PERSAINGAN AS-CHINA
Anarkisme ”America First” Versus ”Tianxia” (3)
Perseteruan AS-China jangan dianggap biasa. Perseteruan dua negara ini bisa memiskinkan. Ini masalah serius. Demikian opini penulis buku terkenal The World is Flat, Thomas L Friedman, pada 6 Agustus 2019 lewat artikelnya di harian The New York Times.
Namun, sejak Presiden Donald Trump muncul, China terpaksa menyatakan sikap. ”Adalah sebuah sikap ramah untuk membalas,” demikian pernyataan Kedutaan Besar China di Washington. Kedutaan itu menuangkan plesetan peribahasa China, Lǐ shàng wǎng lái. Makna sebenarnya peribahasa ini, tentu akan sopan membalas kesopanan.
Dalam konteks perang dagang, peribahasa itu secara konotatif berarti pembalasan keras atas serangan tak henti dari AS. Wei Jianguo, mantan Wakil Menteri Perdagangan China, mengatakan, respons China akan sama proporsi, skala, dan intensitasnya.
China memukul AS dengan tarif 25 persen untuk 106 produk AS, seperti gandum, daging, mobil, dan pesawat. Ini merupakan balasan atas pengenaan tarif oleh AS pada impor dari China di awal 2018.
Berhati-hati
China sebenarnya membalas dengan berhati-hati. Masalahnya kegiatan ekspor-impor di zaman modern lebih menggambarkan kegiatan produksi lintas batas negara dengan kepemilikan yang campur aduk. Balasan China adalah mengurangi impor produk pertanian dan target berikutnya impor migas dari AS. Produk ini tidak terlalu masuk ke dalam mata rantai produksi global.
Namun, balasan China tidak hanya soal sengketa ekonomi. Ketika AS mencoba mengintervensi kerusuhan di Hong Kong, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan, ”Urus saja dirimu. … Mereka rupanya tak sabar menantikan kekacauan di sebuah sudut dunia,” kata Hua.
Ketika Menlu AS Mike Pompeo turut menyerang soal hak asasi di Xinjiang, China meminta AS berkaca. AS yang demokratis sarat noda dengan tindakan rasis terhadap imigran, anak-anak imigran, dan kaum minoritas di AS.
Pada Minggu, 11 Agustus 2019, Kepala Pemulihan Efek Perang Dagang dan Biro Investigasi Kementerian Perdagangan China Wang Hejun, kepada CCTV berujar. ”China tidak akan pernah berkompromi soal hal prinsipil.” Wang mengatakan, China akan melawan bully AS.
Trump harus berubah
China membatu sekarang ini. Untuk melembutkannya, AS harus berubah sikap. Demikian ditekankan Dr Michael Ivanovitch, pakar ekonomi internasional, geopolitik, dan strategi investasi. Ivanovitch pernah berperan sebagai ekonom senior di Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), juga di Federal Reserve Bank of New York dan pernah mengajar di Columbia Business School.
Menurut Ivanovitch, teriakan Trump, ”China sedang membunuh kita,” hanyalah sebuah hiperbola. Aksi tekan-menekan tidak efektif soal China. Negosiasi adalah pilihan satu-satunya. ”China tidak akan menerima sikap AS yang mempermalukan.” Seorang pakar AS tentang China, James McGregor, juga menyampaikan hal serupa. McGregor lama tinggal di China dan menyampaikan opininya lewat wawancara pada 3 Agustus 2019.
McGregor, Ketua International Association of Professional Conference Organisers (APCO)–China, mengatakan, ”Ide bahwa AS begitu kuat dan bisa membuat China tunduk semoga beruntung dengan itu.” Ini merujuk ucapan Trump, ”Easy to win.”
McGregor menyatakan, implisit sikap itu utopis. McGregor mengatakan, AS terlalu lama kaya serta tidak terlalu lapar untuk berubah. ”Kita kini harus berhadapan dengan China yang sudah berubah dan kita harus menyadari China unggul akibat arogansi kita.”
Arogansi membuat Trump merasa segalanya mudah untuk diserang. Ironisnya, korban dari sikap Trump adalah korporasi AS di China. Korporasi AS di China tidak ingin kapal mereka digoyang, tak ingin kantor mereka diserbu aparat China dan tak mau berurusan dengan penyelidikan sebagai balasan sikap keras AS atas China. Korporasi AS masih meraih untung dan mengalami peningkatan pangsa pasar di China, kata McGregor.
Pernyataan Trump bahwa China kalah dalam perang dagang, ”Apa Anda kira itu benar?” demikian McGregor. IMF menyatakan, tarif mengorbankan daya beli konsumen AS. ”Anda tidak akan bisa mengubah China. … Jujur saja, sistem China bekerja lebih baik untuk China ketimbang sistem Amerika untuk Amerika … Amerika tidak memiliki dana untuk riset,” kata McGregor.
China paham persoalan yang dihadapi AS. Namun China ingin hubungan resiprokal dan saling menghargai. “China tidak mendengar itu dari AS,” kata mantan Menlu AS, Rex Tillerson. Tillerson khawatir, China memutuskan tidak mau bicara dan menunggu AS tidak lagi dipimpin Trump.
Berpotensi anarkistis
Hubungan AS-China memang kompleks dan tidak akan pernah baik walau tidak akan terlalu parah juga, seperti pernah dikatakan almarhum pemimpin China, Deng Xiaoping. Pendiri Alibaba, Jack Ma, meramalkan, masalah dalam hubungan kedua negara akan bertahan lama.
Pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, sudah mengingatkan kebangkitan China tidak akan berjalan damai. Kekuatan hegemonik tunggal kecanduan prinsip free to roam, bebas melakukan apa saja di dunia. Jika kekuatan hegemonik gampang saja mengabaikan tatatan dunia, yang terjadi adalah anarkisme.
Anarkisme ini makin parah dengan kebangkitan negara non-Barat. Direktur Perancana Kebijakan Deplu AS, Kiron Skinner, mengungkapkan doktrin Trump. ”Kompetisi AS dan China akan pahit … Ini karena untuk pertama kali AS memiliki pesaing kuat yang bukan Kaukasia.”
Non-Kaukasia yang tidak demokratis menjadi bayang-bayang menakutkan. Namun Allison menjelaskan mengapa ketakutan ini terjadi. Lewat bukunya, Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap? terbitan 2017, Allison menyatakan fakta dan persepsi bisa menjadi jalan menuju perang.
Analisis Thucydides, pakar Yunani, seperti diuraikan Allison, pernah menunjukkan Athena yang kuat tetapi sangat ketakutan. Ini karena Sparta sedang bangkit. Di sisi lain Sparta ingin menandingi kekuatan Athena. Lewat pancingan-pancingan pihak ketiga, jadilah Athena dan Sparta berperang.
Mirip dengan AS yang ketakutan, China dipersepsikan akan menghabisi AS. ”Apakah para pemimpin China, Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis, serius menggusur AS sebagai kekuatan dominan di Asia? China bisanya tidak nyaman dengan pertanyaan ini. Para akademisi China bahkan lebih tidak nyaman lagi,” demikian Allison.
Almarhum pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew, menurut Allison, menjadi sasaran pertanyaannya. ”Dia (Lee) mengatakan, apa yang dia lihat. … Mengapa tidak? Siapa yang memikirkan sebaliknya? Bagaimana China tidak terinspirasi menjadi nomor satu dia Asia jika eranya tiba?” demikian Allison.
Hak yang sama
Pihak China membantah walau tidak secara resmi. Xu Wenhong, anggota Komite Akademi Pangoal, Wakil Sekjen Belt and Road Research Center, Chinese Academy of Social Sciences, menuliskan opininya di China Daily. Dia menuliskan, falsafah hidup China terbentuk ribuan tahun karena karakter pertanian. ”Untuk hidup, warga harus bekerja ke ladang dan menanam lalu memanen. China hidup berdasarkan kekuatan dirinya dan murni dari dalam.”
Xu melanjutkan, Barat terbiasa dengan peran sebagai kolonial, merambah dunia untuk mengambil keuntungan. Hal ini memunculkan teori ”jebakan Thucydides” hingga ”jebakan Kindleberger”. Barat hidup dari ekspansi, China tidak. China terbiasa hidup harmoni dengan alam.
Setelah maju, China jauh dari jebakan Thucydides. ”Program infrastruktur dari China di seluruh dunia didasarkan falsafah berbagi dan perdamaian. Karena di masa lalu orang China mendeskripsikan tatanan dunia dengan falsafah tianxia, semua sama di bawah matahari yang sama. Xi mengusulkan pembangunan sebuah komunitas masa depan dengan kemanusiaan yang saling berbagi. Tipe baru relasi internasional ini, saling berbagi secara alamiah, berbeda dengan relasi internasional yang didominasi Barat.”
Inilah tawaran dari China, hidup saling berbagi. Seperti kata Allison, ”China tidak salah dengan keinginan untuk terus tumbuh. Tidak salah jika China semakin ingin beranjak ke tingkat lebih tinggi, termasuk penguasaan teknologi. … Teknologi dan perekonomian global telah bergeser ke Asia,” kata Allison.
Meniru presiden sebelumnya
Mungkin Trump harus mengingat fakta AS di bawah Presiden Bill Clinton, George W Bush hingga Barack Obama. Tiga Presiden AS ini menjuluki relasi dengan China sebagai strategis. Jika Trump terus mengusik juga, China tak akan mundur dari falsafah tianxia.
Tidak tertutup kemungkinan China melawan lebih parah jika terus diusik. Ray Dalio, pendiri perusahaan investasi Bridgewater Associates, bertutur. ”Saya tidak menepis kemungkinan China akan memakai kekuatan keuangannya.” China kini memegang banyak surat utang AS.
Dalio mengatakan, jika mau China cukup cerdik memainkan peran dari sektor keuangan. Oleh karena itu, hal yang perlu dicari adalah solusi meminimalkan konflik.
Tidak sedikit pihak di AS yang menyatakan China adalah mitra strategis dan saling melengkapi. Gary Cohn, mantan penasihat ekonomi Trump, meyakini prinsip ini. Cohn mundur sebab Trump seakan hidup dengan bayang-bayang masa lalu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar