Menjaga Daya Beli
Oleh : ANTON HENDRANATA
KOMPAS, 12 November 2019
Kabinet
Indonesia Maju sudah terbentuk, lumrah kalau ada pro-kontra terkait susunan dan
komposisi kabinet ini.
Rasanya
tidak ada waktu lagi untuk memperdebatkan hal itu. Banyak hal yang lebih
krusial dan penting untuk dipikirkan, dieksekusi, dan dimitigasi untuk
menggapai Indonesia yang lebih maju dan bermartabat. Indonesia harus kreatif
menghadapi ekonomi dunia yang semakin tidak bersahabat, sulit diantisipasi, dan
sukar diprediksi ke depannya.
Dampak
negatif perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China semakin nyata. Bukan hanya
dirasakan oleh kedua negara yang bertarung, tetapi sudah meluas ke berbagai
negara di dunia. Aktivitas perdagangan global turun signifikan, akibatnya harga
komoditas dunia anjlok dan rendah. Jika perang dagang ini tidak segera
diakhiri, rasanya kita hanya bermimpi perekonomian dunia akan membaik dan bisa
melepaskan diri dari resesi ekonomi.
Kebijakan
moneter longgar (suku bunga turun) dan fiskal yang ekspansif yang ditempuh
banyak negara untuk melawan siklus (counter cyclical) perlambatan ekonomi tak
akan ada gunanya dan sia-sia belaka. Kebijakan ini akan mubazir, seperti halnya
menabur garam di air laut atau ibarat salju di musim panas atau hujan di waktu
panen.
Tak heran,
sekelompok ekonom terkemuka seperti Joseph Stiglitz, Michael Spence, dan pemenang
hadiah Nobel ekonomi lain menyuarakan hal yang sama. Kedua negara ekonomi
terbesar di dunia, AS dan China, harus segera menghentikan perang dagangnya dan
membuat solusi yang saling menguntungkan kedua pihak. Pemenang dan pecundang
pasti tak akan ada yang diuntungkan, semua akan sama-sama menderita dengan
eskalasi kerugian lebih dahsyat.
Indonesia
sendiri sudah mulai merasakan dampak negatif dari lemahnya perekonomian dunia
(“Antibodi Resesi Global”, Kompas, 15/10/2019). Aktivitas perekonomian nasional
makin terasa lambat, terefleksi dari melambatnya pendapatan negara sampai 31
Agustus 2019.
Kian tertekan
Kita harus
waspada dan hati-hati, ada indikasi daya beli masyarakat semakin tertekan,
sehingga berpotensi melemahkan permintaan domestik, yang kemudian mengganggu
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang siap dibelanjakan
(disposable income) cenderung melambat sejak berakhirnya era bonanza komoditas
primer 2011.
Tercatat
pertumbuhan disposable income sekitar 15,1 persen di 2011, namun pertumbuhan
ini kemudian tergerus hampir separuhnya ke 8,4 persen pada 2018. Nampaknya,
penurunan pendapatan dari ekspor komoditas primer belum dapat digantikan sektor
lain. Dan ini dampak negatifnya sangat terasa di Sumatera, Kalimantan dan Papua
yang sangat mengandalkan komoditas primer.
Peran
konsumsi rumah tangga dalam perekonomian Indonesia sangat besar dan vital,
sekitar 55 persen Produk Domestik Bruto. Jadi, ketika pertumbuhan konsumsi
rumah tangga melambat, hampir bisa dipastikan perekonomian secara keseluruhan
akan sangat terganggu.
Harus diakui
pemerintah berhasil menjaga inflasi bulanan di kisaran 2,5-4,4 persen dalam
empat tahun terakhir sejak 2016, agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan
stabil. Namun, kita tak bisa mengabaikan indikasi kian lemahnya permintaan
domestik karena tertekannya pendapatan nominal masyarakat.
Kalau
pemerintah tak bisa menjaga kestabilan harga selama ini, mungkin saja pelemahan
permintaan domestik lebih dalam dari sekarang. Pada tahun ini, indikator
pelemahan daya beli masyarakat semakin terlihat. Gejala pertama, sejak
pertengahan tahun ini, pertumbuhan indeks penjual eceran semakin turun. Pada
Maret 2019, pertumbuhan indeks penjual eceran tercatat 10,1 persen, sedangkan
data terakhir hanya tumbuh 2,1 persen pada September 2019.
Kedua,
pertumbuhan indeks kepercayaan konsumen semakin menurun sejak awal 2019. Selama
periode Januari-September 2019, rata-rata pertumbuhan indeks kepercayaan
konsumen hanya 1,2 persen, turun signifikan dibandingkan 2018 yang sekitar 10,9
persen. Ketiga, pertumbuhan impor barang konsumsi turun drastis, rata-rata Januari-Agustus
2019 sekitar 10,5 persen, jauh di bawah 2018 yang 27,3 persen.
Dalam lima
tahun terakhir, ketika tren pertumbuhan disposable income semakin tergerus,
Indonesia masih beruntung dan bisa bertahan dengan pertumbuhan sedikit di atas
5 persen (kecuali tahun 2015 sebesar 4,88 persen). Hal ini karena ditopang oleh
pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih bertahan di kisaran 4,9-5,1
persen.
Pertanyaannya,
sampai kapan kita bisa mempertahankan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada
level tersebut, dengan pendapatan masyarakat yang makin tergerus dan kemampuan
menabung yang juga semakin terbatas?
Kalau hal
ini tidak bisa diatasi segera dan transformasi struktural ekonomi tidak
berjalan efektif dan cepat, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi
Indonesia ke depannya berada di bawah 5 persen dan ini tentunya tidak akan
cukup menyerap pertambahan tenaga kerja baru setiap tahunnya.
Upaya mitigasi
Kebijakan
Bank Indonesia (BI) yang melonggarkan suku bunga dan relaksasi
makroprudensialnya berpotensi tak akan efektif, kalau permasalahan utamanya
adalah daya beli masyarakat. Dunia usaha akan ekspansif/investasi jika
permintaan terhadap barang dan jasa meningkat. Jika permintaan domestik lemah,
pengusaha akan defensif dan berusaha bertahan saja. Perbankan juga akan
bertindak serupa dalam penyaluran kreditnya, akan sangat selektif untuk
menghindari melonjaknya kredit macet.
Suku bunga
acuan turun dan likuiditas perekonomian dilonggarkan oleh BI, belum menjamin
pertumbuhan kredit akan terakselerasi. Oleh karena itu, dalam jangka pendek
ini, sebaiknya kita fokus untuk memitigasi agar daya beli masyarakat agar dapat
bertahan dan permintaan domestik tetap bergairah.
Penyerapan
pasar domestik terhadap produk-produk buatan lokal dengan sendirinya akan
menolong roda industri manufaktur dalam negeri, yang pada gilirannya dapat
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri, bagaimana industri manufaktur Indonesia bisa menjadi tuan
di rumahnya sendiri, di saat penetrasi barang impor China yang makin masif
karena perang dagang AS-China.
Di saat
industri manufaktur domestik masih berbenah, pemerintah masih punya ruang gerak
fiskal untuk menjaga pendapatan dan daya beli masyarakat, terutama untuk
masyarakat level bawah. Di APBN sudah sangat jelas keberpihakan pemerintah buat
masyarakat berpenghasilan rendah, miskin, dan sangat miskin. Ada bantuan
pangan/kartu sembako, program keluarga harapan, akses permodalan usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) melalui subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan
lain-lain.
Ide ini
sangat bagus, dengan eksekusi yang efektif dan penyaluran yang tepat sasaran
akan menjadi bantalan yang ampuh dalam menopang daya beli masyarakat level
bawah.
(Anton Hendranata ; Dosen Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar