INDUSTRI NIKEL
Dampak Percepatan Larangan Ekspor
Bijih Nikel
Oleh : ENRICO TANUWIDJAJA
KOMPAS, 18 November 2019
Percepatan
larangan ekspor bijih nikel yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM
No 11/2019 (amandemen kedua Permen ESDM No 25/2018) yang efektif 31 Desember 2019, menimbulkan sejumlah
polemik akan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu alasan
pemerintah memberlakukan permen itu adalah untuk mengakselerasi industri produk
turunan (hilir) bijih nikel seperti baterai mobil listrik yang memiliki nilai
tambah ekonomi.
Apakah
percepatan larangan ekspor ini langkah tepat untuk mencapai sasaran itu dan
bagaimana dampaknya pada defisit transaksi berjalan? Defisit transaksi berjalan
merupakan masalah ekonomi terbesar saat ini, mengingat dampak negatifnya bisa
mengakibatkan arus keluar modal dari Indonesia dan kecenderungan pelemahan
stabilitas nilai tukar rupiah.
Ekspor bijih
nikel saat ini menyumbang sekitar 0,4 persen dari total ekspor dan perkiraan
kami nilai ekspor akan berkurang sekitar 65 juta dollar AS setiap bulan (atau
setara 0,78 miliar dollar AS per tahun). Namun, jumlah ini relatif kecil
dibandingkan dengan total ekspor keseluruhan Indonesia yang lebih dari 180
miliar dollar AS setiap tahun. Hilangnya pendapatan ekspor dari bijih nikel tak
signifikan walau tetap berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan
secara langsung.
Dampak
hilangnya ekspor bijih nikel itu juga hanya akan berlangsung dalam jangka
pendek. Dalam jangka panjang, ekspor produk hilir bijih nikel dengan nilai
tambah yang lebih tinggi akan mampu membawa dampak positif pada transaksi
berjalan Indonesia sesuai dengan harapan pemerintah, dengan catatan didukung
kebijakan-kebijakan dan langkah yang tepat sasaran.
Sebagai
contoh, larangan ekspor mineral (termasuk nikel) 2014-2017 turut berdampak pada
turunnya ekspor bijih nikel Indonesia sekitar 1,5 miliar dollar AS per tahun.
Namun, ekspor produk hilir bijih nikel meningkat signifikan seiring kenaikan
investasi pada industri terkait.
Khususnya
ekspor produk besi dan baja secara yang melesat dari 1,1 miliar dollar AS di
2014 menjadi 5,8 miliar dollar AS di 2018. Alhasil, defisit neraca perdagangan
besi dan baja menjadi lebih terkendali, terlepas adanya peningkatan impor besi
dan baja untuk pembangunan infrastruktur pada periode yang sama.
Implikasi
jangka panjang yang ditargetkan pemerintah adalah akselerasi industri baterai
mobil listrik Indonesia. Target itu didukung perkembangan terkini yang
menunjukkan bahwa tren baterai mobil listrik dengan kandungan nikel lebih
tinggi merupakan masa depan mobil listrik.
Baterai
litium-ion adalah jantung dari revolusi mobil listrik. Selama dua dekade
terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan
baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah.
Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai juga akan meningkatkan
kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh
yang lebih jauh.
Pada awal
2019, produsen baterai mobil listrik di China, Contemporary Amperex Technology
Co Ltd (CATL) telah memasarkan baterai Lithium Nickel Cobalt Mangan (NCM) 811
(80 persen nikel, 10 persen kobalt, 10 persen mangan) dengan kandungan nikel
lebih tinggi dari pendahulunya. Pangsa pasar baterai NCM 811 menduduki posisi
kedua terbesar di China (setelah NCM
523), meningkat menjadi 13 persen pada Agustus 2019, dari 1 persen pada Januari
dan 4 persen pada Juni 2019.
Baterai NCM
811 telah membuat terobosan di China dan ditengarai akan segera dikomersialkan
secara luas kepada produsen mobil listrik, seperti Volkswagen, General Motors
(GM) dan BMW. Tak berhenti di situ, upaya meningkatkan kandungan nikel pada
baterai mobil listrik terus dikembangkan oleh produsen melalui inovasi
berikutnya, yaitu baterai NCM 90 (90 persen nikel, 5 persen kobalt, 5 persen mangan)
yang diprediksi akan diluncurkan pada 2025 atau lebih cepat.
Insentif di hilir
Saat ini,
Indonesia baru sampai tahap awal dalam ekosistem pengembangan industri baterai
mobil listrik, yaitu industri peleburan (smelter) nikel. Menurut Kemenko
Kemaritiman dan Investasi, Indonesia baru saja memperoleh investasi tambahan
untuk smelter nikel 20 miliar dollar AS dari Weda Bay. Produsen baterai CATL
China dan LG Chemical Korsel juga sedang mempertimbangkan membangun fasilitas
produksi baterai mobil listrik di Indonesia.
Untuk
mengakselerasi industri baterai mobil listrik di Indonesia, larangan ekspor
bijih nikel harus terus didukung dengan kebijakan pemerintah yang tepat untuk
meningkatkan iklim investasi. Pemerintah juga harus menyediakan insentif
sehingga investor asing tertarik ikut andil dalam industri hilir di dalam
rantai nilai (value chain).
Akan lebih
bijak lagi jika insentif yang diberikan dapat memicu investasi kembali
(re-investment) sehingga mampu mencegah potensi repatriasi keuntungan
investasi. Jika upaya ini berhasil, efek nilai tambah di masa depan pada neraca
perdagangan dan transaksi berjalan akan meningkat signifikan (meski impor
mungkin akan meningkat sampai batas tertentu untuk menjaga momentum investasi
industri hilir terkait).
Pemerintah
juga harus memberikan dukungan untuk pembangunan smelter dalam negeri yang kini
masih dalam proses. Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) telah
menyuarakan keberatan atas percepatan larangan ekspor bijih nikel. Larangan
dinilai akan mengganggu pembangunan smelter dalam negeri karena mereka tak
punya alternatif lain untuk membiayai proyek selain dari pendapatan ekspor
bijih nikel.
Mereka juga
khawatir penurunan margin keuntungan berdampak pada berhentinya proses produksi
beberapa produsen lokal (terutama skala kecil).
Hal ini
karena bijih nikel kadar tinggi dijual dengan harga lebih rendah secara lokal,
sedangkan bijih nikel kadar rendah yang diekspor dijual dengan harga lebih
tinggi. Sulit mengukur dampak nyata dari kekhawatiran ini.
Namun, dalam
pandangan kami, potensi keterlambatan dalam kemajuan konstruksi smelter dalam
negeri akan berdampak negatif pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan
jangka pendek.
Selain
dampak perdagangan, konsekuensi lain adalah persepsi investor yang melihat
penerapan larangan ekspor nikel sebagai kebijakan proteksionis. Pemerintah juga
terkesan inkonsisten dalam menerapkan kebijakan terkait peraturan ekspor
mineral selama periode 2014-2019. Tanpa adanya kepastian hukum dan kebijakan
pemerintah, investasi asing langsung (FDI) di industri pertambangan baik hulu
maupun hilir, yang dikenal padat modal, akan berpotensi terhambat.
Percepatan
larangan ekspor bijih nikel merupakan langkah penting untuk mendukung
akselerasi industri hilir dalam negeri. Dalam jangka pendek, dampak negatif ke
neraca perdagangan dan transaksi berjalan relatif minim dan masih terkendali.
Namun, jika Indonesia berhasil memonetisasi potensi pasar global baterai mobil
listrik, permasalahan defisit transaksi berjalan akan teratasi dalam jangka
panjang. Hal ini akan membawa stabilitas rupiah yang lebih baik dan membuka
ruang bagi lingkungan suku bunga lebih rendah di Indonesia. Untuk itu,
pemerintah harus terus mendukung kebijakan larangan ekspor saat ini dengan
kebijakan lain guna memberikan kepastian hukum dan memperbaiki iklim investasi
secara keseluruhan dalam waktu sesingkat mungkin.
(Enrico Tanuwidjaja, Ekonom PT Bank
UOB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar