Radikalisme ASN: ”Halu” atau Nyata
Oleh : SAIFUR ROHMAN
KOMPAS, 20 November 2019
Sebelas kementerian
dan lembaga meluncurkan portal aduan untuk aparatur sipil negara, atau ASN pada
Selasa (12/11/2019).
Menurut
pemerintah, portal itu dimaksudkan sebagai respons terhadap pegawai negeri yang
diduga terpapar radikalisme. Perlukah portal tersebut? Jika perlu, apakah
langkah itu efektif untuk menangkal radikalisme?
Setara
Institute menyatakan, sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar
radikalisme. Hal itu terbukti melalui kajian-kajian keagamaan yang dikuasai
oleh kelompok-kelompok tertentu. Kesepuluh PTN itu adalah Universitas Indonesia
(UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM),
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UIN Jakarta, UIN Bandung, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, dan
Universitas Airlangga. Di beberapa institusi kepemerintahan, wacana radikalisme
terus menyebar, bahkan dalam TNI dan polisi.
Produk berita palsu
Pernyataan
tersebut memberikan bias informasi. Jika memang sudah terpapar dan terbukti,
pemerintah dapat melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku radikal
tersebut. Artinya, pemerintah dapat melakukan tindakan hukum yang adil dan
terbuka. Sampai sejauh ini, pemerintah belum melakukan tindakan tersebut.
Sampai klaim
itu belum terbukti, data itu bisa saja menjadi bagian dari kategori berita
palsu. Di sisi lain, peluncuran portal itu dijadikan sebagai langkah antisipasi
agar data tersebut tidak meningkat.
Dalam
perspektif McLuhan, media adalah pesan dan portal aduan adalah sebuah pesan
dari pemerintah kepada masyarakat. Melalui pemahaman Anthony Giddens, kita
tahu, struktur interaksi sosial dapat dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni
komunikasi, modalitas, dan struktur (New Rules of Sociological Method, 1993:
129). Modalitas merupakan jembatan antara interaksi masyarakat dan struktur
reproduksi makna. Dalam proses reproduksi makna, diperoleh tiga kemungkinan.
Pertama, komunikasi akan menghasilkan proses penandaan untuk saling memahami.
Kedua, komunikasi akan menghasilkan kesepakatan. Ketiga, komunikasi akan
menghasilkan ancaman kekuasaan.
Bertolak
dari gagasan Giddens dan McLuhan di atas, portal aduan tersebut jelas
memberikan arti tentang adanya ”pesan ancaman” dari kekuasaan terhadap
masyarakat. Jadi, media komunikasi yang hendak dibangun bukanlah didasarkan
upaya saling memahami sebagai bagian dari proses penandaan, melainkan
didasarkan pada proses tekanan dan ancaman.
Hal itu
terbukti dalam fitur-fitur yang diperkenalkan dalam portal tersebut. Portal
http://aduanasn.id sudah dapat dikunjungi dengan memberikan masukan berupa
identitas dan isi laporan. Sekurang-kurangnya terdapat 11 poin yang dijadikan
sebagai fokus aduan.
Antara lain,
ujaran kebencian terhadap Pancasila dan UUD, ujaran kebencian terhadap SARA,
penyebaran konten radikalisme, penyebaran berita menyesatkan, penyelenggaraan
kegiatan yang menghina dasar negara, keikutsertaan di kegiatan penghinaan,
tanggapan berupa like, dislike, love, retweet atas konten radikalisme,
penggunaan atribut yang bertentangan dengan dasar filosofi negara, pelecehan
terhadap simbol negara, dan perbuatan sadar pegawai atas 10 kategori itu.
Melihat
fokus tersebut, tampak pemerintah memusatkan pada persoalan-persoalan tindak
tutur negatif di media sosial. Karena aduan memuat hal-hal negatif, langkah itu
membawa ekses terhadap kondisi psikologis. Misalnya, apakah melalui jempol ini
saya sudah melakukan tindakan melecehkan, menghina, atau menyebarkan
radikalisme?
Spontanitas dan emosional
Langkah
negatif itu membawa lima ekses. Pertama, langkah penyediaan kanal untuk aduan
itu, seperti menyebarkan ketakutan ke tengah kehidupan masyarakat.
Masing-masing berpikir tentang pelbagai kemungkinan yang bisa saja mengancam
kehidupan pribadi dan keluarga. Semboyan ”diam adalah emas” jadi pilihan
daripada menyuarakan gagasan kritis yang bermanfaat untuk mengembangkan dialog
kebangsaan dan kemanusiaan.
Kedua,
menjadi ironi ketika kemajuan di bidang infrastruktur tak diikuti kemajuan
suprastruktur. Pengembangan gagasan kebangsaan tak dilakukan secara terstruktur
dan sistematis, tetapi justru berburu nilai- nilai negatif di tengah-tengah
kehidupan berbangsa. Langkah pemerintah bersifat spontan dan emosional.
Ketiga,
penciptaan portal aduan tidak bermanfaat banyak karena sudah ada mekanisme
pengaduan, kritik, dan komunikasi antara masyarakat, aparatur sipil, dan
pemerintah. Perangkat hukum dan penanganan kasus tersebut selama ini sudah
terbangun melalui prosedur dan langkah yang jelas. Karena itu, revitalisasi
lembaga-lembaga negara merupakan langkah yang jauh lebih mungkin daripada
menciptakan mekanisme baru.
Keempat,
fakta bahwa saluran media sosial yang berkembang selama ini lebih cepat
menyebar daripada rekayasa media yang memerlukan perawatan, biaya, dan
konsistensi dalam tindak lanjut. Sebagai bukti, kasus ujaran kebencian yang
sampai di pengadilan selama ini justru menyebar tanpa kendali pemerintah.
Pemerintah tampak lambat merespons. Hal itu tidak jauh berbeda dengan sikap
pemerintah ke depan terhadap aduan masyarakat.
Kelima,
portal aduan merupakan bentuk kelatahan dalam era teknologi informasi. Bahwa
segala bentuk komunikasi telah didigitalisasi sedemikian rupa sebagai jawaban
atas perubahan zaman. Akan tetapi, itu tidak dimanfaatkan sebagai upaya
mengembangkan proses penandaan yang bermakna untuk mencapai nilai-nilai
bersama. Pengembangan media informasi justru menjadi ancaman bagi kebebasan
berpendapat.
Pendeknya,
meningkatnya intoleransi tak bisa diatasi dengan pembatasan hak-hak
berpendapat. Perlu proses penguraian pola pikir, pandangan, dan keyakinan
secara terus-menerus. Hal yang dibutuhkan pada masa kini adalah mengembangkan
sebuah program yang mengarah pada penyadaran filosofi bangsa, meningkatkan rasa
kebangsaan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Program kebangsaan inilah yang
perlu diluncurkan, bukan portal aduan.
Saifur Rohman , Pengajar Filsafat di
Universitas Negeri Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar