RISET DAN TEKNOLOGI
Paradigma Badan Riset dan Inovasi
Nasional ke Depan
Oleh : LUKMAN HAKIM
KOMPAS, 12 November 2019
Presiden
Jokowi akhirnya menunjuk Bambang Brodjonegoro sebagai menteri riset dan
teknologi sekaligus kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejauh mana
BRIN sebagai lembaga baru yang kedudukannya setara kementerian mampu
meningkatkan kontribusi riset dan inovasi menuju Indonesia maju? Format BRIN
seperti apa yang bisa menjawabnya?
Komunitas
peneliti patut bersyukur portofolio “ristek” dipulihkan setelah lima tahun
(2014-2019) disatukan dengan pendidikan tinggi,
sehingga kian terbuka peluang bagi Kemenristek/BRIN benar-benar fokus
pada agenda riset dan inovasi.
Kedua,
seiring diterbitkannya UU baru, yakni UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), pilihan atas Bambang
Brodjonegoro memberi harapan, mengingat pengalaman yang bersangkutan sebagai
menteri keuangan (2014-2016) dan menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
/Kepala Bappenas (2016-2019). Pengalaman itu diperlukan guna memperkuat
kompetensi menristek/kepala BRIN dalam portofolio baru yang ditanganinya.
Universitas riset
Semenjak
ditinggal Habibie, posisi menristek hampir selalu dijabat figur baru yang perlu
waktu penyesuaian untuk menangani kerumitan persoalan iptek dan inovasi, sehingga
banyak waktu dan energi terbuang untuk sekadar proses adaptasi.
Ada tiga hal
pokok yang perlu dipertimbangkan menristek/kepala BRIN berkaitan dengan
kekhasan ilmu pengetahuan dalam mengimplementasikan UU Sisnas Iptek yang
diamanahkan kepadanya, yakni: kelembagaan, pendanaan, dan SDM.
Pertama,
dalam konteks kelembagaan penting sekali pemahaman mengenai ruang lingkup dan
perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi yang jauh ke depan, sehingga
memerlukan dukungan luas dari berbagai sektor dalam perumusan kebijakan
strategis yang melampaui siklus pemerintahan lima tahunan. Seperti pernah
dikemukakan Presiden Jokowi, problem kelembagaan iptek itu berkisar pada tak
adanya sinergi antarlitbang kementerian/lembaga, sehingga tidak fokus dan
terjadi tumpah tindih kelembagaan yang akhirnya berdampak pada inefisiensi
anggaran.
Dalam kaitan
ini kita berharap, kemampuan lobi, kewenangan yang dimiliki, dan pengalaman
dalam jabatan yang pernah dipegang Bambang bisa jadi modal yang membantu
menristek/kepala BRIN menuntaskan problem kelembagaan iptek, riset, dan inovasi
selama ini.
Kedua,
problem pendanaan iptek yang selama ini tak termasuk prioritas pemerintah,
bagaimana pun perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme pemberian insentif
kepada swasta dan/atau industri, sehingga pengembangan iptek dalam rangka riset
dan inovasi tak harus tergantung kucuran dana APBN. Adanya kebijakan super
deduction tax, atau insentif potongan pajak yang diberikan ke industri yang
melakukan kegiatan riset dan pengembangan, diharapkan dapat secara berangsur
mengubah porsi dominan pendanaan iptek dari pemerintah (APBN) ke swasta.
Di sisi
lain, kebijakan insentif potongan pajak yang dituangkan melalui PP No 45 Tahun
2019 itu bisa menjadi solusi bagi keluhan kalangan swasta dan dunia industri
mengenai berbagai hambatan regulasi dan birokrasi yang kurang memfasilitasi
riset dan pengembangan.
Ketiga,
masalah pembinaan tenaga peneliti yang selama ini hanya diserahkan pada
mekanisme pasar berdampak pada kian merosotnya ketertarikan para sarjana baru
memilih profesi peneliti dan menggeluti dunia riset. Salah satu tantangan
menristek/kepala BRIN adalah membangun kultur riset yang kondusif bagi
pengembangan iptek, sehingga seperti diharapkan Presiden Jokowi, riset bisa
berujung pada inovasi.
Persyaratan
yang menetapkan peneliti baru harus serendah-rendahnya berpendidikan S2 dan S3,
misalnya, tentu saja baik, namun semestinya berbasis pada pola rekrutmen dan
pembinaan peneliti yang bersifat khusus, termasuk pemberian insentif yang
menarik sehingga bisa mengundang kaum muda memasuki dunia riset, iptek, dan
inovasi. Di Korea Selatan, peneliti tak hanya memperoleh gaji layak, tetapi
juga dikategorikan pahlawan bangsa, sehingga dibebaskan dari keharusan
mengikuti wajib militer.
Di sisi
lain, dalam rangka menghasilkan SDM peneliti yang andal, sudah harus ada
pemikiran untuk membangun universitas riset di Indonesia seperti halnya Korea
Advanced Intitute of Science and Technology (KAIST) di Korsel dan Chinese
Academy of Science (CAS) di China. Melalui universitas riset bisa dihasilkan
SDM peneliti yang tak hanya andal, melainkan juga punya keahlian dan kompetensi
sesuai kebutuhan dan program strategis yang direncanakan negara/pemerintah.
Kebijakan
hampir serupa juga diambil pemerintah Jepang, Singapura, dan Taiwan, sehingga
mereka memiliki sumber daya peneliti yang tak hanya berkualitas, melainkan juga
secara kuantitatif mencukupi kebutuhan.
Dalam
konteks bangsa kita, Presiden Jokowi berulang kali menyatakan pentingnya
prioritas pembangunan SDM. Namun tak banyak yang menyadari, jumlah
peneliti—mereka yang menjadikan peneliti profesi utama—kita per sejuta penduduk
justru kian berkurang dari waktu ke waktu.
Pada akhir
era Orde Baru, jumlah peneliti pernah mencapai sekitar 210 orang per sejuta
penduduk, tetapi beberapa tahun terakhir terus menyusut hingga kurang dari 100
orang per sejuta penduduk.
Sebagai
perbandingan, rasio itu di China hampir 1.000 orang, Malaysia sekitar 1.500
orang, Jepang sekitar 5.000 orang, dan Korsel lebih dari 5.500 orang. Indonesia
maju yang berdaya saing tinggi tak mungkin diwujudkan tanpa dukungan riset,
iptek, dan inovasi yang dilakukan SDM peneliti.
Ironisnya,
merosotnya jumlah peneliti berlangsung bersamaan merosotnya mutu peneliti,
bukan hanya karena harus berkiprah di lingkungan riset dan inovasi yang tak
kondusif, tapi juga akibat penyeragaman aturan peneliti sebagai Aparatur Sipil
Negara dan berlangsungnya birokratisasi dunia ilmu pengetahuan.
Format BRIN
Satu
tanggung jawab baru yang dipikul menristek/kepala BRIN lima tahun ke depan
adalah menyinergikan sumber daya riset, iptek, dan inovasi yang selama ini
tersebar, terpecah, dan cenderung tumpang-tindih satu sama lain.
Meski
demikian, wacana merger atau penggabungan lembaga riset dan litbang
kementerian/lembaga (K/L) ke dalam BRIN bukanlah gagasan dan pilihan yang
tepat.
Penggabungan
lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN tak hanya akan menyita energi, dana, dan
kerumitan administratif yang besar, tetapi juga belum tentu selesai dalam 4-5
tahun. Ada beragam masalah menyertai, mulai dari pengalihan dan penyatuan aset,
rasionalisasi SDM, hingga prosedur tata kelola kelembagaan yang pasti jauh
lebih rumit. Karena
itu dalam mendesain
BRIN ke depan langkah yang diambil menristek/kepala BRIN hendaknya berorientasi
pada pemecahan masalah sekaligus menghindari penghancuran fondasi keilmuan kita
yang sudah melekat di lembaga riset yang sudah ada.
Pembentukan
badan/organisasi baru dengan meniadakan yang lama bukanlah keputusan bijaksana.
Apalagi bagi misalnya LIPI yang sejak awal kemerdekaan telah dipikirkan oleh
pendiri bangsa sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pilihan
terbaik bagi keberadaan BRIN adalah menjadikannya holding research institute
bagi semua lembaga riset K/L yang tugasnya merumuskan kebijakan iptek agar
lebih fokus dan terarah, terbangun kerja sama sinergis, tak tumpang tindih, dan
berorientasi solusi inovatif atas berbagai isu strategis bangsa. Tanggung jawab
lain BRIN, mengatur alokasi dan distribusi sumber daya iptek agar tepat
sasaran. Artinya, keberadaan lembaga riset atau litbang K/L tak harus berubah
namun secara kebijakan berada di bawah koordinasi menristek/kepala BRIN.
Gagasan BRIN
sebagai holding bagi semua lembaga riset dan/atau litbang K/L ini pernah
disampaikan Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) saat diundang memberikan
masukan ke Pansus RUU Sisnas Iptek di DPR, 30 Januari 2018. Ide yang sama telah
disampaikan pula ke sebagian besar pimpinan fraksi/parpol pada 16 Maret 2018,
serta juga kepada Bambang Brodjonegoro sendiri ketika masih menjabat sebagai
kepala Bappenas pada 30 April 2018.
Indonesia
maju yang berdaya saing tinggi tak akan pernah terwujud tanpa penguatan peran
iptek dan inovasi. Karena itu tantangan terbesar menristek/kepala BRIN bukanlah
melebur atau menggabungkan berbagai lembaga riset yang sudah ada, melainkan
menyinergikan segenap potensi sumber
daya iptek itu agar memberi kontribusi yang signifikan bagi Indonesia yang
lebih baik.
Lukman Hakim, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (2010-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar