ETIKA
POLITIK
”Ambyar”
Oleh : SINDHUNATA
KOMPAS, 20 November 2019
Seribu kota
sudah kulewati. Seribu hati sudah kutanyai. Tapi tak seorang pun mengerti, ke
mana kau pergi. Bertahun-tahun aku mencari, belum kutemukan kau juga sampai
hari ini. Seandainya kau sudah hidup bahagia, aku sungguh rela. Namun hanya
satu permohonanku, aku ingin bertemu denganmu. Walau hanya sekejap mata,
sekadar untuk obat rindu di dalam dada.
Mengapa
lagu-lagu Didi Kempot bisa memeluk demikian banyak penggemar? Karena
lagu-lagunya mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati, dan janji yang
mudah diingkari. Luka-luka hati itu banyak dialami orang zaman ini. Dan Didi
Kempot dirasa bisa mewakili dan menumpahkan perasaan mereka.
Maka kaum
patah hati itu berkelompok. Yang laki-laki menamai diri Sad Bois, yang
perempuan Sad Gerls. Keduanya berhimpun di bawah nama Sobat Ambyar. Dan pujaan
mereka, Didi Kempot, digelari The Godfather of
The Broken-Heart alias The Lord of Ambyar.
Ambyar, kata
ini sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mengapa kata itu tiba-tiba bisa
demikian populer? Lebih-lebih kenapa ambyar itu bisa mewakili perasaan demikian
banyak orang? Adakah kata itu hanya menyangkut romantisisme orang di sekitar
kesedihan patah hati? Kalau kita bisa bertanya demikian, berarti suatu makna
yang dalam ada di dalam kata ambyar. Dan ambyar itu tak bisa hanya dikembalikan
ke pengalaman patah hati belaka.
Ambyar
seakan adalah kata yang diberikan oleh keadaan zaman agar kita merasakannya
secara lebih luas dan mendalam. Ambyar tak cukup dikembalikan pada Didi Kempot
lagi. Zaman hanya meminjam ambyar-nya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala
dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.
Petaka kemajuan
Dalam
khazanah Jawa, sebagai gejala sejarah, ambyar membuka kembali apa yang
tersimpan dalam ramalan pujangga Ranggawarsita seperti tertulis dalam Serat
Sabda Jati: Para djanma sadjroning djaman pekewuh, kasudranira andadi, dahurune
saja darung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus nora katon—di zaman
serba susah dan salah ini, nista budi manusia makin menjadi-jadi, ruwetnya
hidup terus terjadi, orang-orang sengaja menempuh jalan yang salah, kesetiaan
tiada lagi bisa dilihat mata.
Rupanya
ramalan Serat Sabda Jati tentang datangnya zaman pekewuh, zaman ruwet, zaman
ambyar sedang kita alami sekarang. Di zaman ambyar ini manusia jadi serba
salah. Dan seakan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang sedang menjerat manusia
untuk jadi serba salah.
Zaman ambyar
itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang.
Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk
cita-cita manusia tentang kemajuan.
Maka, kata
filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benyamin: pengertian kemajuan itu dasar dan
titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus berjalan maju adalah petaka
itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang, melainkan apa yang terjadi
sekarang. Kalau kita bicara penyelamatan, ini hanyalah lompatan-lompatan kecil
dari petaka yang terus berkesinambungan itu.
Menurut
garis pemikiran itu, masa depan yang gemilang hanya utopia. Yang akan terjadi
adalah masa depan sebagai petaka. Atau dalam khazanah Jawa, masa depan itu
zaman ewuh-pekewuh, zaman ambyar.
Dalam
literatur Barat, tulisan mengenai petaka atau ambyar itu dengan mudah
ditemukan, mulai dari tulisan-tulisan filsafat, sosiologi kritis, politik,
ekologis, sampai analisis psikologis, sastra, dan refleksi teologis. Jadi,
bencana atau ambyar itu tak hanya mengenai alam dan lingkungan hidup, tetapi
juga mengenai manusia, pemikiran, rasionalitas, dan kondisi psikisnya.
Petaka atau
ambyar dibahas dengan tajam, misalnya, oleh Pankaj Mishra, sarjana keturunan
India, dalam bukunya yang terkenal Age of Anger: a History of the Present
(2017). Ia menunjukkan, akar dari chaos, petaka dan ambyar-nya zaman ini adalah
utopia enlightenment masyarakat Barat. Utopia itu impian indah yang akhirnya
mendarat sebagai realitas mimpi buruk di zaman sekarang.
Enlightenment
dengan buahnya kapitalisme dan demokrasi liberal ditanamkan ke negara-negara
yang tak punya akar tradisi enlightenment Barat. Penanamannya sering dengan
tindakan paksa: invasi militer, yang percaya, setelah itu demokrasi akan mekar
dengan sendirinya.
Utopia
enlightenment mendambakan kemajuan dan kemodernan. Namun, sebaliknyalah yang
terjadi: anti-kemodernan. Di banyak negara, anti-kemodernan ini berhimpun
menjadi aksi radikalisme agama, kekerasan, dan teror.
Menurut
Mishra, aksi-aksi itu bukan pertama-tama bertujuan merusak kemapanan yang
dimiliki kemajuan dan kemodernan. Sebaliknya, aksi-aksi itu ingin menikmati
kemapanan itu. Namun, alam semesta sebagai sumber daya yang terbatas ini pasti
tak bisa memberikan apa yang ingin mereka nikmati, apalagi semuanya itu sudah
berada di tangan mereka yang maju dan modern.
Akibatnya
adalah ressentiment, kebencian. Maka, Mishra mengetengahkan pentingnya kita
memahami kembali pemikiran filsuf Rousseau dan Nietzsche. Keduanya berpendapat,
ressentiment terjadi karena pengalaman inferior, yang kemudian mengecamukkan
perasaan iri hati. Maunya meniru, tetapi tak mampu.
Hasrat
meniru itu terus meninggi, sementara kemampuan diri kian tertinggal jauh.
Janji-janji kemodernan tentang pemerataan akhirnya hanya mimpi. Si pemimpi
kemudian menjumpai realitasnya tak sejalan dengan impiannya.
Hidupnya
merana, dalam hal keadilan, pendidikan, status, kekuasaan, dan kesejahteraan.
Hidupnya ternyata ambyar. Siapa yang mau ambyar? Maka mereka yang dikecewakan
ini frustrasi. Karena frustrasi, mereka lalu marah, protes, jadi radikal, dan
tak segan menjalankan aksinya dengan kekerasan. Itulah kemarahan kaum ambyar
dalam the age of anger ini.
Lunturnya kesetiaan
Di zaman
ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi, ataupun lingkungan. Hubungan
personal pun ikut ambyar. Dalam hal personal itu, lagu-lagu mellow Didi Kempot
tentang patah hati seakan membahasakan dan melokalkan krisis kesetiaan yang
kini tengah menyebar di mana-mana.
Seperti
dilaporkan Stephanie Schramm (die Zeit, 7/4/2011), sebuah studi dari Hamburg
dan Leipzig, Jerman, pernah memperlihatkan, 90 persen responden menyatakan
ingin tetap setia ke pasangan, tetapi 50 persen mengaku setidaknya sekali
pernah melanggar kesetiaan itu. Dewasa ini masuknya ”orang ketiga” jauh lebih
mudah daripada dulu.
Setia
dianggap bukan hanya setia pada seorang pasangan seumur hidup. Orang juga bisa
merasa setia terhadap ”orang lain” yang sedang jadi pasangannya pada suatu
saat. Kesetiaan itu bisa menjadi serial, kesetiaan pada pasangan yang
berganti-ganti.
Monogami tampaknya
kian dirasakan sebagai upaya kultural yang berlawanan dengan kodrat alami dan
manusiawi, yang sulit bersetia pada seorang saja.
Karena itu
kesetiaan monogami itu sulit dihayati. Juga di kalangan anak muda melebarlah
jurang pemisah antara keinginan dan kenyataan di sekitar kesetiaan. Mereka
menjunjung tinggi kesetiaan. Namun, praktiknya, dengan mudah mereka berganti
pacar atau pasangan.
Fakta ini
mengungkapkan sebuah ironi: anak muda ingin berpegang sungguh pada kesetiaan
dan mengidealkan kesetiaan sebagai pegangan, justru karena dalam realitas
kesetiaan itu sedang ambyar dan sulit dialami.
Studi itu
juga memperlihatkan, perselingkuhan banyak terjadi kebanyakan karena si pelaku
tertarik akan yang baru. Hubungan dengan pasangannya bisa memuaskan, juga
secara seksual. Namun, itu tak menjamin bahwa orang tak bisa tertarik dan
kemudian puas dan nikmat dengan yang baru.
Lunturnya
kesetiaan semacam ini sering disebabkan oleh sebuah kebetulan, bukan karena
disengaja atau direncanakan. Sementara kesempatan untuk jatuh dalam kebetulan
itu sekarang tersedia banyak. Sebab, dewasa ini manusia lebih mobile, berpindah
dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepat, dan dapat berjumpa dengan
”orang baru” dalam waktu amat singkat.
Lewat
internet, orang juga mudah menemukan rangsangan akan yang baru, yang sangat
bervariasi dan menarik. Dan itu bisa dialaminya dalam ruang paling privat,
bahkan di saat ketika orang berada dekat dengan keluarga atau pasangannya.
Menurut
banyak penelitian, psikologi, sosiologi atau antropologi, ketidaksetiaan itu
ditentukan banyak faktor. Dan sulitlah memastikan manakah faktor yang paling
menentukan.
Kata seorang
pakar terapi keluarga, Guy Bodenmann, kesetiaan adalah proses kognitif di mana
orang menghasratkan sebuah eksklusivitas. Dan itu mengandaikan bahwa orang mau
secara total memberikan komitmennya, emosional dan seksual .
Komitmen
demikian butuh kehendak yang kuat dan bulat. Itu artinya untuk menjadi setia,
orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya. Justru
pengorbanan macam inilah yang sekarang sedang luntur. Tak heran jika kini
banyak kesetiaan yang ambyar.
Sinetron politik ”ambyar”
Seperti
dalam cinta, kesetiaan juga merupakan nilai dalam politik. Maka dalam ilmu
politik, kesetiaan disebut sebagai keutamaan politik. Politik yang baik
tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada
konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang
disepakati bersama.
Jelas,
politik yang baik mengandaikan kesetiaan. Apabila menjunjung tinggi nilai itu,
politik serta-merta akan mewujudkan kesetiaan dalam komitmen, serta pemberian
dan pengorbanan diri yang jujur dan tulus. Namun, justru dalam politik, orang
dengan amat mudah mengkhianati kesetiaan, mengingkari komitmen, dan
menjerumuskan diri dalam perselingkuhan politik yang baru.
Jadi, persis
seperti atau melebihi perkara cinta, kesetiaan dalam politik itu mudah
terjangkiti virus ambyar. Cuma kadar akutnya saja berbeda-beda. Kadang akutnya
tak seberapa, kadang menggila. Celakanya, ada gejala, berbarengan dengan
merebaknya virus ambyar bersama Didi Kempot, akhir-akhir ini politik kita
kelihatan juga terkena virus ambyar dengan sangat akut.
Maka, kalau
orang percaya pada kawruh Jawa, mewabahnya Sobat Ambyar Didi Kempot itu juga
sasmita yang memperbolehkan kita bertanya, jangan-jangan situasi sosial-politik
kita juga sedang ambyar.
Dengan
mudah, ambyar itu kita temukan dalam tingkah laku politik kita akhir-akhir ini.
Kita boleh lega melihat Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi bersatu, dan
Gerindra masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Namun,
pertanyaan kritis tetap boleh muncul: sebegitu mudahkah politikus lupa akan
pengorbanan pendukungnya. Di manakah kesetiaan dan komitmen politik mereka pada
harapan pendukungnya?
Maklum,
sebelum Pilpres 2019, pendukung kedua kubu demikian terbelah, sampai tak
terbayangkan sama sekali bahwa pemimpin mereka mau menjalin sebuah koalisi
politik.
Politik
memang punya 1001 alasan untuk membenarkan diri. Namun, dalam fenomena politik
di atas tetaplah terbukti, politik itu tak setia pada janji. Tepatlah jika para
pendukungnya merasakan pahitnya lagu ”Cidra”, Didi Kempot: ”Wis samesthine ati
iki nelangsa/wong sing tak tresnani mblenjani janji/Gek apa salah awakku iki,
kowe nganti tego mblenjani janji/… (Sudah semestinya hati ini merana karena
yang aku cintai mengingkari janji… Apa salahku, sampai kamu tega mengingkari
janji).
Sinetron
ambyar di panggung politik itu terus berlanjut. Baru saja menyatakan janji
setia pada koalisi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan mesra
dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman.
Media pun
ramai dengan adegan itu. Presiden Jokowi pun menyindir, Surya Paloh kelihatan
lebih cerah dari biasanya sehabis berpelukan dengan Sohibul.
Dan Presiden
Jokowi masih memberi komentar, ”Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulan
itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya Paloh
seerat dengan Pak Sohibul Iman.”
Belakangan,
pada perayaan HUT ke-8 Parta Nasdem, bahasa pelukan itu masih berlanjut.
Berulang kali Presiden menegaskan, pelukan itu tak ada salahnya. Toh, Presiden
masih menyindir juga, pelukan itu hanya masalah kecemburuan.
Begitulah,
diskursus politik kita diturunkan derajatnya menjadi masalah pelukan. Sebagian
waktu politik kita disita untuk berspekulasi tentang pelukan. Bahasa politik
kita menjadi bahasa Sobat Ambyar. Surya Paloh menyatakan ”sayang” kepada para
tokoh. ”Dan jangan ragukan lagi, betapa saya masih sayang kepada Mbak Mega.”
Megawati memperlihatkan senyumnya yang tertahan mendengar sapaan itu.
Namun, orang
tahu ini sinetron politik, senyum itu boleh ditafsir sebagai senyum sinis tak
percaya. Di mata banyak pemirsa, senyum itu seakan mau bilang, ”mbel”. Atau
dalam bahasa Sobat Ambyar, senyum itu adalah lagu: Jebule janjimu jebule
sumpahmu, ra biso digugu (Janjimu, sumpahmu, ternyata palsu). Jika bersama
dengan fenomena ambyar, kita mau diingatkan akan sasmita zaman ewuh-pekewuh
kita haruslah waspada, kepalsuan dan ketaksetiaan akan janji kelihatan akan
menjadi warna dari politik kita.
Lihat saja,
Pemilu dan Pilpres 2019 baru saja berlalu. Tokoh-tokoh politik sama sekali
belum membuktikan diri apakah mereka bisa memenuhi janjinya dari kampanye lalu.
Kabinet Indonesia Maju juga belum terbukti kerjanya. Di tengah keadaan demikian
sudah terbaca bagaimana politik membuat manuver-manuver agar mereka bisa
mempertahankan atau meraih kekuasaan di 2024.
Buat
politikus kita, demokrasi seakan hanyalah alat mengejar kekuasaan. Ini sungguh
politik ambyar. Ambyar karena politik itu menghilangkan jejak dan dasar
kelahirannya. Seperti dikatakan filsuf Richard David Precht, politik itu tak
lahir dengan sendirinya. Politik itu lahir dari kepercayaan dan kejujuran
rakyat.
Rakyat lalu
mengharap agar berdasarkan kepercayaan itu politik bertindak bijak, setia, dan
tahu diri. Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar
kelahirannya itu. Tak peduli dengan kepercayaan dan kejujuran rakyat, prek
dengan kesetiaan dan kebijaksanaan. Yang penting, pokoknya, bagaimana meraih
kekuasaan.
Politik tak
lagi berpikir apa yang terbaik untuk rakyat yang memercayai dan menumpahkan
harapan padanya. Yang dipikirkannya hanyalah apa yang terbaik bagi dirinya dan
itulah adalah semakin besarnya kekuasaan.
Politik
demikian politik yang tak setia janji. Itulah politik yang sekarang kira
rasakan. Maka terhadap politik demikian, bersama Sobat Ambyar, rakyat kiranya
boleh memaki: Tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki (Padi yang
kutanam, ternyata tumbuhnya malah alang-alang).
Ya, terhadap
politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita
memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah,
apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar