INTOLERANSI
Intoleransi: Anomali DIY
Oleh : INDRA TRANGGONO
KOMPAS, 16 Desember 2019
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dicatat Setara Institute masuk di dalam daftar 10 daerah dengan jumlah
kasus pelanggaran tertinggi atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Menurut
Kompas.com (Minggu, 24/11/2019), selain DIY, yang masuk daftar tersebut di antaranya
Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Aceh.
Seperti
dikatakan budayawan Umar Kayam (1980), Yogyakarta adalah kota yang terbuka
terhadap nilai-nilai baru dengan seluruh perbedaan yang dikandungnya. Ini berkaitan dengan status Yogyakarta yang unik. Yakni,
sebagai bekas pusat kekuasaan Kerajaan Mataram (abad ke-16) sekaligus pernah jadi ibu kota Republik
Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Otomatis
nilai-nilai tradisi pun hidup menguat. Namun, Yogyakarta tetap terbuka bagi
nilai-nilai yang datang dari luar sehingga terjadi dialog nilai yang mendorong
perkembangan budaya dan peradaban.
Karena itu,
sangat wajar juga dalam kultur yang terbuka itu di kota Yogyakarta lahir
lembaga sosial keagamaan Muhammadiyah yang digagas dan didirikan KHA Dahlan
(1912). Juga lahir perguruan Tamansiswa yang diinisiasi dan dirintis Ki Hadjar
Dewantara (1922). Lalu pada 1949 lahir Universitas Gadjah Mada (UGM) yang turut
menandai tumbuhnya modernitas di Yogyakarta.
Empat pilar penting
Keraton
Yogyakarta, Muhammadiyah, Tamansiwa, dan UGM menjadi empat pilar penting
penyangga peradaban Yogyakarta. Kraton
Yogyakarta merupakan center of excellence, pusat budaya adiluhung Jawa
Mataraman (gugusan nilai kerajaan Mataram Baru) yang jadi basis tradisi bagi
Yogyakarta.
Muhammadiyah
menjadi pusat gerakan pengalaman nilai-nilai agama Islam melalui praktik
pendidikan (sekolah) dan rumah sakit. Tamansiswa jadi pusat gerakan
nasionalisme melalui pendidikan yang memerdekakan bangsa, di mana nilai-nilai
tradisi Jawa jadi basisnya.
Bagi
Tamansiswa, kebudayaan menjadi jalan untuk mencerdaskan dan menguatkan karakter
bangsa sehingga lahir para cendekiawan nasionalis. UGM menjadi garda depan
perkembangan ilmu dan pengetahuan modern yang berbasis pada kultur
kerakyatan/kemasyarakatan (baca: tidak elitis) yang melahirkan para cendekiawan
berintegitas, berkapabilitas dan berkomitmen.
Keragaman
budaya di Yogyakarta pun kian semarak ketika muncul banyak lembaga sosial,
agama, kesehatan, dan pendidikan yang diinisiasi tokoh-tokoh Katolik, Kristen,
dan lainnya. Tak ketinggalan peran para penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
Juga etnis Tionghoa dan etnis-etnis lainnya.
Menilik
setting keragaman budaya Yogyakarta yang selama ini menjadi orientasi nilai
bagi kehidupan masyarakatnya, kasus-kasus beraroma intoleransi merupakan
anomali budaya dan sejarah. Artinya,
gagasan dan perilaku anomalik itu menyimpang dari nilai, etika, moral, norma
yang disepakati dan berlaku secara umum.
Dalam
konteks Yogyakarta, anomali itu menabrak kultur keragaman atau pluralisme yang
selama ini telah menjadi bagian sangat penting dari bangunan peradaban.
Pluralisme keyogyakartaan memberi ruang secara adil bagi setiap nilai keyakinan
dan cara pengamalannya. Begitu juga dengan hak-hak kaum minoritas yang memiliki
perbedaan sistem keyakinan di dalam aktualisasi dan pengembangan diri.
Rumah keragaman nilai
Dalam
konteks kebudayaan, pluralisme selalu berjodoh dengan empati dan toleransi
karena pluralisme adalah ”rumah keragaman nilai”. Empati merupakan ide,
kemampuan, dan tindakan untuk merasakan
persoalan dan kondisi obyektif orang lain (liyan) sebagai persoalan bersama.
Adapun toleransi bisa dimaknai: sikap dan tindakan saling menghormati dan
menghargai setiap eksistensi, baik secara personal maupun kelompok, dalam
pesrawungan (interaksi) sosial.
Atas nama toleransi,
setiap individu atau kelompok dituntut mampu bersikap adil, terbuka dan
menerima setiap perbedaan. Tak paksakan kebenaran sepihak menjadi kebenaran
kolektif. Selalu berpikir substansial dan menghormati kebenaran pihak lain yang
sistem keyakinan serta amalannya berbeda. Keselarasan/kedamaian hidup selalu
dijunjung tinggi.
Tindakan
intoleransi di DIY yang, menurut Setara Institute, baru marak lima tahun
terakhir ini butuh jawaban berupa regulasi dan penegakan hukum yang berpihak
pada budaya toleransi. Selain itu juga ada upaya untuk selalu merayakan
keragaman budaya sebagai keniscayaan nilai yang diyakini, dikukuhi, dan
dijalankan dalam perilaku publik. Keragaman budaya dihadirkan dalam ruang-ruang
sosial sebagai kesadaran, cara berpikir dan perilaku kolektif. Hal ini juga
perlu dilakukan di berbagai wilayah yang selama ini memiliki potensi
intoleransi baik pada tataran ide, ujaran, wacana maupun tindakan. Atas nama
kebinekaan budaya, pemerintah dan pemangku kepentingan lain wajib menciptakan
tandingan budaya (counter culture) terhadap intoleransi. Indonesia semakin
bermartabat tanpa intoleransi!
(Indra Tranggono, Pemerhati
Kebudayaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar