TERORISME DAN RADIKALISME
Terorisme, Anarkisme, dan
Deradikalisasi
Oleh : HASIBULLAH SATRAWI
KOMPAS, 16 Desember 2019
“Sebagai presiden terpilih, Jokowi
menyatakan akan memberi perhatian pada penyelesaian isu radikalisme dalam
periode pemerintahan keduanya. Ini salah satu visi besar yang kontekstual untuk
masa sekarang.”
Visi besar
tentu memiliki tantangan tak kalah besar. Sebagai langkah awal, beberapa
kementerian yang selama ini tak terlalu masuk dalam penanganan masalah
radikalisme mulai didorong berperan secara lebih aktif. Bahkan, deradikalisasi
menjadi salah satu tugas khusus Menko Polhukam Mahfud MD.
Masih banyak
lagi kemungkinan lain sebagai bentuk rumusan subyektif radikalisme, termasuk
bentuk pakaian dan ekspresi tertentu. Ketika istilah radikalisme jadi
kontroversi, beberapa persoalan riil yang tak secara mufakat disebut dengan
istilah radikalisme justru kian akut.
Pelbagai
macam aksi kekerasan (dari penusukan hingga pengeboman) sebagai salah satu inti
persoalan justru kian tak terkendali makan korban dari kalangan masyarakat
sipil hingga aparat. Di sini dapat ditarik kesimpulan awal, di balik
kontroversi istilah radikalisme, ada kegagalan mendefinisikan beberapa inti
persoalan secara tepat, akurat, dan disepakati bersama.
Terorisme
Persoalan
pertama adalah terorisme. Merujuk UU No 5/2018, terorisme didefinisikan
”Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang
bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek
vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas
internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan” (Pasal 1
Ayat 2).
Dengan
definisi itu, cakupan terorisme sudah sangat jelas. Sejatinya terorisme tak
boleh diperluas menjadi radikalisme yang cenderung liar dan subyektif mengingat
definisi itu telah memberikan gambaran yang sangat jelas, termasuk motifnya;
ideologi, politik, dan gangguan keamanan.
Terlebih
lagi ketentuan selanjutnya dalam UU ini tak hanya membatasi persoalan terorisme
pada aksi pengeboman ataupun penyerangan (aksi kekerasan), tetapi juga peran
dan keanggotaan seseorang dalam sebuah organisasi teror, di dalam maupun di
luar negeri (Pasal 12 A). Bahkan, juga termasuk pelatihan militer (Pasal 12B).
Hal yang
jamak disalahpahami banyak pihak selama ini adalah bahwa terorisme seakan
selalu berangkat dari radikalisme (dalam hemat penulis, istilah yang lebih
tepat adalah anarkisme atau intoleran) ataupun radikalisme selalu berakhir
dengan terorisme. Padahal, yang terjadi di lapangan tak selalu demikian.
Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui proses radikalisme, sebaliknya tak
selalu orang yang disebut radikal menjadi teroris.
Adalah benar
bahwa ada sebagian orang yang jadi teroris setelah mengalami radikalisasi.
Namun, hal ini terlalu kecil kasusnya untuk dijadikan sebagai rumus paten bahwa
seorang teroris harus melalui radikalisasi ataupun orang yang radikal pasti
menjadi teroris.
Singkat
kata, hal-hal yang terkait dengan terorisme bersifat spesifik, tak bisa
diperluas ke wilayah lain. Dalam hal aksi kekerasan yang dilakukan, contohnya,
kelompok teroris kerap menggunakan cara-cara nonkonvensional, seperti
pengeboman, penembakan, bahkan taktik perang kota.
Hal lebih
kurang sama juga terjadi dalam konteks doktrin. Kelompok teroris memiliki jenis
doktrin spesifik yang tak dimiliki kelompok lain yang selama ini dianggap
radikal.
Dalam hal
pengafiran, contohnya, kelompok teror tak hanya melakukan pengafiran secara
umum, tetapi sampai tahap pengafiran secara spesifik (takfir mu’ayyan), seperti
vonis kafir yang dijatuhkan kepada aparat keamanan yang dianggap sebagai anshar
thaghut (penolong thaghut) dan anggota DPR yang dianggap merampas hak legislasi
(tasyri’) dari Allah.
Bahkan,
sebagian kelompok teroris (khususnya yang bergabung dengan NIIS) sampai pada
tahap tidak mau makan daging yang dijual di pasar karena keislaman orang yang
menyembelih diragukan atau bahkan telah dianggap kafir.
Secara
jumlah, kelompok teroris seperti ini bisa dibilang sedikit. Menurut beberapa
sumber di lapangan, saat ini terdapat sekitar 600 orang yang dipenjara karena
persoalan terorisme. Walaupun, misalkan, angka ini diperbesar menjadi 700-an
(dengan penangkapan pasca-penusukan Wiranto dan bom Medan) atau bahkan 2.000
(dengan mereka yang sudah bebas) atau bahkan 20.000 sekalipun, itu tetap
sedikit sebagai sebuah jumlah, khususnya jika dibandingkan populasi penduduk Indonesia.
Namun, dilihat dari sadisme dan kekerasan yang dilakukan, kelompok ini tak bisa
dianggap remeh. Apalagi, mereka memiliki militansi dan orientasi hidup berbeda;
kebanyakan orang takut mati, tetapi kelompok teroris justru berani mati.
Kelompok ini secara spesifik dan definitif bisa disebut dengan istilah
terorisme daripada radikalisme.
Anarkisme
Persoalan
kedua adalah anarkisme. Persoalan ini mungkin terlihat ada kemiripan dengan
terorisme mengingat sama-sama menggunakan kekerasan dalam menjalankan
perjuangannya. Namun, anarkisme sejatinya beda dengan terorisme. Dalam hal
kekerasan yang dilakukan, kelompok anarkis atau intoleran lebih menggunakan
cara-cara konvensional, seperti pelemparan batu, bambu runcing, atau hal-hal
konvensional lainnya. Pun demikian dengan sasaran aksinya. Pada umumnya
kelompok intoleran menyasarkan aksinya pada tempat-tempat maksiat, penjual
minuman keras, ataupun tempat-tempat lain yang dianggap menjadi tempat
perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Meski
demikian, secara jumlah kelompok seperti ini jauh lebih banyak dibandingkan
dengan kelompok teroris mengingat kekerasan di wilayah ini acap melibatkan para
pihak yang tergabung dalam sebuah ormas dengan struktur lengkap hingga ke
banyak daerah. Bahkan, ormas yang ada secara resmi terdaftar sebagai organisasi
yang legal dalam sistem hukum Indonesia.
Sebagaimana
kelompok teroris, aksi kekerasan oleh kelompok ini juga menjadi persoalan.
Walaupun kerap dilakukan atas nama melindungi masyarakat, kekerasan yang
dilakukan tak bisa dibenarkan. Minimal karena perbuatan itu masuk dalam
kategori tindakan kekerasan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan
wewenang penegak hukum sesuai dengan Perppu No 2/2017 tentang Ormas (Pasal 59
poin 3 huruf c dan d). Secara spesifik dan definitif, kelompok ini dapat
disebut dengan istilah anarkisme daripada radikalisme.
Dalam
konteks NKRI dan Pancasila, kelompok teroris dipastikan bersikap anti dan tak
mau mengakui mengingat Pancasila dan NKRI dianggap sebagai sistem thaghut.
Tunduk dan menerima NKRI sama dengan tunduk dan menerima thaghut yang dianggap
merusak keimanan mereka. Sementara kelompok anarkisme tak semua anti terhadap
NKRI dan Pancasila walaupun sebagian dari mereka ada yang berjuang secara
nonkekerasan untuk mengganti NKRI dengan sistem pemerintahan khilafah.
Deradikalisasi
Sebagaimana
istilah radikalisme bersifat problematis karena cenderung liar dan subyektif,
istilah deradikalisasi sejatinya mengandung problem lebih kurang sama. Sebelum
jadi bahasa hukum, istilah deradikalisasi bisa dipahami sebagai upaya membuat
seseorang tidak menjadi radikal. Belakangan, istilah deradikalisasi menjadi
bahasa hukum seiring disahkannya UU No 5/2018 sebagai revisi atas UU No 15/2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam UU
ini, deradikalisasi didefinisikan sebagai ”Suatu proses yang terencana,
terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan
atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi”
(Pasal 43D, Ayat 1). Deradikalisasi dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana,
narapidana, mantan narapidana terorisme, dan orang atau kelompok yang sudah
terpapar paham radikal terorisme (Pasal 43D Ayat 2) melalui empat tahapan:
identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, reintegrasi (Pasal 43D Ayat 4).
Dengan
pengertian seperti di atas, obyek deradikalisasi adalah mereka yang sudah
terpapar paham radikal terorisme (meminjam istilah yang digunakan dalam UU
ini). Sementara upaya deradikalisasi di kalangan masyarakat luas yang belum
terpapar tidak disebut dengan istilah deradikalisasi, tetapi kontraradikalisasi
(Pasal 43C). Konsepsi deradikalisasi yang sekarang telah menjadi bahasa hukum
ada kemiripan dengan program deradikalisasi yang dikembangkan dan dijalankan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya pada masa-masa awal
(sekitar 2013). Dugaan penulis, konsep deradikalisasi yang saat ini jadi salah
satu norma dalam UU No 5/2018 diadopsi dan dikembangkan dari program
deradikalisasi BNPT di atas.
Jika ini
benar, pengadopsian konsep deradikalisasi dari bahasa program jadi bahasa hukum
mengandung keistimewaan sekaligus kelemahan. Keistimewaan karena segala
prosesnya telah menjadi norma hukum yang harus dijalankan para pihak. Menjadi
kelemahan karena, dengan demikian, deradikalisasi sebagai sebuah proses
mengalami sebentuk pembakuan dengan kekakuan tertentu pada tingkat tertentu
pula.
Berdasarkan
pengalaman penulis beberapa tahun terakhir terkait upaya membangun perdamaian,
baik di dalam maupun di luar lapas, dibutuhkan adanya energi sangat besar
dengan segala kehati-hatian, kelenturan, dan keberanian dalam menghadapi mereka
yang terpapar paham ekstrem sekaligus mendukung setiap perubahan yang dialami
oleh mereka (akibat pendekatan tertentu), sekecil apa pun. Tentu semuanya
dengan tetap berpegang teguh pada prinsip akurasi, koordinasi, dan partisipasi
semua pihak, mulai dari aparat keamanan, petugas lapas, tokoh agama, peneliti,
bahkan hingga para korban aksi terorisme, mengingat hal ini terkait dengan
keyakinan orang yang tak otomatis berubah hanya karena dihukum atau bahkan
ditembak mati sekalipun.
Visi besar
Presiden Jokowi harus dibarengi penggunaan diksi yang tepat sebagai cerminan
dari penguasaan masalah yang ada. Pada tahap selanjutnya, pemilihan dan
penempatan orang yang tepat sesuai keahlian dan kebutuhan yang ada di lapangan.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah pengelolaan yang terorganisasi sebagai
satu tim untuk memenangkan perdamaian dan mewujudkan Indonesia maju ke depan.
(Hasibullah Satrawi, Alumnus Al Azhar Kairo, Mesir; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam)
ayo menangkan uang setiap harinya di agen365*com
BalasHapusWA : +85587781483