ANALISIS POLITIK
Meniti Jembatan Rawan
Oleh
: YUDI LATIF, Direktur Sekolah
Pancasila
KOMPAS, 14 November 2019
Negara ini
tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Ada gejolak kecemasan yang merambat di
bawah selubung pencitraan. Ke mana saja kita melangkah, sulit menemukan tumpuan
yang kukuh. Ekonomi melemas, sektor riil memelas, impor menderas, kesenjangan
meluas, demokrasi oligarkis, kepemimpinan mediokritas, birokrasi nirintegritas,
pendidikan tidak berkualitas, kohesi sosial meretas, agama mengeras, rasa
saling percaya meranggas, dan kebanggaan nasional terjun bebas.
Yang
dikhawatirkan adalah mengerasnya radikalisme agama, pilihannya malah politisasi
kampanye anti-radikalisme agama dengan memproduksi stigma, yang dapat
menguatkan identitas kelompok dan menjadikannya sebagai simbol perlawanan
politik. Yang diinginkan kohesi sosial, pilihannya malah framing wacana yang
menciptakan pembelahan sosial. Yang diimpikan kemajuan bangsa, pilihannya malah
cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan
insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang menekuni
kedalaman di jalan sunyi.
Di berbagai
kesempatan, para pejabat negara menyerukan revitalisasi Pancasila sebagai
panasea atas berbagai kemelut kebangsaan. Namun, imajinasi terjauh dari
pemasyarakatan Pancasila masih semacam penataran. Padahal, apabila Pancasila
dikehendaki efektivitasnya, ia harus diimplementasikan tidak hanya dalam
kerangka tata nilai, tetapi juga dalam tata kelola negara dan tata sejahtera.
Pancasila
itu dimulai dari sila yang abstrak dan berakhir dengan yang konkret. Makin
konkret, makin sulit pembumiannya. Masalahnya, bilamana kita gagal mewujudkan
yang konkret, banyak orang akan menguatkan pegangannya ke langit abstrak,
sebagai mekanisme pertahanan diri. Oleh karena itu, cara yang paling tepat
merevitalisasi Pancasila adalah dengan melakukan semacam rekayasa terbalik.
Kita harus menjadikan urusan keadilan sosial di posisi terdepan sebagai
lokomotif untuk menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya.
Sila
Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinsip
Pancasila. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok
perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi,
perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya.
Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari
perwujudan keadilan sosial dalam peri kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan
persatuan bisa dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial.
Betapapun
kuatnya jahitan persatuan nasional, apabila ketidakadilan tak lagi tertahankan,
perlawanan dan kecemburuan sosial akan meruyak dalam ragam ekspresi kekerasan
dengan menggunakan baju identitas sebagai legitimasi simboliknya. Fakta-fakta
empiris menunjukkan, daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan
kesenjangan sosial yang lebar merupakan ladang persemaian subur bibit-bibit
kekerasan. Meluasnya rasa ketidakadilan juga bukan wahana yang kondusif bagi
pengapresiasian gagasan inklusi sosial.
Tendensi
perekonomian yang melandai dibarengi kesenjangan sosial yang lebar menyimpan
bom waktu bagi bentrokan sosial. Rachel M McCleary & Robert J Barro dalam
The Wealth of Religions (2019) mengingatkan bahwa peningkatan tingkat
pendidikan dalam kemunduran perekonomian bisa melahirkan sumber daya yang tak
termanfaatkan (under-utilized human capital). Orang terdidik, dengan ekspektasi
mobilitas vertikal, mendapati peluang usaha dan kerja yang menyempit, bisa
berpaling pada kelompok keagamaan militan sebagai jangkar keyakinan, identitas,
dan jaminan sosial.
Lewat
symptomatic reading, penguatan radikalisme agama harus dipandang sebagai
pertanda kelemahan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam kehidupan
bernegara. Pemerintahan yang bertanggung jawab akan menjadikan hal itu sebagai
sarana koreksi diri ketimbang sekadar menyalahkan atau memperhadapkan sesama
warganya.
Dalam meniti
jembatan rawan ini, tantangan terberatnya ialah memulihkan rasa saling percaya.
Rasa saling percaya bisa dirajut lewat penguatan inklusi sosial berbasis
keadilan sosial. Negara harus hadir memenuhi amanat pokok pikiran pertama
Pembukaan UUD 1945: ”Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan,
dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar