PERPAJAKAN
”Omnibus Law” dan Reformasi Pajak
Oleh : YUSTINUS PRASTOWO
KOMPAS, 4 Desember 2019
Hari-hari
ini kita mengalami demam ”omnibus law”. Maklum, cuaca tata kelola pemerintahan
sedang mendung, lantaran begitu banyak tumpang tindih regulasi dan kewenangan.
Gagasan
omnibus law lalu menjadi oase yang menyejukkan dan memberikan harapan bagi
terobosan yang efektif. Meski patut diapresiasi dan disambut baik, arah dan
substansi omnibus law tetap harus dikawal supaya tidak menyimpan konsekuensi
tersembunyi (unintended consequences) yang akan menjadi beban sejarah.
Benarkah pajak menghambat?
Tak
dimungkiri berbagai keluhan tentang pajak datang bertubi-tubi dari kalangan
pengusaha, bahkan tak jarang langsung terekam di dinding Istana dan menjadi
perhatian Presiden Jokowi. Sebagian sudah direspons dengan perubahan kebijakan
dan aturan, sebagian lagi harus dianggap angin lalu karena lebih bersifat
sebagai curhat personal yang subyektif. Terlepas dari perdebatan apakah pajak
memang menghambat investasi, sebaiknya kita menilik berbagai hasil kajian yang
kredibel sebagai landasan pengambilan keputusan.
Hal ini
penting agar kita memiliki identifikasi dan pemahaman latar belakang
permasalahan yang tepat. Menurut survei Daya Saing Global Bank Dunia (2018),
perpajakan menjadi faktor keempat yang memengaruhi keputusan investasi di
negara berkembang, setelah jaminan perlindungan investasi, transparansi dan
keteramalan, dan kemudahan memperoleh izin.
Dalam
laporan bersama bertajuk Tax and Certainty (2017), OECD dan IMF menggarisbawahi
pentingnya kepastian kebijakan perpajakan sebagai kondisi untuk menarik minat
investasi, lebih penting dibandingkan kepastian kebijakan makroekonomi dan
biaya tenaga kerja, dan berada di bawah korupsi dan kepastian politik.
Menurut
survei ini, faktor penting terkait perpajakan antara lain tarif pajak efektif,
netralitas pengkreditan, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan
implementasi tax treaty. Investor juga menyoroti sumber ketidakpastian, yaitu
birokrasi dan administrasi berbelit-belit, sistem hukum yang tak jelas,
implementasi kebijakan dan regulasi yang tak konsisten, dan penyelesaian
sengketa pajak yang tak efektif.
Jika menilik
survei lembaga internasional yang kredibel, tak dimungkiri pajak faktor penting
yang memengaruhi minat dan selera investasi, terlebih jika dipersempit secara
sektoral. Survei Fraser Institute (2018) menunjukkan penilaian yang buruk dari
para investor sektor migas terhadap fiscal term Indonesia yang dianggap tak
kompetitif dan tak menarik. The Economist (2018) juga punya temuan menarik di
sektor ekonomi digital, bahwa kebijakan pajak jadi faktor penting ketiga bagi
investor selain digital talent dan iklim investasi.
Problem
mendasarnya, apakah kita sudah melakukan identifikasi persoalan secara tepat
tentang faktor-faktor dalam sistem perpajakan yang berpotensi menghambat
perekonomian dan investasi, apakah terkait kebijakan, regulasi, atau
administrasi. Sudah adakah assessment dan evaluasi memadai terhadap skema
insentif fiskal yang telah secara masif digelontorkan, apakah obat baru yang
ditawarkan melalui skema omnibus law akan mujarab, dan bagaimana relasi antara
skema omnibus law perpajakan dan keberlanjutan reformasi pajak.
Fokus perubahan
Berdasarkan
keterangan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, rancangan omnibus law perpajakan
mencakup penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan tarif PPh atas
dividen untuk menarik investasi dan repatriasi dana, relaksasi sanksi
administrasi dan pengakuan pajak masukan untuk mendorong fairness dan kepatuhan
sukarela, perubahan terbatas dari sistem worldwide income ke territorial untuk
subyek pajak berdasarkan time test, pengaturan terhadap perdagangan dengan
sistem elektronik khususnya pemungutan PPN oleh perusahaan yang tak berdomisili
di Indonesia, redesain kewenangan penentuan tarif Pajak Daerah, dan integrasi
landasan hukum untuk fasilitas perpajakan.
Sebagai
sebuah terobosan, tentu saja langkah ini patut diapresiasi karena kita
dihadapkan pada situasi yang butuh respons cepat. Namun, jika mencermati
terbatasnya cakupan perubahan yang signifikan dalam rancangan omnibus law,
publik dapat mengajukan beberapa praduga, analisis, dan catatan. Pertama, patut
diduga momentum omnibus law digunakan untuk merealisasikan penurunan tarif PPh
yang sudah dijanjikan sebelumnya meski belum menyentuh reformulasi tarif PPh
Orang Pribadi.
Jika
mengikuti skema normal, perubahan hanya dapat dilakukan melalui revisi UU Pajak
Penghasilan yang akan makan waktu lama. Penurunan tarif PPh hal wajar, terutama
jika tujuannya menjaga daya saing dan daya tarik dengan negara lain. Hanya
saja, risiko jangka pendek berupa tergerusnya penerimaan pajak mesti
diwaspadai. Tak ada bukti empirik yang kuat bahwa pasca-penurunan tarif PPh
Badan akan terjadi banjir investasi dan diikuti peningkatan penerimaan pajak.
Dengan demikian, perluasan basis pajak untuk menambal potential loss mutlak
harus dilakukan.
Kedua,
wacana peralihan ke rezim teritorial sempat membuka peluang munculnya penumpang
gelap yang menginginkan penerapan sistem teritorial murni. Konsekuensinya,
terhadap seluruh harta dan penghasilan di luar Indonesia bukan merupakan obyek
pajak. Ini berarti pemberian pengampunan pajak yang lebih dahsyat ketimbang
amnesti pajak kurun 2016-2017.
Ketiga,
relaksasi sanksi administrasi dan pengakuan pajak masukan cukup melegakan dan
mencerminkan perubahan paradigma otoritas pajak, bahwa upaya membangun
kepatuhan pajak harus dimulai dengan penciptaan fairness dan sikap saling
percaya. Hanya saja, pembenahan administrasi ini masih hambar lantaran tak
sekaligus mencakup perbaikan tata kelola sengketa pajak yang selama ini kerap
dikeluhkan, seperti tata kelola pemeriksaan pajak dan pemendekan jangka waktu
penyelesaian keberatan dan banding.
Keempat,
upaya membangun level playing field antara ranah konvensional dan ranah digital
menunjukkan kemajuan meski pilihan kita cukup moderat, yaitu baru memungut PPN
sembari menunggu diselesaikannya kerangka kerja OECD dan G-20 untuk memajaki
ekonomi digital. Meski begitu, tetap perlu kehati-hatian dan memastikan
kesiapan kita hingga tataran teknis-administrasi sehingga ekosistem yang
dibangun tetap terjaga.
Kelima,
langkah memasukkan Pajak Daerah dalam skema omnibus law sangat tepat karena
kebijakan dan praktik pemungutan Pajak Daerah salah satu faktor yang banyak
dikeluhkan pelaku usaha. Ketiadaan rasionalitas penentuan tarif, pemungutan
pajak yang tak profesional, inkompetensi petugas, dan buruknya administrasi
masih jadi kendala umum. Hal yang perlu diantisipasi adalah penolakan daerah
terhadap skenario ini yang dapat berujung pada kemandekan di tataran
implementasi.
Keenam,
dilema omnibus law ada pada tegangan antara kebutuhan terobosan yang cepat dan
tumpukan permasalahan yang mendesak diselesaikan. Jika mengatur terlalu banyak,
dikhawatirkan bertele-tele dan kita kehilangan momentum. Sebaliknya, cara
eklektik berisiko banyak agenda penting dan mendesak tercecer. Pada gilirannya,
gelontoran insentif dan penurunan penerimaan negara tak diimbangi perluasan
basis pajak dan peningkatan kapasitas negara mendapatkan sumber pembiayaan baru
yang memadai. Jika demikian, melampaui skenario omnibus law, kita butuh grand
design kebijakan dan peta jalan yang lebih komprehensif, berjangka waktu
panjang, dan berkelanjutan.
Menuntaskan agenda reformasi
Kegamangan
yang menggelayuti para pemangku kepentingan sektor perpajakan adalah agenda
tersirat bahwa skema omnibus law akan menihilkan upaya pembaruan yang sedang
dijalankan (on/off policy). Lugasnya, siapa yang akan menjamin dan memastikan
keduanya berjalan di rel yang sama? Ini karena omnibus law rawan jadi interupsi
politik terhadap proses reformasi perpajakan yang sedang berjalan. Untuk itu,
perlu diperhatikan beberapa langkah strategis.
Pertama,
demi memastikan omnibus law perpajakan memiliki visi yang sama reformasi
perpajakan, relasi antara dua agenda ini harus komplementer dan saling
mendukung. Agenda omnibus law berfokus pada upaya menjawab tantangan dan
permasalahan penting dan mendesak, sedangkan reformasi pajak berfokus pada
upaya perbaikan holistik-komprehensif pada jangka menengah-panjang. Agenda
penting perlu diterjemahkan dalam peta jalan yang terang, jelas, terukur, dan
mengikat. Pengejawantahan otentik dari visi ini adalah pembahasan serentak
perubahan UU Perpajakan (UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Pengadilan Pajak, UU
Kepabeanan, UU Cukai, UU PDRD, UU PBB, dan RUU Konsultan Pajak), yang akan
menjadi pijakan bagi era baru perpajakan.
Kedua,
perluasan basis pajak terus dilakukan, antara lain dukungan penuh terhadap
tindak lanjut data perpajakan pasca-amnesti dan hasil akses/pertukaran
informasi, terutama dalam rangka penegakan hukum.
Koordinasi
dan sinergi menjadi keniscayaan karena bukan rahasia lagi di lapangan terjadi
aksi saling kunci dan adu kewenangan yang motifnya adalah pelemahan dan
pengeroposan kinerja perpajakan. Ini batu uji atas komitmen penguasa dan
pengusaha bahwa perilaku di era pasca-amnesti harus mengarah pada transparansi
dan kepatuhan kolaboratif. Bukan rahasia, misalnya, Tim Saber Pungli di
beberapa daerah justru jadi instrumen perlawanan wajib pajak (WP) hitam
terhadap otoritas pajak. Atau lembaga peradilan yang kerap menjadi tax shelter
karena menjatuhkan vonis ringan pada pengemplang pajak.
Ketiga,
inisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai common identifier
(penanda tunggal) seluruh transaksi dan aktivitas warga negara, termasuk
pemutakhiran data NIK pada basis data sektor keuangan. Dalam jangka pendek, NIK
harus digunakan sebagai identitas wajib dalam Faktur Pajak pada setiap
transaksi yang melibatkan orang pribadi. Selaras dengan itu, upaya perbaikan
administrasi perpajakan (core tax system) harus didukung dan dituntaskan. Tanpa
dukungan teknologi informasi yang mumpuni, kita akan semakin kesulitan mengejar
potensi pajak baru.
Keempat,
melakukan perbaikan administrasi dan tata kelola perpajakan terhadap isu-isu
utama yang belum tercakup dalam omnibus law. Hal ini dapat diawali dengan
survei persepsi WP, identifikasi permasalahan di lapangan, dan upaya duduk
bersama antara otoritas pajak, DPR, dan komunitas WP. Apa yang sudah dan telah
dikerjakan dalam program reformasi pajak perlu diperkuat dan dituntaskan, terutama
simplifikasi administrasi dan standardisasi praktik pemungutan pajak di
lapangan.
Terakhir,
dilakukan evaluasi menyeluruh dan reorientasi skema fasilitas perpajakan yang
selama ini telah digelontorkan, terutama dampak pengganda, daya ungkit, ketepatan,
dan kemujarabannya. Tanpa evaluasi dan penghitungan dampak, pemberian fasilitas
perpajakan bisa tak tepat sasaran dan hanya menggerus penerimaan pajak yang
merugikan keberlanjutan pembangunan bangsa.
Insentif
harus diarahkan pada upaya mendorong ekspor, memperkuat reindustrialisasi,
memperkuat UMKM dan koperasi, meningkatkan produktivitas modal,
mengintegrasikan ekonomi dalam global value chain, mendorong penyerapan tenaga
kerja, mendukung riset dan pengembangan.
Akhirnya, rencana
implementasi omnibus law tetap harus diikuti kewaspadaan ganda. Mumpung belum
rampung disusun, publik wajib terus mengingatkan pemerintah dan DPR, daya tarik
investasi utama adalah komitmen politik yang kuat terhadap arah kebijakan yang
terang (clarity), kepastian hukum (certainty), dan praktik yang
harmonis-serempak (consistency). Melampaui harapan bahwa omnibus law akan
menjadi panacea yang manjur untuk segala penyakit, butuh kepemimpinan kuat dan
selalu awas agar mampu menimbang dengan bijak dan bajik tegangan antara
kemendesakan, keinginan tersembunyi, hasrat menghindar pajak, dan kebutuhan
menjaga kesinambungan.
Pajak adalah
artefak kedaulatan negara-bangsa terakhir yang tersisa. Ikhtiar membangun
sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel adalah wujud kesetiaan
kita pada visi para pendiri bangsa, yakni Indonesia maju, adil, dan sejahtera.
Kritik atas proyek omnibus law adalah jangan sampai kita terlalu gaspol dan
kebablasan karena rem blong. Sejarah mencatat banyak beban harus kita tanggung
karena kebijakan masa lalu yang serampangan. Meminjam ungkapan Steve A Bank,
jika di masa lalu pajak ibarat pedang, kini pajak adalah perisai masa depan.
Hari-hari ini komitmen dan konsistensi kita sungguh diuji dan dinanti.
(Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia
Taxation Analysis)
numpang promote ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^
BalasHapus===Agens128 bagi uang Tunai===
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128Agens128