PEMBENAHAN BUMN
Tantangan Menteri BUMN
Oleh : PAUL SUTARYONO
KOMPAS, 14 November 2019
Sungguh,
Erick Thohir menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadapi segunung
tantangan selain “warisan” menteri sebelumnya. Apa saja tantangan itu? “Cuci
piring!”
Kontribusi
yang meliputi pajak, dividen dan pembayaran non pajak juga terus mendaki dari
Rp 303 triliun pada 2015 menjadi Rp 309 triliun (1,98 persen), Rp 354 triliun
(14,56 persen) dan Rp 422 triliun (19,21 persen) pada 2016, 2017 dan 2018.
Rapor agak biru.
Aneka tantangan
Lantas, apa
saja tantangan ke depan? Apa saja langkah strategis untuk menghadapi tantangan
itu? Pertama, reformasi birokrasi. Sejatinya lokomotif tak akan mampu berjalan
cepat tanpa dukungan deretan gerbong yang baik.
Artinya,
keberhasilan menteri itu bukan hanya tergantung sosok menteri tetapi juga
bawahannya di kementerian yang meliputi lima eselon. Karena itu, mandat
Presiden Jokowi untuk memangkas eselon 3, 4 dan 5 merupakan angin segar untuk
mengerek efisiensi dan mempercepat putusan dan eksekusi program.
Saatnya
menerapkan penilaian tahunan pegawai dengan menggunakan ukuran kinerja (key
performance indicators /KPI). KPI merupakan ukuran kuantitatif yang digunakan
untuk mengukur penilaian tahunan pegawai dalam suatu organisasi.
Mengingat
KPI diturunkan dari visi, misi dan nilai-nilai organisasi, maka semua pegawai
memiliki target berbeda tetapi dengan tujuan sama. Apakah setiap kementerian,
lembaga pemerintah dan BUMN sudah menerapkan KPI? Saya khawatir belum. Ini
tantangan serius bagi Kementerian BUMN meski sebagian BUMN sudah menerapkan.
Kedua,
segregasi wewenang. Sungguh tepat dipilihnya dua wakil menteri (wamen) BUMN.
Budi Gunadi Sadikin yang mantan direktur utama (dirut) PT Inalum dan PT Bank
Mandiri bertugas meningkatkan peran BUMN untuk kesejahteraan rakyat. Kartika
Wirjoatmodjo, mantan dirut PT Bank Mandiri dan direktur eksekutif Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) bertugas untuk meningkatkan kompetensi BUMN agar bisa
bersaing dengan perusahaan swasta.
Dalam
praktiknya, kehadiran wamen akan bersinggungan dengan tugas eselon 1 yakni
sekretaris kementerian, deputi (selama ini ada empat) dan staf ahli (ada dua).
Untuk itu, menteri BUMN harus menetapkan wewenang dan tugas wamen dan ketiga
pejabat itu dengan terang-benderang. Tugas wamen sepatutnya bersifat
koordinatif dan sekretaris kementerian bersifat administratif, deputi, dan staf
ahli bersifat operasional. Segregasi wewenang yang tegas dapat menciptakan
sinergi mencapai target.
Ketiga,
bersih-bersih. Apa saja “warisan” menteri sebelumnya? Pada akhir 2018, PT
Asuransi Jiwasraya merugi Rp 15,83 triliun. PT Krakatau Steel merugi Rp 1,09
triliun pada 2018. Perum Bulog merugi Rp 961,78 miliar. PT Dirgantara Indonesia
merugi Rp 961,78 miliar. PT PAL Indonesia merugi Rp 304,15 miliar. PT Dok dan
Perkapalan Kodja Bahari merugi Rp 272,87 miliar. Pun PT Sang Hyang Seri merugi
Rp 182,54 miliar. PT Iglas merugi Rp 84,61 miliar. PT Pertani merugi Rp 83,07
miliar. PT Kertas Kraft Aceh merugi Rp 75,11 miliar. PT Varuna Tirta Prakas
merugi Rp 6,65 miliar. PT Indofarma merugi Rp 32,73 miliar (infobanknews.com,
23/10/2019). Plus berbagai kasus dugaan korupsi yang dilakukan direksi BUMN.
Aduh!
Bagaimana
alternatif solusinya? Evaluasi semua komisaris dan direksi terutama yang
bermasalah dan audit keuangan khusus. Upaya itu bertujuan untuk memastikan
kerugian itu merupakan risiko bisnis atau salah kelola (mismanagement). Kini
waktunya untuk membangun BUMN yang modern dan terkemuka sehingga mampu bersaing
di tingkat kawasan, apalagi global. Untuk itu diperlukan komisaris dan direksi
yang memiliki integritas tinggi, kompetensi tinggi, visi jauh dan profesional.
Sebagai
bentuk sinergi antar-BUMN, bank BUMN dapat diminta mengucurkan kredit untuk
memperbaiki kinerja keuangan BUMN yang sedang sakit itu. Ada pula kiat lain
seperti penyertaan modal negara (PMN), penerbitan obligasi subordinasi
(subdebt) atau divestasi sebagian aset ke investor asing. Kiat terakhir itu
akan disambut hangat investor asing lantaran Indonesia memiliki penduduk 267
jiwa yang merupakan basis pasar maha luas dan gurih.
Keempat,
tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perlu meninjau kembali penerapan
prinsip-prinsip GCG yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban dan kewajaran. Hal itu termasuk penerapan manajemen risiko
terintegrasi terutama BUMN dengan banyak anak perusahaan. Ketika ada anak
perusahaan terpapar risiko, maka risiko itu tak akan menjalar ke anak
perusahaan lain karena potensi risiko sudah dihitung sebelumnya.
Kelima,
pengendalian utang. BUMN beserta anak perusahaannya memiliki utang Rp 3.200
triliun per semester I-2019 (Kontan, 25/10/2019). Terutama BUMN Karya lantaran
membiayai proyek infrastruktur. Pengalaman Erick Thohir sebagai pelaku bisnis
yang unggul ditantang untuk menjamin bahwa utang itu terkendali, terlebih utang
valas untuk mencegah risiko gagal bayar (default risk) saat resesi global
menerkam.
Ancaman resesi dan disrupsi
Keenam,
antisipasi resesi. Bukan hanya menteri keuangan, tetapi juga menteri tim
ekonomi seperti menteri BUMN, menteri pertanian, menteri perdagangan dan
menteri perindustrian harus mampu mengantisipasi ancaman resesi yang makin
mengental.
Ancaman
resesi mulai tampak di perbankan ketika pertumbuhan kredit terus menurun.
Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit secara
tahunan (year on year/yoy) melambat dari 9,84 persen pada Juni 2019 menjadi
9,52 persen dan 8,52 persen per Juli dan Agustus 2019.
Dana pihak
ketiga (DPK) pun melambat 7,27 persen, 7,93 persen dan 7,52 persen
masing-masing per Juni, Juli dan Agustus 2019. Likuiditas ketat itu lebih
tersurat jelas dalam rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit
ratio/LDR) yang tinggi 94,98 persen, 94,48 persen dan 94,66 persen pada tiga
bulan terakhir Juni-Agustus 2019. Angka itu di atas LDR ideal 78-92 persen.
Akibatnya,
hanya kelompok Bank Asing, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Bank
Persero yang mampu meraih kenaikan laba sebelum pajak masing-masing 64,38
persen, 9,11 persen dan 6,78 persen per Agustus 2019. Sebaliknya, laba sebelum
pajak Bank Campuran, BUSN Non Devisa dan Bank Pembangunan Daerah (BPD)
masing-masing justru turun 13,76 persen, 11,79 persen dan 2,99 persen.
Ditambah
lagi, korporasi Duniatex Group yang merupakan debitor 21 bank mulai limbung.
Kasus kritis utang berawal ketika PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) anak
usaha Duniatex Group mengalami gagal bayar dalam membayar pokok utang dan bunga
pinjaman dalam kredit sindikasi 11 juta dollar AS yang jatuh tempo. PT Delta
Merlin Dunia Textile (DMDT) menghadapi tantangan untuk memenuhi kewajiban 5
juta dollar AS pada September dan harus mulai membayar bunga obligasi 13 juta
dollar AS dari surat utang dengan total 300 juta dollar AS.
Hal itu
menjadi beban berat bagi bank tatkala utang berubah menjadi kredit bermasalah
(non performing loan/NPL). Akhirnya, bank harus membuat cadangan kerugian
penurunan nilai (CKPN) sesuai dengan kualitas kredit.
Ada lima
kolektibilitas yakni kredit lancar (kolektibilitas 1), kredit dalam perhatian
khusus (kolektibilitas 2), kredit kurang lancar (kolektibilitas 3), kredit
diragukan (kolektibilitas 4) dan kredit macet (kolektibilitas 5).
Kolektibilitas 3, 4 dan 5 itu disebut NPL. Alhasil, bank harus menyediakan
cadangan minimal 15 persen, 50 persen dan 100 persen dari kredit dikurangi
agunan masing-masing untuk kualitas kredit kurang lancar, kredit diragukan dan
kredit macet. Cadangan itu akan menekan laba bahkan menggerus modal. Untuk itu,
BI disarankan terus melakukan stress test. Upaya itu memastikan apakah bank
mampu menahan ketidakstabilan ekonomi ke depan.
Ketujuh,
ancaman pemutusan hubungan kerja. Majalah Infobank (31/10/2019) mencatat pada
2014-2018 terjadi pengurangan 38.831 tenaga kerja di 114 bank umum dan bisa
melebihi 40.000 orang hingga akhir 2019. Tetapi ingat itu bukan hanya karena
krisis tetapi juga disrupsi teknologi seperti lahirnya perusahaan teknologi
finansial (tekfin). Dampak positifnya, tekfin dapat memacu bank untuk menggali
aneka produk berbasis teknologi. Namun itu belum cukup. Bank harus pula
mengubah model bisnis supaya lebih mampu bersaing dan bertahan dalam sengitnya
persaingan.
Kedelapan,
induk perusahaan. Apakah pembentukan induk perusahaan BUMN akan dilanjutkan?
Hendaknya amat hati-hati dalam membentuk induk perusahaan BUMN keuangan dan
perbankan. Mengapa? Karena bank BUMN memiliki jutaan nasabah yang harus
dilindungi. Akan lebih baik manakala Kementerian BUMN menggandeng perguruan
tinggi untuk membuat kajian akademis untuk memastikan manfaat induk perusahaan
dan analisis dampaknya.
Di sisi
lain, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berada di bawah koordinasi
menteri keuangan dengan anggota Gubernur BI, Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan LPS wajib lebih meningkatkan kewaspadaan. Pencegahan dan penanganan
bank sistemik menjadi fokus utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan.
Berbekal
aneka langkah strategis demikian, BUMN diharapkan menjadi kian modern,
profesional dan terkemuka.
(Paul Sutaryono ; Staf Ahli Pusat Studi
BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar