk bisa bertahan menjadi anggota G-20 atau
tidak terpental dari keanggotaan G-20 itu. Oleh karena itu, MBS harus mencari
solusi terobosan untuk meningkatkan PDB Arab Saudi agar bisa naik kelas dalam
peringkat di G-20 dan sekaligus bisa menyelamatkan negaranya agar tidak
terdepak dari keanggotaan G-20. Sebagai ikhtiar untuk menaikkan peringkat
ekonomi Arab Saudi tersebut, Pemerintah Arab Saudi secara mengejutkan pada 15
Februari lalu memutuskan, perusahaan multinasional yang telah atau ingin
menjalin kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat
regionalnya ke wilayah Arab Saudi terhitung mulai 1 Januari 2024. Artinya, Pemerintah Arab Saudi memberi
tenggat sekitar tiga tahun kepada semua perusahaan multinasional yang kini
punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi untuk menyiapkan secara logistik dan
lain-lain untuk pindah ke wilayah Arab Saudi. Arab Saudi mengancam akan membatalkan kontrak
bisnis dengan perusahaan multinasional yang menolak memindahkan kantor pusat
regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Selama ini, sebagian besar kantor pusat
regional perusahaan multinasional yang beroperasi di kawasan Arab Teluk dan
Timur Tengah berada di Dubai. Kota Dubai menjadi daya tarik sebagian
besar perusahaan multinasional karena kemudahan birokrasi, keringanan pajak,
dan kehidupan liberal di kota itu. Kota-kota di Arab Saudi masih jauh kalah
pamor dibandingkan kota Dubai untuk dijadikan tempat kantor pusat regional
perusahaan multinasional. Meski MBS telah menggulirkan revolusi
sosial dan budaya di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini, hal itu belum
cukup menjadi magnet bagi perusahaan multinasional untuk memindahkan kantor
pusat regionalnya dari Dubai ke kota-kota di Arab Saudi. Revolusi sosial dan
budaya yang sudah dijalankan antara lain bioskop diperbolehkan beroperasi,
konser musik, kaum wanita dibebaskan menyetir mobil, dan penyelenggaraan
aktivitas olahraga untuk umum, baik pria maupun wanita. Akhirnya tidak ada pilihan bagi Arab Saudi
kecuali menerbitkan peraturan yang memaksa perusahan multinasional yang telah
dan akan memiliki kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor
pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Menurut kantor berita Arab Saudi,
SPA, sebanyak 24 perusahaan multinasional telah menyampaikan rencana mereka
akan memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Pakar ekonomi Arab Saudi, Amal Abdulaziz
Al-Hazzani, dalam artikelnya di harian Asharq Al-Awsat edisi Selasa, 23
Februari 2021, mengatakan, tujuan dari keputusan Arab Saudi bahwa perusahaan
multinasional yang punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan
kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi adalah upaya menarik investasi
asing dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penanaman
investasi asing di negara itu. Ada dua langkah besar yang dilakukan Arab
Saudi untuk menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi penanaman modal asing di negara itu, yaitu terkait
regulasi dan proyek investasi. Pertama, terkait regulasi, Pemerintah Arab
Saudi telah membebaskan dari pajak pendapatan atas perusahaan multinasional
yang masuk pasar Arab Saudi. Kedua, proyek investasi, yaitu Arab Saudi tengah
membuat sejumlah megaproyek yang membuka peluang besar kepada investor asing
menanamkan investasinya. Proyek investasi itu seperti megaproyek
kota Neom yang menempati wilayah seluas 26.500 km persegi dengan nilai
investasi sekitar 500 milliar dollar AS, proyek kota wisata Coral Bloom di
Laut Merah, serta proyek kota metropolitan ibu kota Riyadh. Bagian dari
megaproyek Neom, MBS pada 10 Januari lalu mengumumkan akan membangun kota
masa depan bebas karbon The Line yang memiliki panjang 170 km. Kota The Line di dalamnya tidak ada
kendaraan, tidak ada jalan, dan bebas karbon, yang akan dimulai
pembangunannya pada kuartal pertama tahun 2021. MBS pada 10 Februari lalu
juga mengumumkan pembangunan proyek kota wisata kepulauan Coral Bloom di Laut
Merah. Menurut CEO proyek Coral Bloom, John Pagano, megaproyek tersebut
menelan biaya 3,7 miliar dollar AS. Di Coral Bloom akan dibangun 11 hotel
berbentuk resort yang dioperasikan oleh manajemen perhotelan internasional.
Proyek Coral Bloom disebut terinspirasi dari model wisata kepulauan di
Maladewa yang sangat populer. Maka, Coral Bloom di Laut Merah dirancang mirip
seperti kepulauan wisata Maladewa. MBS pada 28 Januari lalu mengumumkan pula
pengembangan ibu kota Riyadh untuk bisa menjadi 10 kota terbesar ekonomi di
muka bumi ini. Ibu kota Riyadh, yang kini berpenduduk sekitar 7,5 juta jiwa,
dilaporkan berhasil menarik investasi mencapai 220 miliar dollar AS selama
tiga tahun terakhir ini. Ibu kota Riyadh kini dirancang bisa
menyaingi kota Dubai sebagai magnet investasi asing. Direktur eksekutif
pengembangan kota Riyadh, Fahad al-Rashid, mengungkapkan, metro bawah tanah
kota Riyadh yang memiliki jalur sepanjang 178 km dan 85 halte akan mulai
beroperasi pada kuartal ketiga tahun 2021. Arab Saudi juga telah mendeklarasikan
secara resmi memasuki era kecerdasan buatan (AI) di negara itu, bersamaan
dengan digelarnya konferensi puncak global tentang kecerdasan buatan atau The
Global Artificial Intelligence Summit di kota Riyadh pada 21-22 Oktober 2020. Semua megaproyek di Arab Saudi tersebut
merupakan bagian dari pelaksanaan visi 2030 yang diluncurkan MBS sejak tahun
2016 dengan tujuan melakukan diversifikasi sumber ekonomi negara yang selama
ini sangat bergantung pada minyak. Megaproyek itu sekaligus sebagai lokomotif
untuk mewujudkan ambisi MBS membawa Arab Saudi masuk 10 besar ekonomi dunia. ● |