Negara yang Bukan-bukan
Oleh : ALISSA WAHID
KOMPAS, 22 Desember 2019
Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara
sekuler, maka paling tepat Indonesia disebut sebagai negara yang bukan-bukan.
Demikian salah satu pandangan jenaka Gus Dur yang membawa sebuah muatan kritis
yang sangat fundamental: betapa tidak mudahnya menjaga keseimbangan antara
prinsip demokratik dalam sebuah negara yang tidak berasaskan agama, tetapi di
sisi lain sangat kuat kehidupan keberagamaannya. Tergelincir ke satu sisi akan
membawa ketegangan yang luar biasa karena sisi diametralnya akan meregang dan
meradang.
Meski demikian, Indonesia justru selama ini dipuji
sebagai negara yang demokratis dan secara umum tidak ditekan oleh pengaruh
doktrin agama tertentu. Keberagamaan dapat terjaga dalam keberagaman, sedangkan
keberagaman tidak mati ditindas praktik keberagamaan.
Justru di sinilah letak keajaiban Indonesia yang
menyebabkannya dikagumi dunia. Ini dapat terjadi karena watak dan tradisi
kehidupan beragama di Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad merupakan
watak dan tradisi moderasi beragama atau beragama secara moderat (jalan
tengah). Watak ini tampil dalam ciri-ciri tradisi moderasi beragama di bumi
Indonesia, yang oleh Kementerian Agama (2019) dikemas menjadi empat indikator
praktik moderasi beragama.
Ciri pertama adalah komitmen kebangsaan. Setiap agama dan
kepercayaan di Indonesia memiliki komitmen yang dinyatakan dengan jelas tentang
cinta tanah air. Misalnya, umat Katolik di Indonesia terikat dengan ajaran Mon
Soegijopranoto tentang 100 persen Katolik 100 persen Indonesia. Anggota
Muhammadiyah meresapi pandangan resmi organisasi bahwa negara Republik
Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah (negara kesepakatan nasional yang harus
dibangun bersama). Kaum Nahdliyin hidup dengan doktrin hubbul wathon minal iman
(mencintai bangsa adalah sebagian dari iman).
Ciri kedua adalah toleransi antarkelompok yang kuat.
Sudut-sudut Indonesia memberikan bukti tentang praktik kehidupan yang saling
menghargai dan memperkuat. Semisal tradisi pela gandong di Maluku dan bakudapa
di Manado.
Bahkan, tradisi toleransi ini dikukuhkan oleh Sunan Kudus
saat mengajari warga Muslim Kudus untuk menyembelih kerbau karena sapi adalah
hewan suci bagi penduduk Hindu yang banyak mendiami daerah pantai utara Jawa di
seputar Kudus. Terdapat penerimaan yang tulus atas perbedaan yang ada, saling
memahami kebutuhan kelompok yang berbeda.
Praktik inilah yang akhir-akhir ini digerus oleh sikap
menuntut dan memaksa kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan kelompoknya
sendiri, biasanya atas dasar mayoritarianisme atau identitas pribumi.
Ciri ketiga adalah sikap anti-kekerasan yang mengikuti
dan menjamin ciri toleran di atas. Tanpa sikap pendamai, tidak mungkin
toleransi mendalam dapat diwujudkan selama ratusan tahun di Nusantara ini. Kita
menyaksikan betapa berbahayanya jika merebak kekerasan atas nama agama dalam
dua dekade terakhir ini, baik di Ambon, Poso, maupun dalam kasus-kasus gesekan
antarkelompok yang meningkat dalam satu dekade terakhir ini.
Penerimaan terhadap tradisi dan adat setempat merupakan
ciri terakhir praktik moderasi beragama. Dalam konteks masyarakat Islam, Gus
Dur menamakannya sebagai praktik pribumisasi Islam, saat tradisi dan adat dapat
menjadi pewujudan nilai-nilai universal agama Islam. Demikian pula praktik
agama-agama lain di Indonesia yang saling menyelaraskan dengan tradisi dan adat
setempat.
Dari keempat ciri ini, kita dapat menarik dua prinsip
utama yang menghidupi praktik moderasi beragama di Indonesia: adil dan berimbang.
Prinsip adil menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama yang beragam untuk
dapat hidup bersama dengan damai. Prinsip berimbang membuat warga bangsa tidak
gamang antara menjadi umat beragama dan menjadi warga negara yang baik, antara
beribadah dan menghormati tradisi/adat, antara kepentingan kelompok dan
kepentingan bersama sebagai warga bangsa.
Tujuh kata kunci: moderasi, adil, berimbang, cinta tanah
air, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Inilah yang
menjaga bangsa kita melintasi ruang sejarah sampai saat ini dalam keselarasan
antara kehidupan keberagamaan dan kehidupan kebangsaan. Demikianlah wujud hidup
bersama Pancasila.
Ini tidak berarti kita boleh terninabobokan oleh
kebanggaan itu. Akhir-akhir ini, garis kecenderungan kita mengarah pada
tumbuhnya sikap eksklusivisme beragama, yang di media sosial ditandai dengan
kalimat-kalimat khas, seperti ”agamamu apa?” untuk membangun tembok antara
kelompok kita dan kelompok liyan. Ini terjadi karena praktik-praktik di atas
tergerus oleh praktik-praktik baru yang tak selaras dengan moderasi beragama.
Sejatinya, untuk menahan gerusan tersebut, dan demi
menjaga integritas kita sebagai bangsa, praktik serta prinsip moderasi beragama
perlu diperkuat kembali.
Alih-alih deradikalisasi yang membawa suasana batin yang
reaktif dan defensif, moderasi beragama dapat menjadi strategi yang lebih
efektif karena ia berangkat dari kearifan sejarah bangsa Indonesia yang telah
berlangsung berabad-abad.
Rupanya betul kata Gus Dur: negara ini adalah negara yang
bukan-bukan dan justru di situlah senjata rahasia kita untuk menjaga
keseimbangan prinsip demokrasi dan kehidupan keberagamaan yang kuat,
sebagaimana diilhamkan oleh Pancasila. Mampukah kita menjaga senjata rahasia
itu? ***
BalasHapusayo daftar di agen365*com :D
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny