Pendidikan Karakter di Sekolah
Tulisan Achmad Munjid berjudul ”Salah Kaprah Pendidikan Karakter di Sekolah” (Kompas, 19/8/2019) memberi catatan kritis kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang melibatkan TNI dalam program penguatan pendidikan karakter. Saya merasa perlu membuat tanggapan atas artikel tersebut. Sekaligus sebagai tanggapan terhadap tulisan serupa yang beredar baik di media arus utama maupun media sosial.
Dalam skala yang masih terbatas, para anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia juga berkesempatan masuk sekolah, khususnya pada jenjang SMA dan SMK. Sekolah juga dianjurkan untuk mendatangkan para alumnusnya yang berhasil dalam meniti karier dalam berbagai bidang.
Kurikulum berbasis luas
Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) diselenggarakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pelaksanaannya menggunakan pendekatan kurikulum berbasis luas (broad-based curriculum).
Pendekatan ini memprasyaratkan adanya ekosistem pendidikan yang baik, yaitu integrasi dan sinergi tiga lingkungan belajar, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Upaya integrasi dan sinergi itu pula yang menjadi salah satu alasan penerapan sistem zonasi pendidikan.
Manakala suatu sekolah sebagian besar siswanya berasal dari lingkungan sekitar, para orangtua siswa, warga masyarakat, dan para guru akan ikut merasa memiliki tanggung jawab atas eksistensi sekolah.
Ekosistem pendidikan yang sehat pun dapat tercipta. Begitu juga tata kelola pendidikan school-based management dapat terwujud, yaitu sekolah sebagai pusat perencanaan, pemantauan, dan pengendalian kegiatan belajar siswa, baik tatkala mereka berada di sekolah maupun di luar sekolah.
Pendekatan kurikulum berbasis luas dimaksudkan memberikan pengalaman belajar kepada para siswa untuk memperkaya wawasan, membekali mereka dengan berbagai keterampilan hidup, dan merangsang tumbuhnya ”mimpi besar”, yakni semangat bercita-cita. Untuk itu, perlu tersedia banyak macam sumber belajar.
Yang harus dilakukan pertama kali adalah perubahan paradigma tentang sumber belajar. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi, sumber belajar itu bisa berupa apa saja. Bisa dari sosok seseorang, buku, pasar, museum, tempat peribadatan, bahkan dunia virtual.
Dunia virtual kini telah menjadi sumber belajar baru yang melimpah. Google dan Wikipedia menjadi katalog, ensiklopedia, dan kamus elektronik raksasa. Kemdikbud juga telah menyediakan bahan ajar-mengajar lewat platform digital Rumah Belajar. Para pegiat dan pebisnis pendidikan juga menyediakan platform untuk maksud yang sama. Sebagian sudah berkembang cukup pesat, Ruang Guru misalnya.
Guru harus berubah
Anggapan bahwa guru merupakan satu-satunya sumber belajar, dan sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar, telah menjadi pandangan usang. Berulang kali Presiden Jokowi mengatakan bahwa guru harus berubah, sungguhpun peran utamanya tak tergantikan dengan alat secanggih apa pun.
Peran guru tidak cukup hanya sebagai pengajar. Ia harus bertindak sebagai fasilitator, yaitu membuka kemudahan bagi siswanya untuk mengakses sumber-sumber belajar. Guru juga berperan sebagai penghubung sumber (resource linkers).
Ia tidak harus menguasai semua yang akan diajarkan kepada siswa. Cukup mendatangkan orang yang ahli dan menguasai bidang-bidang itu. Kalau tidak yakin bisa melatih baris-berbaris dengan baik, cukup mengundang bintara pembina desa (babinsa) untuk melatih siswanya.
Kedua, kurikulum berbasis luas menghendaki adanya individualisasi siswa. Bahwa setiap anak itu istimewa dan unik. Mereka memiliki potensi bakat dan minat yang berbeda-beda. Maka, peran guru yang berikutnya adalah sebagai katalisator, yaitu menggali minat dan bakat istimewa yang tersembunyi di dalam diri setiap siswa. Guru yang hebat adalah yang jeli mengendus minat dan talenta anak didiknya, dan membuat anak tersebut mampu mengonversi talenta itu menjadi sebuah keunggulan diri.
Setiap siswa harus dibekali keterampilan hidup berupa manajemen diri dalam belajar. Setelah anak dapat menemukan keunggulan diri, ia harus bisa merancang rangkaian kegiatan berbelajar yang memupuk keunggulan diri. Dengan keunggulan diri yang terpupuk dengan berbagai pengalaman belajar yang diperlukan, anak didiknya akan melangkah dengan mantap dan optimistis mewujudkan ”mimpi besar”-nya.
Bukan prajurit tempur
Melalui penjelasan di atas, duduk masalah yang dipersoalkan terjawab sudah. Konteks pelibatan prajurit TNI dalam kerangka PPK harus dilihat secara komprehensif, tidak sekadar parsial. Tidak ada pemindahan disiplin militer atau militerisasi di sekolah-sekolah, apalagi dalam kerangka menggusur tradisi berpikir kritis dan logis. PPK di sekolah sifatnya inklusif, partisipatif, memperkaya khazanah dan pengalaman siswa.
PPK justru dikembangkan dalam iklim yang terbuka dan demokratis. Orientasinya tidak hanya bertumpu pada penguasaan wawasan, tetapi juga penumbuhan perilaku yang berbudi pekerti luhur, peka dengan lingkungan sekitar dan rasa kebangsaan yang tinggi. Tanggung jawab keberhasilannya tidak semata-mata ada di pihak sekolah, tetapi juga pemangku kepentingan lainnya, termasuk keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam konteks pelibatan prajurit TNI dalam PPK di sekolah-sekolah, tidak ada yang salah. Apalagi, yang berpartisipasi ialah para prajurit bintara pembina desa dan komando rayon militer (koramil). Kalau yang datang para prajurit lengkap dengan senapan tempur, tank-tank untuk melatih perang, itu baru salah.
Muhadjir Effendy ; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar